Menuju konten utama

Jokowi Wacanakan Tambahan Usia Pensiun TNI Dinilai Sebagai Lobi

Rencana Presiden Jokowi merevisi UU TNI terkait umur pensiun prajurit setingkat bintara dan tamtama dari 53 tahun ke 58 tahun dinilai sebagai lobi dari para Jenderal TNI untuk membujuk Jokowi.

Jokowi Wacanakan Tambahan Usia Pensiun TNI Dinilai Sebagai Lobi
Ilustrasi prajurit TNI. ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan akan merestrukturisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan sebanyak 60 kursi bintang disebut bisa diisi para kolonel.

Selain itu, Jokowi juga menyatakan pemerintah mewacanakan merevisi UU TNI terkait umur pensiun prajurit setingkat bintara dan tamtama. Presiden akan mengubah umur pensiun dari 53 tahun ke 58 tahun.

Pengamat militer Aris Santoso menilai, ada upaya dari sejumlah petinggi TNI untuk memperbanyak jenderal. Hal itu dilakukan karena banyak kolonel yang ingin jadi jenderal.

"Ini semacam ada lobi-lobi dari pihak TNI untuk bujuk Jokowi supaya nambah jatah jenderal. Ya karena semuanya ingin jadi jenderal," kata Aris kepada Tirto, Rabu (30/1/2019).

Aris beralasan, paradigma kolonel saat ini adalah ingin menjadi jenderal. Oleh karena itu, mereka mencari cara agar ada jabatan jenderal.

Penambahan pejabat tinggi, salah satunya dengan cara meningkatkan status komandan resimen yang sebelum dipegang Kolonel menjadi Brigjen, akan membuat daerah ramai dengan jenderal bintang 1.

Aris menyatakan, daerah seperti Kupang, Padang, hingga Purwokerto mungkin akan dipenuhi jenderal bintang 1. Hal itu hanya sebatas simbol karena garis koordinasi tidak akan terganggu.

Padahal, lanjutnya, di internal TNI juga punya masalah baru karena banyaknya jenderal. Saat ini, Panglima TNI memiliki banyak staf khusus setidaknya setingkat brigjen yang tidak optimal.

Aris pun menyinggung nasib mantan Sekjen Kementerian Pertahanan Ediwan Prabowo yang kini non-job karena terlalu banyak jenderal.

"Kita surplus jenderal juga. Terlalu banyak staf khusus. Salah satunya Ediwan Prabowo, 4 tahun non-job lulusan akmil 84. Selepas beliau Sekjen Kemenhan, beliau gak ada jabatan," kata Aris.

Menurut Aris, Indonesia tidak perlu banyak jenderal. Alasannya, karena banyak prajurit setingkat kolonel yang bisa dihargai seperti Kolonel Bambang Supeno yang mampu menciptakan nilai Sapta Marga.

Seharusnya, tambah dia, prajurit TNI yang ada berpikir untuk banyak prestasi seperti prestasi tempur atau prestasi bertugas di internasional meskipun kepangkatan tidak sampai pangkat perwira tinggi.

"Gak perlu malu jadi kolonel. Ini kesannya kita jadi sindrom tentara kita mau jadi jenderal, sindrom kolonel yang pengen jadi jenderal," tukas Aris.

Baca juga artikel terkait TNI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno