Menuju konten utama

Jokowi Mangkir dan Sengkarut HAM di Indonesia

Jokowi harusnya jadi presiden pertama yang menginjakkan kaki ke Komnas HAM. Tapi ia tak jadi datang. Para aktivis menilai Jokowi memang tak serius.

Jokowi Mangkir dan Sengkarut HAM di Indonesia
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kanan) mengunjungi Ponpes Darussalamah di Lampung Tengah, Lampung, Jumat (23/11/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Joko Widodo dijadwalkan mendatangi Komnas HAM, Selasa (11/12/2018), ketika instansi tersebut menggelar Peringatan Hari HAM Internasional 2018. Tema acara cukup lugas: 70 Tahun Deklarasi Universal HAM (DUHAM) Menuju Pemajuan dan Penegakan HAM yang Lebih Baik.

Jokowi seharusnya jadi presiden pertama di Indonesia yang menginjakkan kaki di instansi yang dibentuk pada 7 Juni 1993 itu. Namun ia urung datang.

"Staf presiden yang memberitahu kami, beliau tidak bisa hadir," ujar Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Selasa (11/12/2018). Katanya, Jokowi mendatangi acara yang tak bisa ditinggalkan sama sekali.

Sejak berdiri 25 tahun lalu, Komnas HAM telah menyelidiki 13 kasus pelanggaran HAM berat. Tiga kasus telah selesai diputuskan di pengadilan ad hoc, yakni kasus Timor Timur (1999), Tanjung Priok (1984), dan Abepura (2003). Sementara sisanya: kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, penghilangan paksa aktivis 1997/1998, Wasior dan Wamena, Talangsari, Penembakan Misterius, pembantaian massal 1965, peristiwa Jambu Keupok, dan simpang KKA Aceh.

Sepuluh kasus inilah yang tengah diupayakan Komnas HAM agar juga selesai. Namun, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla yang datang menggantikan Jokowi ke acara, hal tersebut tak mudah dilakukan.

"Tidak terlalu mudah menyelesaikan peristiwa yang terjadi 20-30 tahun lalu. Bukan hanya negeri ini, Amerika pun belum bisa menentukan siapa pembunuh Kennedy [John F. Kennedy, Presiden ke-35 AS yang mati ditembak]," kata JK.

Meski begitu, JK, yang pernah bilang kalau negara ini butuh preman, mengatakan pemerintah tidak lepas tanggung jawab sama sekali.

"Pemerintah selalu berusaha [menyelesaikan kejahatan HAM masa lalu], tapi bukan hal yang mudah menyelesaikannya," tegas dia.

Jokowi Tidak Serius

Bagi Peneliti dari Human Rights Watch Andreas Harsono, ketidakhadiran Jokowi bukan cuma perkara ada waktu luang atau tidak. Ini bisa dimaknai sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah menepati janjinya sendiri menyelesaikan kasus pelanggaran HAM seperti yang dituangkan dalam Nawacita.

"Presiden boleh ganti namun kita perlu membangun negara hukum lewat institusi, mekanisme dan peraturan hukum. Upaya itu tidak terlihat pada Jokowi maupun pemerintahan Jokowi," kata Andreas kepada reporter Tirto.

Bagi Andreas, Jokowi bisa mengintervensi kasus-kasus HAM mandek. Tapi ia memilih tidak melakukan itu, bahkan untuk kasus-kasus di luar yang tadi disebut tapi tetap tergolong pelanggaran HAM seperti tes keperawanan.

"Itu yang tidak dilakukan," terang dia.

Ketidakhadiran Jokowi juga dikritik Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma. Feri bilang, ketidakhadiran Jokowi adalah bukti kalau dia tak benar-benar ingin kasus HAM selesai dan hanya menjadikannya sebagai alat pencitraan.

"Dia hanya menjadikan penyelesaian HAM sebagai komoditas politik dan orang-orang sekeliling dia itu menjadi pemanis wacana HAM ke publik. Jokowi tidak sepenuh hati menyelesaikan kasus HAM," katanya kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino