Menuju konten utama

Jokowi Menjalankan Politik Akomodasi secara Paripurna

Jokowi dianggap tengah menjalankan politik akomodasi setelah melantik 12 wakil menteri.

Jokowi Menjalankan Politik Akomodasi secara Paripurna
Sejumlah wakil menteri Kabinet Indonesia Maju bersiap untuk dilantik di Istana Negara, Jakarta, Jumat (25/10/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nz

tirto.id - Presiden Joko Widodo telah menunjuk 12 orang sebagai wakil menteri pada Kabinet Indonesia Maju, Jumat (25/10/2019). Mereka berasal dari kalangan profesional, kader partai, bahkan relawan.

Lima profesional yang direkrut Jokowi adalah Budi Gunadi Sadikin (Direktur Utama Mining Industry Indonesia) dan Kartika Wirjoatmojo (Direktur Utama Bank Mandiri) sebagai Wakil Menteri BUMN, Mahendra Siregar (Dubes RI untuk Amerika Serikat) sebagai Wamen Luar Negeri, Alue Dohong (Deputi Badan Restorasi Gambut) sebagai Wamen Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Suahasil Nazara (Kepala Badan Kebijakan Fiskal) sebagai Wamen Keuangan.

Lima orang berikutnya berasal dari partai. Mereka adalah Zainut Tauhid (PPP) sebagai Wamen Agama, Jerry Sambuaga (Golkar) Wamen Perdagangan, John Wempi Wetipo (PDIP) Wamen PUPR, Surya Tjandra (PSI) Wamen Agraria dan Tata Ruang, dan Angela Tanoesoedibjo (Perindo) sebagai Wamen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Sisanya: eks Bendahara TKN Jokowi-Ma'ruf Sakti Wahyu Trenggono yang mendapat posisi Wamen Pertahanan; dan Ketua Umum Pro Jokowi (Projo) Budi Arie Setiadi yang menjabat Wamen Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Jokowi boleh saja mengatakan pengangkatan ini profesional belaka dengan memberikan mereka tugas spesifik, selain membantu menteri secara umum. Tapi ada tafsir lain di luar itu: menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin, dia tengah semaksimal mungkin mempraktikkan politik akomodatif.

Maksud politik akomodatif adalah, Jokowi memasukkan semua orang yang dirasa punya kontribusi memenangkan dirinya sebagai presiden untuk periode kedua. Ini bukan perkara kebutuhan, tapi semata bagi-bagi kue kekuasaan agar semua orang dan kelompok yang mendukungnya terpuaskan.

"Partai yang punya kursi di parlemen dikasih menteri, dan partai-partai yang tidak dapat kursi di parlemen diganjar wamen," ujar Ujang saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (25/10/2019).

Sebagai pembanding, dalam Kabinet Indonesia Kerja (2014-2019), Jokowi-Jusuf Kalla hanya menunjuk tiga orang sebagai wakil menteri. Mereka adalah Arcandra Tahar (Wamen ESDM), Mardiasmo (Wamen Keuangan), dan Abdurrahman Mohammad Fachir (Wamen Luar Negeri).

Politik akomodatif semakin terlihat jika melihat lebih detail 12 wamen. Wamen BUMN, contohnya, "tak perlu dua." "Yang dibutuhkan enam wamen, yang banyak pekerjaannya yaitu Kemenkeu, Kemlu, KemBUMN, KemESDM, Kemenkumham, dan Kemendikbud, tapi yang diangkat 12," ujang menegaskan.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan jumlah wakil menteri yang bengkak karena kabinet saat ini diberi target berkembang dengan kekuatan penuh.

"Kalau orang mau maju, high speed, kan, memang perlu ada backup, sehingga nanti capaian yang diharapkan mungkin bisa lebih cepat," kata Moeldoko di Jakarta, Jumat (25/10/2019).

Memang tidak semua partai yang mendukung Jokowi diakomodasi. Sebut saja Hanura, PKPI, dan PBB. Tapi, menurut pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arya Budi, ketiganya "akan mendapatkan porsi lain." Artinya, tinggal tunggu waktu.

"Perangkat negara ini, kan, sangat banyak. Ada badan, lembaga setingkat menteri, bahkan BUMN," kata Arya kepada reporter Tirto.

Masalah Lain

Jika memang tak ada politik akomodasi seperti yang dikatakan Moeldoko, bukan berarti tak ada masalah sama sekali dari pengangkatan wamen ini.

Menurut Ujang, ada potensi ribut antara menteri dan wakil menteri terutama jika mereka tadinya berasal dari kubu yang berbeda. Misalnya, Wahyu Trenggono dengan Prabowo Subianto.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati sepakat dengan Ujang. Menurutnya itu yang akan terjadi setidaknya di kementerian yang paling mereka sorot: KLHK.

"Di kementerian akan terjadi dualisme kepemimpinan," kata Nur Hidayati kepada reporter Tirto, Jumat (25/10/2019).

"Jika tugas spesifik wamen diberikan oleh menteri, sehingga wamen bertanggung jawab kepada menteri, maka bisa jadi tugas khusus tersebut akan efektif," kata Nur Hidayati. Sebaliknya, "jika tugas khusus itu diberikan oleh presiden dan wamen melapor langsung ke presiden, bisa jadi muncul masalah koordinasi."

Baca juga artikel terkait KABINET INDONESIA MAJU atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino