Menuju konten utama

Jokowi Kampanye Soal Pembangkit Listrik EBT, Bagaimana Faktanya?

Jokowi memang mendukung pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan, tapi kebijakannya justru bicara lain.

Jokowi Kampanye Soal Pembangkit Listrik EBT, Bagaimana Faktanya?
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Menteri BUMN Rini Soemarno (kedua kiri), Menteri ESDM Ignasius Jonan (kedua kanan) dan Mensesneg Pratikno (kanan) meninjau PLTU Cilacap Ekspansi 1x660 MW di Karangkandri, Cilacap, Jawa Tengah, Senin (25/2/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Presiden Joko Widodo kembali mengumbar jargonnya untuk melepas ketergantungan pembangkit listrik Indonesia dari energi fosil, seperti batu bara. Saat peresmian PLTU Cilacap Ekspansi 1 x 660 MW, ia membanggakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Sidrap, Sulawesi Selatan.

“Ini akan kami lanjutkan di tempat-tempat yang lain yang anginnya besar,” kata Presiden Jokowi, di Cilacap, Jawa Tengah, Senin, 25 Februari 2019, seperti dilansir laman resmi Sekretariat Kabinet.

PLTB yang dibanggakan Jokowi ini diresmikan pada 2 Juli 2018. PLTB itu memiliki 30 kincir angin dengan tinggi menara 80 meter dan panjang baling-baling 57 meter yang masing-masing menggerakkan turbin berkapasitas 2,5 MW. Sehingga total kapasitas yang dihasilkan oleh 30 turbin adalah 75 MW.

Selain berkomitmen melanjutkan pengembangan listrik berbasis angin, kata Jokowi, pemerintah juga ingin mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Sebab, kata Jokowi, Indonesia memiliki banyak aliran sungai yang dapat dimanfaatkan untuk energi baru terbarukan (EBT).

“Enggak apa-apa batu bara masih pakai, tapi kita harus mulai melihat 50-100 tahun yang akan datang. Kita masih memiliki air dan sungai yang juga tidak akan habis,” kata Jokowi.

Direktur Eksekutif Insitute for Essential Services and Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan klaim Jokowi soal pembangkit listrik berbasis EBT memang sudah sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang ditargetkan berkontribusi 23 persen pada 2025.

Hanya saja, kata Fabby, pencapaian yang dilakukan pemerintah saat ini masih jauh dari harapan. Dari total pembangkit listrik sebanyak 9,5 GW sepanjang 2015-2018, misalnya, hanya 0,88 GW di antaranya yang merupakan EBT dan selebihnya berbasis fosil.

Sampai akhir 2019 nanti, menurut Fabby, penambahan pembangkit listrik berbasis EBT kemungkinannya hanya berkisar 600-700 MW.

“Masih jauh dari target RUEN. Kalau mau sesuai, ya harusnya sampai akhir 2019 ini sudah ada tambahan 9-10 GW EBT,” kata Fabby saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/2/2019).

Capaian EBT di era Jokowi hingga akhir 2019 nanti pun diperkirakan hanya menyentuh 1,5-1,6 GW. Masih jauh di bawah capaian EBT di era SBY yang mampu menyentuh angka 2,2 GW sepanjang 2009-2014.

Mendukung, tapi Kebijakan Bicara Lain

Fabby mengatakan dari data IESR, per semester pertama 2018, misalnya, kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) baru mencapai 90 megawatt-peak (MWp) sedangkan per 2025 pemerintah menargetkan 6,5 GWp. Padahal potensi kapasitas PLTS Indonesia sendiri mencapai 560 GWp.

Jauhnya realisasi itu tidak lain disebabkan oleh Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 [PDF] yang mengharuskan tarif PLTS 85 persen dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

“Kalau disuruh bersaing dengan batu bara, ya repot. Target enggak bisa tercapai karena regulasi,” kata Fabby.

Nasib serupa juga dialami sektor Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang pemanfatannya baru mencapai sekitar 2.000 MW dari potensi nasional sebesar 80.000 MW.

Ketua Umum Asosiasi PLTA, Riza Husni mengatakan sebenarnya tarif listrik PLTA sudah mampu sekompetitif PLTU di angka Rp1.000 per Kwh.

Namun, kata Riza, pengembangannya terkendala kebijakan yang mengharuskan PLTA swasta diserahkan kepada pemerintah usai 20 tahun dan hanya dihargai 1 ribu dolar AS. Sehingga, kata Riza, hal itu membuat akses pinjaman modal menjadi sulit karena dinilai tidak cukup ekonomis.

Belum lagi, pembangkit berskala kecil (di bawah 10 MW) juga terhambat Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 [PDF] yang menetapkan harga di bawah skala keekonomian. Apalagi saat ini Kepmen PUPR No. 12 Tahun 2019 resmi menaikan pungutan pajak air bagi pembangkit listrik hingga 10 kali lipat dari harga 2017.

“Itu kendala. Regulasi dibuat tanpa diskusi dengan stakeholder. Ya enggak bisa diimplementasikan,” ucap Riza saat dihubungi reporter Tirto.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana membenarkan bila saat ini capaian EBT pemerintah masih jauh di bawah target REUN.

Meski demikian, mantan Direktur Jenderal EBTKE itu meyakinkan bahwa EBT telah masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan saat ini ia mengklaim lebih condong mengarah pada penyediaan listrik berbasis EBT.

Walaupun capaian masih di bawah target, Rida menyatakan, paling tidak pemerintah telah menyadari bahwa EBT itu penting. Terutama adanya fakta yang menyebut penyediaan energi tak bisa bergantung pada fosil yang akan habis.

“Kalau presiden sudah jelas. RUPTL sekarang sudah condong ke EBT. Yang harus kami pastikan mengawal itu,” kata Rida kepada reporter Tirto usai rapat koordinasi, di Gedung Menko Kemaritiman, pada Selasa (26/2/2019).

“Kami terbuka terhadap segala masukan. Silakan kalau ada [masukan], termasuk untuk iklim investasi dan segala macam,” kata Rida.

Baca juga artikel terkait ENERGI BARU TERBARUKAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz