Menuju konten utama

Jokowi dan Prabowo dalam Kacamata Seorang Transpuan

Kedua capres dianggap tidak memiliki komitmen melindungi kelompok minoritas rentan seperti LGBTIQ.

Jokowi dan Prabowo dalam Kacamata Seorang Transpuan
Ilustrasi Minoritas dalam Pilpres 2019: histeria anti-LGBTIQ membuat minoritas gender ini sulit percaya pada pelindungan negara. tirto.id/Lugas

tirto.id - Suram.

Sepatah kata itu adalah gambaran paling tepat bagi Kanza Vina untuk memprediksi nasib kelompok LGBTIQ pada tahun politik 2019. Kedua capres, baik Jokowi dan Prabowo, sama sekali tidak peduli pada Kanza dan teman-temannya.

“Aku merasa masa depan penegakan HAM dan perlindungan kaum minoritas itu kayaknya suram,” ucapnya. Kanza diam sejenak lalu menyalakan rokok, menghela napas. Bekas lipstiknya terlihat menempel pada pangkal rokok.

“Benar, kan?”

Saya mengangguk di depan Kanza.

Sore itu cuaca di Tebet berawan. Kanza mengajak saya duduk di taman belakang sekretariat Purple Code, sebuah organisasi nirlaba yang mengusung keberanian mengekspresikan identitas gender serta tempat persahabatan bagi minoritas gender. Di sebelah kami ada Efi, kawan Kanza, seorang seniman, tengah melantunkan lagu-lagu Sisir Tanah.

Kanza adalah seorang transpuan--sebutan untuk transgender perempuan. Ia lahir di Bengkulu, lalu merantau ke Jakarta sejak berumur 15 tahun. Pengalaman getir hidupnya semasa sekolah di Bengkulu membuatnya tak tahan. Ia menjadi target perundungan di sekolahnya karena ekspresi feminimnya.

Menjadi seorang transpuan di Indonesia memang bukan perkara mudah. Kanza tahu benar itu. Boro-boro kebijakan politik yang adil untuk mereka, lingkungan sosial saja kerap memberikan stigma buruk yang berujung persekusi, ujarnya.

Beberapa waktu lalu, ada kawan-kawan Kanza yang diusir dari kontrakan. Di tempat lain ada yang dipersekusi dan disiram air comberan. Ada pula yang diarak warga.

Ini belum termasuk konflik dengan keluarga, yang biasanya berujung pada pengusiran.

Rentetan kejadian itu yang membuat Kanza geregetan. Apalagi di tahun politik, ia dan teman-teman selalu jadi korban. Mereka juga tidak pernah dianggap sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama. “Mereka bicara LGBT saja nggak ada yang berani,” kata Kanza.

Ada masa di mana Kanza merasa ada tokoh-tokoh yang dianggapnya bisa membawa perubahan. Khusus bagi kelompoknya, ia punya harapan bisa hidup dan diperlakukan sama seperti warga negara lain. Ia ingin hidup yang tenang, tanpa persekusi.

Jokowi atau Prabowo

Pada Pilkada DKI 2012, Kanza melihat Joko Widodo sebagai salah satu harapan. Dari teman-temannya, Kanza mendapatkan banyak cerita yang baik soal Jokowi. Maka, Kanza menggunakan hak pilihnya untuk Jokowi. Jokowi menang. Kanza senang.

“Pilpres 2014 pilih Jokowi?” tanya saya.

“Iya, ikut Jokowi lagi," jawabnya. "Tapi setelah itu, Pilkada DKI [antara] Ahok dan Anies, masa bodoh, saya golput."

Belakangan, ia kecewa dengan pilihannya itu. Sebab, sama sekali tidak ada perubahan kebijakan bagi kelompoknya. Ia dan teman-temannya tetap jadi korban persekusi.

“Kamu pernah pidato di depan menteri agama, gimana waktu itu dengan menteri agama?”

“Aku enggak tahu kalau ada menteri agama. Itu dua tahun lalu, ya. Aku cerita soal hidup yang seharusnya tidak perlu sih sampai diceritakan begitu. Tapi gimana? Itu yang aku alami.

"Tapi menteri agama juga enggak gimana-gimana. Malah belakangan dia diserang dengan pidato itu,” jawab Kanza, mengingat pidatonya dalam Suardi Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen.

“Gimana dengan Prabowo? Secara personal sepertinya enggak ada masalah dengan LGBT?”

Kanza menghela napas panjang. Ia teringat zaman Orde Baru, pada masa mantan mertua Prabowo memimpin Indonesia. Nyaris sedikit kelompok LGBT didiskriminasi, bahkan cenderung bebas.

Di Istana Negara saja, kata Kanza, beberapa transgender dipekerjakan sebagai penata busana dan rias. Acara seperti kontes waria pun tidak dibubarkan seperti sekarang.

“Dulu kami tidak dianggap sebagai ancaman. Jadi dibiarkan saja. Pokoknya asal diam saja, enggak akan ada masalah. Kalau mau egois, kami pilih saja Prabowo, paling tinggal gantian saja siapa yang kena gebuk, tapi kan enggak bisa begitu?” kata Kanza.

Namun, bila melihat kelompok-kelompok di belakang Prabowo, ia pun khawatir. Beberapa organisasi masyarakat yang kerap mempersekusi LGBT ada di sana.

Kanza memang tidak merasakan persekusi itu secara langsung, tapi ia turut mengadvokasi kawan-kawannya yang menjadi korban. Itu yang membuatnya berpikir bahwa tidak akan ada perubahan, siapa pun capres yang akan menang pada 19 April 2019.

“Sampai 50 tahun lagi, mungkin bakal belum ada perubahan,” katanya, pasrah.

Infografik HL Indepth Minoritas dalam Pilpres 2019

Infografik Minoritas dalam Pilpres 2019. tirto.id/Lugas

Tahun Untuk Bertahan hidup

Pilihan serba suram ini ada di depan mata. Risiko sudah diperhitungkan. Lalu siapa yang akan dipilih?

Kanza memutuskan untuk tidak memilih keduanya, alias golput.

Alasannya sederhana, karena sudah tahu akan bernasib sama, lalu untuk apa memilih?

“Yang ada justru jadi beban. Setidaknya kalau golput, aku pribadi enggak ada beban. Ibaratnya, siapa pun yang terpilih, bukan gue yang memilih.

"Kalau misalkan terjadi sesuatu, tindakan itu sudah kita prediksi. Dulu kita berharap, tapi pada prosesnya, kita lihat tidak ada apa-apa. Sekarang kalau kehajar, mau dukung siapa pun, kita tetap dibegitukan.”

Tapi, Kanza tidak memaksa teman-temannya untuk berpikir sama menentukan sikap politik. Satu yang ia selalu ingatkan: siapa orang-orang yang selama ini menolak mereka?

Lima tahun ke depan bagi Kanza adalah waktu yang sama seperti lima tahun sebelumnya. Ini adalah waktu di mana ia dan teman-teman komunitas LGBTIQ untuk bertahan hidup. Ia tidak muluk-muluk.

“Proses teman-teman coming out itu adalah masa fight. Kami harus berhadapan dengan keluarga dan masyarakat sosial. Sekarang kami sudah coming out, ini adalah masa di mana kami harus bertahan hidup, bagaimana pun caranya,” kata Kanza untuk menjelaskan coming out adalah proses yang berani bagi seorang LGBTIQ mengakui identitas gendernya.

“Lalu bagaimana jika persekusi terjadi lagi?”

“Ya seperti biasa saja, kami juga mengadvokasi sendiri,” katanya.

Namun, bila masih ada orang-orang politik pemberani di luar sana yang memperjuangkan mereka, ia juga tak banyak berharap. Minimal, kata Kanza, mereka bicara normatif saja.

“Bicara saja, jangan persekusi. Itu sudah lebih dari cukup.”

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam