Menuju konten utama

Jokowi ke Garut, Bagaimana Pergulatan Islam Politik di Sana?

Garut pernah jadi basis perlawanan Kartosoewirjo dan lumbung suara Golkar. Saat ini ia jadi ujian terberat bagi PDI Perjuangan.

Jokowi ke Garut, Bagaimana Pergulatan Islam Politik di Sana?
Presiden Joko Widodo saat cukur menghadap Situ Bagendit, Garut, Jawa Barat, Sabtu (19/1/2019). ANTARA News/Hanni Sofia

tirto.id - Pada Jumat (18/1/2019), tepat sehari setelah mengikuti debat pertama Pilpres 2019, Presiden Joko Widodo berkunjung ke Garut, Jawa Barat. Hari ini, Sabtu (19/1/2019), ia bahkan mengikuti acara cukur rambut massal di Situ Bagendit.

Salah satu agenda kunjungan Jokowi adalah meninjau panel reaktivasi jalur kereta api Cibatu-Garut. Selain itu, Jokowi juga menyempatkan diri bertemu ibu-ibu penerima program permodalan kredit mikro Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar). "Kerja keras itu pasti menghasilkan, asalkan disiplin tepat waktu," kata Jokowi seperti diberitakan Antara, Jumat (18/1/2019).

Ia menyampaikan, kedatangannya ke Cibatu bertemu dengan ibu-ibu tersebut merupakan suatu kebahagiaan, apalagi diketahui semua nasabah berusaha keras untuk menjalankan usahanya. "Saya berbahagia sekali siang ini bisa bertemu dengan penerima program Mekaar," katanya.

Di balik kunjungan resmi sebagai kepala negara, upaya Jokowi bertandang ke Garut bisa dibaca sebagai salah satu cara berkampanye menjelang Pilpres 2019. Jokowi memang harus berusaha keras mendongrak perolehan suaranya di kabupaten ini dan di Jawa Barat secara keseluruhan.

Sepanjang sejarah, Garut tidak pernah menjadi basis partai nasionalis besar (PNI, PDI, dan PDIP). Pada 1950-an Garut adalah basis Masyumi. Sementara di masa Orde Baru, Golkar berjaya di sana.

Islam versus Komunis

Dua tahun sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 digelar, Ketua Masyumi cabang Jawa Barat Muhammad Isa Anshary mendirikan Front Anti Komunis. Dari namanya, sudah jelas organisasi ini dibikin untuk menghalangi atau mengurangi dominasi Partai Komunis Indonesia (PKI), khususnya di Jawa Barat. Sikap anti-komunis front tersebut terlihat, salah satunya, lewat pamflet berjudul "Bahaja Merah di Indonesia" yang ditulis Isa Anshary.

Sebagaimana dicatat Boyd R. Compton dalam Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-Surat Rahasia (1993), Front Anti Komunis sebenarnya bukan bagian dari Masyumi. Pandangan petinggi partai yang didirikan pada 7 November 1945 itu terhadap komunisme pun berbeda-beda.

Samsuri menuliskan dalam "Komunisme dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi" (2001) bahwa perbedaan pandangan itu terejawantahkan dalam tiga faksi. Mengutip Compton, Samsuri menyampaikan perbedaan itu bukan lagi mempersoalkan "apakah harus memerangi komunisme", melainkan "bagaimana harus memerangi komunisme".

Menurut Samsuri, faksi Isa Anshary tergolong radikal. Dia mengerahkan semua upaya untuk memperluas dan memanfaatkan isu antikomunisme sebagai senjata politik utama. Faksi Sukiman Wirjosandjojo menyatakan wajib bagi umat Islam untuk mempelajari Marxisme supaya dapat menyelidiki sebarapa jauh perbedaan Islam dan Komunisme. Sedangkan faksi Muhammad Natsir menolak Sosialisme-Marxis dan mengedepankan Sosialisme-Religius.

Meskipun Front Anti Komunis disebut bukan bagian dari Masyumi, perolehan suara di Pemilu 1955 menunjukkan PKI kalah pamor di Jawa Barat. Di Tatar Sunda, Masyumi mendapat suara terbanyak, yakni 26,4 persen suara. Setelah Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI) menempati urutan kedua (22,1 persen), disusul PKI (10,8 persen) dan Partai Nahdlatul Ulama (9,6 persen). Hanya di Kota Cirebon, PKI memperoleh suara terbanyak. Di Kota Bandung dan Kabupaten Cirebon, PKI tembus di peringkat kedua. Sedangkan di kabupaten dan kota lain, PKI tersungkur di urutan ketiga atau seterusnya.

Garut dikuasai Masyumi yang mendulang sekitar 134 ribu suara di Pemilu 1955. Di kabupaten itu, PNI yang menempati peringkat kedua hanya memperoleh kurang dari separuh suara Masyumi, yakni sekitar 48 ribu suara. Sementara suara Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) tidak jauh berbeda dari PNI, PKI hanya berhasil merebut sekitar 33 ribu suara.

Selain diwarnai persaingan antar partai politik, menurut Hiroko Hirokoshi, sebagaimana dikutip Asep Achmad Hidayat dalam Kerusuhan Anti Cina di Kota Garut Tahun 1963 (2014), Garut dan daerah lainnya di Jawa Barat pada warsa 1950-an merupakan wilayah yang dilanda perpecahan antara kaum komunis dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang mengakibatkan kerusuhan-kerusuhan sosial yang luas di daerah itu.

Ada sejumlah wilayah di Garut yang disebut suffah, daerah suci yang telah dibersihkan dari musuh, oleh TII. Ia meliputi wilayah sekitar Gunung Guntur (Samarang dan Tarogong), Leles dan Kadungora, Balubur Libangan, Cibatu, Malangbong, dan di sekitar Gunung Cikuray (Cikajang dan Banjarwangi). Jelang Pemilu 1955, kelompok Darul Islam mengeluarkan ancaman terhadap orang-orang yang akan memberikan suara.

TII dibentuk pada 1948. Kemudian, ia menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang diproklamasikan pada 7 Desember 1949, di Desa Cisampang, distrik Cisayong, Tasikmalaya. Kartosoewirjo dan kelompoknya menganggap Jawa Barat bukan lagi daerah Republik setelah Perjanjian Renville.

DI/TII pun dianggap memberontak kepada Republik. Divisi Siliwangi yang saat itu dipimpin Letjen Ibrahim Adjie menangkap Kartosoewirjo pada 4 Juni 1962. Pada tahun yang sama, Kartosoewirjo dieksekusi hukuman mati.

Setelah itu, gerakan DI/TII mulai surut. Hal itu juga dipengaruhi pembubaran Masyumi—salah satu partai yang mengajukan konsep negara Islam—pada 1960. Asep Achmad menjelaskan bahwa Masyumi pada warsa 1950-an yang begitu kuat dalam pemerintahan selalu enggan mempergunakan kekuatan militer terhadap gerakan DI/TII. Ketiadaan Masyumi memungkinkan TNI melaksanakan operasi militer terhadap DI/TII tanpa diintervensi partai politik.

Meski demikian, gejolak politik di Garut tetap berlangsung pada periode 1960-1965. Menurut Asep Achmad, gejolak itu bersifat laten dan kadang muncul dalam bentuk bentrokan antar kelompok Pemuda Rakyat melawan Pelajar Islam Indonesia (PII). Pemuda Rakyat merupakan organisasi sayap PKI, sementara PII, bersama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Gerakan Pemudia Islam (GPI), adalah organisasi independen yang secara kultural dan ideologis dekat dengan Masyumi.

Pendiri PII Garut ialah Miskun, kader Muhammdiyah yang juga anggot Masyumi Garut. Asep Achmad menjelaskan mayoritas anggota PII wilayah Garut Kota dan Tarogong dibina kader-kader Masyumi seperti kiai As'ari, anwar Suhaemi, dan Isa Anshary. Sementara mayoritas anggota PII wilayah Garut lainnya, terutama di pedesaan, merupakan anak atau cucu anggota Darul Islam.

Setelah "Bahaya Merah" Tiada

Lima tahun setelah Masyumi dibubarkan berdasarkan Pen-Pres No 7/1960 yang diteken Sukarno, giliran PKI yang pada 1965 dinyatakan terlarang karena dituduh sebagai dalang pembunuhan jenderal-jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965 malam.

Setelah partainya dinyatakan terlarang, anggota dan simpatisannya diburu dan bunuh. Tugas utama perburuan itu dipercayakan Panglima Kostrad Soeharto, yang saat itu diberi mandat oleh Presiden Sukarno untuk memulihkan keadaan, kepada Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie Wibowo.

Anggota PKI di Jawa Barat juga ditangkapi, namun Ibrahim Adjie disebut memerintahkan satuannya untuk tidak membunuh mereka. Sehingga di Jawa Barat tidak terjadi pembantaian massal anggota atau simpatisan PKI seperti di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Prajurit RPKAD tidak sampai merangsek ke Jawa Barat.

Setelah malam jahanam itu, kekuatan Sukarno semakin pudar. PKI yang membekinginya selama masa Demokrasi Terpimpin sejak 1959 telah tiada. Lalu, Soeharto juga muncul sebagai penyaing Bung Karno. Atas dasar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966, Soeharto diberi kewenangan membentuk kabinet. Setahun berikutnya, Soeharto resmi menjadi pejabat presiden. Penyokong utama Soeharto semasa itu dan periode berikutnya ialah Angkatan Darat. Di ranah politik elektoral, Soeharto juga mengendalikan Golongan Karya (Golkar).

Keberadaan Golkar mengubah lanskap politik di Garut. Pada 1971, pemerintahan Soeharto menyelenggarakan Pemilu untuk pertama kali. Hasilnya, Golkar keluar sebagai pemenang di Garut. Partai Nahdlatul Ulama hanya memperoleh 20,4 persen suara di kabupaten itu, sementara PSII mengantongi 7,9 persen suara.

Setelah 1971, Golkar masih bercokol kuat di Garut pada lima Pemilu berikutnya. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), hasil fusi partai-partai Islam (NU, Parmusi, Perti, dan PSII), hanya tembus di posisi kedua. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), hasil fusi partai nasionalis dan non-Islam (PNI, Murba, IPKI, Partai Katolik, Parkindo) selalu lolos di urutan buncit.

William Liddle, sebagaimana dikutip Chiara Formichi dalam Islam and the Making of the Nation (2012), mengungkapkan bahwa cara yang digunakan Golkar untuk mendekati kelompok Islam berubah drastis antara sejak Pemilu 1977.

"Pada tahun 1971, Golkar punya citra anti-Islam yang kuat dan telah secara aktif mengolah dukungan dari kaum abangan yang takut pada negara teistik jika Islam politik berkuasa. Pada 1977, Golkar memiliki banyak guru Islam lokal di wilayah basisnya […] dan menggunakan mereka untuk menandingi argumen PPP bahwa kaum Muslim wajib memilih Ka'abah yang berarti memilih PPP," ujar Liddle.

Kebun Beringin di Jawa Barat

Garut, wilayah yang dulu dikuasai partai Islam seperti Masyumi dan menjadi basis pergolakan Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosoewirjo, kini menjadi menjadi lumbung suara Golkar, bahkan setelah Soeharto lengser.

Pada Pemilu 1999, pemilu pertama setelah Orde Baru tumbang, PDI Perjuangan menang di Jawa Barat, disusul Golkar di urutan kedua. Meski demikian, Golkar tetap merajai Garut. Di Garut, PPP menjadi runner-up dengan perolehan suara sebesar 21,3 persen.

Pada Pemilu setelahnya, Golkar memperoleh suara terbanyak di Garut untuk Pemilu anggota legislatif tingkat DPR, DPRD Provinsi Jawa Barat, dan DPRD Kabupaten. Kemenangan serupa juga diraih Golkar pada 2014. Hanya Demokrat yang mampu berprestasi seperti Golkar di Garut, yakni pada Pemilu 2009.

Infografik Jokowi Maruf Prabowo Sandiaga di Jawa Barat

Infografik Jokowi Maruf Prabowo Sandiaga di Jawa Barat

Sementara itu, PDIP maksimal hanya mampu menembus peringkat kedua pada Pemilu anggota legislatif tingkat DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten di Garut dari 2004 hingga 2014—hal yang tidak jauh berbeda dengan yang dialami PNI di era Sukarno dan PDI di era Orde Baru. Sepanjang Republik berdiri, Garut adalah daerah yang amat sulit didominasi kelompok banteng (PNI, PDI, dan PDIP).

Hal itu juga terkonfirmasi lewat perilaku pemilih di Garut pada Pemilihan Presiden, Gubernur Jawa Barat, dan Bupati Garut dari 2004 hingga 2018.

Pasangan calon presiden dan wakil presiden, calon gubernur dan wakil gubernur serta calon bupati dan wakil bupati yang diusung PDIP selalu kalah di Garut.

Di putaran kedua Pilpres 2004, SBY-JK mengalahkan Megawati-Prabowo dengan perolehan suara sebesar 66,31 persen di Garut. Sedangkan di Pilpres 2009, SBY-Boediono menggaet 72,36 persen suara pemilih di Garut. Pada Pilpres 2014, Prabowo-Hatta menumbangkan Jokowi-JK di Garut dengan perolehan suara 70,12 persen.

Rudy Gunawan (kader Gerindra) dan Helmi Budiman (kader PKS) menang dalam Pemilihan Bupati Garut 2013 dan 2018. Yang menang pada Pemilihan Bupati Garut 2008 ialah Aceng Fikri-Dicky Chandra, pasangan calon perseorangan.

Satu-satunya anomali dalam perilaku pemilih di Garut terjadi pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat 2008. Saat itu, pasangan calon Rieke Diah Pitaloka (kader PDIP kelahiran Garut) dan Teten Masduki (juga kelahiran Garut) menang di Garut.

Namun, pada Pilgub Jawa Barat 2013, Garut dimenangkan Ahmad Heryawan (kader PKS) dan pada Pilgub Jawa Barat 2018, mayoritas pemilih di Garut memilih Ridwan Kamil (non-partai) yang diusung Nasdem, PPP, dan PKB.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan