Menuju konten utama
27 Agustus 1988

John Lie, Komandan Kapal Penyelundup untuk Kemerdekaan Republik

“Sampai Belanda betul-betul meninggalkan Indonesia, kapal saya akan terus berlayar,” ujar John Lie.

John Lie, Komandan Kapal Penyelundup untuk Kemerdekaan Republik
Ilustrasi Mozaik Laksamana John Lie. tirto.id/Sabit

tirto.id - “Mijn land te dienen ten koste van alles, ook mijn leven, en mijn volk te helpen in hun strijd om hun onafhankelijkheid. Bovendien houd ik van de zee.” (Melayani negara dengan sepenuh hati, dengan segenap jiwa dan raga, dan menolong bangsaku dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Selain itu juga, saya sangat cinta laut).

Kalimat itu diucapkan John Lie dalam wawancaranya dengan Nieuwe Courant pada April 1950. Lie memang sangat mencintai laut. Sedari kecil ia bercita-cita ingin menjadi pelaut dan menjelajahi dunia. Namanya kelak dikenal sebagai pejuang dan pahlawan pertama Indonesia yang berasal dari etnik Tionghoa.

John Lie (Lie Tjeng Tjoan) lahir di Manado pada 9 Maret 1911. Ia anak kedua dari delapan bersaudara pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Pendidikan dasarnya ia tempuh di Hollandsch Chineesche School (HCS) dan Christelijke Lagere School, lalu memutuskan hijrah ke Batavia guna mewujudkan cita-citanya sebagai pelaut. Lie mengaku bahwa panggilannya menjadi pelaut datang dari Tuhan.

Karier awal Lie dirintis di Pelabuhan Tanjungpriok, ia bekerja sebagai buruh pelabuhan. Selanjutnya, ia mendapat kesempatan bekerja sebagai navigator kapal untuk Koninklijke Paketvaart Maatschappij (Perusahaan Pelayaran Kerajaan Belanda, KPM). Pekerjaannya itu membawa Lie berkeliling dunia, mulai dari Asia Tenggara, Timur Jauh, hingga Benua Afrika.

Namun, karena pekerjaannya itu pula Lie sadar bahwa terdapat ketimpangan dan kesewenang-wenangan yang menimpa golongan kulit berwarna di geladak kapal. Hal itu menjadi pelecut baginya untuk berjuang bagi Indonesia merdeka.

Lie kerap berdoa agar Indonesia bisa bertransformasi dari "belantara liar" menjadi "Taman Eden", diperintah oleh bangsa sendiri, bukan bangsa asing. Dalam wawancaranya dengan Roy Rowan, wartawan majalah Life, ia mengemukakan bahwa Tuhan telah memanggilnya pulang ke Tanah Perjanjian (Indonesia) guna menjadikan Indonesia sebagai Taman Eden. Total John Lie menghabiskan 15 tahun di KPM sebelum memutuskan keluar dan kembali ke Indonesia.

Ketika Perang Dunia II berkecamuk, ia sempat ditugaskan di MV Tosari, kapal logistik Sekutu. Pada 27 Februari 1942, beberapa hari sebelum invasi Jepang ke Jawa, John Lie berangkat dengan kapal Tosari dari pelabuhan Cilacap menuju Australia. Namun di tengah perjalanan rute tersebut diubah. Tosari pun kemudian menjelajah banyak kota, mulai dari Colombo, Bombay, Persia, hingga Calcutta. John Lie menghabiskan waktunya untuk menggalang dukungan bagi kemerdekaan Indonesia, seraya memutar otak mencari strategi untuk menyokong perjuangan tersebut.

John Lie dan The Outlaw

Ketika Revolusi Indonesia meletus, John Lie memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Saat itu ia tengah berada di Calcutta. Pada Juni 1946, ia berkomunikasi dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan pimpinan Palang Merah Indonesia, A.A. Maramis. Keduanya menyarankan agar Lie berangkat menuju Yogyakarta. Melalui bantuan teman lamanya, Willy Soemantie, ia pun diterima sebagai Kelasi III Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).

Dalam Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie yang ditulis oleh Nursam, disebutkan bahwa ia dipromosikan sebagai Mayor Laut pada November 1946 dengan jabatan sebagai Komandan Perairan Cilacap. Hal itu tidak lepas dari kontribusinya dalam membersihkan sisa-sisa ranjau yang dipasang oleh Angkatan Laut Jepang.

Beberapa minggu setelah Agresi Militer Belanda I, John Lie tiba di Singapura dan disambut oleh Raden Oetoyo selaku perwakilan Indonesia. Raden Oetoyo menginstruksikan agar ia menjadi komandan kapal cepat bermuatan 100 ton, dengan nomor registrasi PPB-58-LB, yang kelak dikenal sebagai The Outlaw dan resmi menjadi bagian dari armada laut Indonesia. The Outlaw dibangun pada 1944 di Dar-Es-Salaam, Tanzania, dengan panjang 110 kaki, berkekuatan 20-knot, dan tidak dilengkapi senjata.

Misi pertama Lie dengan The Outlaw adalah menyelundupkan obat-obatan dan barang-barang penting lainnya bagi para pejuang Republik Indonesia, dari Singapura menuju Labuhan Bilik di Sumatra Utara. Lie membawa bahan mentah seperti karet sebagai alat tukar. Patroli kapal laut Belanda yang berulang kali menggagalkan penyelundupan tidak membuatnya gentar. Padahal tidak terhitung berapa banyak penyelundup yang harus mati terkena berondongan bedil Belanda.

Singkat cerita, misi tersebut berjalan lancar, dan menjadi tonggak awal bagi misi-misi penyelundupan Lie lainnya untuk Indonesia. Tidak hanya barang, pada 2 Januari 1948, Lie bahkan sempat menyelundupkan 26 personil Angkatan Udara Republik Indonesia yang kala itu dipimpin oleh Letkol Sujono dan Mayor Iskandar, dengan rute dari Malaya ke Labuhan Bilik.

Barang-barang yang diselundupkan The Outlaw pun beragam, mulai dari senjata api, pesawat pengangkut, alat transportasi, obat-obatan, dan sebagainya. Dalam setiap misinya, Lie kerap membawa dua Alkitab di kapalnya. Satu dalam bahasa Inggris dan satu lagi berbahasa Belanda. Ia memegang teguh sumpahnya untuk menjalankan The Outlaw bagi Tuhan, negara, dan kemanusiaan.

Misi-Misi Penyelundupan John Lie

Belanda berulang kali berupaya menangkap John Lie dan krunya dengan cara menjebak. Namun upaya tersebut selalu gagal. Saking licinnya, media Belanda menjuluki Lie sebagai blokkadebreker (penembus blokade). Pada Februari 1948, dalam salah satu misi penyelundupan, The Outlaw hampir tertangkap oleh kapal patroli Belanda. Tiga tembakan dilepaskan ke arah The Outlaw dari jarak sekitar 60 meter. Lie pun berusaha memacu kapalnya seraya berdoa dan memegang Alkitab hingga berhasil meloloskan diri. Ia lalu kembali ke Port Swettenham (sekarang Port Klang di Malaysia) dan mendirikan pangkalan laut Indonesia untuk menyokong perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Dua bulan berselang, bahaya serupa kembali menimpanya. Dalam perjalanan menuju Labuhan Bilik dari Malaka, The Outlaw berpapasan dengan kapal Belanda. Lie langsung memutar haluan. The Outlaw sempat berondongan peluru dan granat. Namun Lie beruntung dapat lolos setelah berputar-putar selama tiga hari.

Di lain waktu, The Outlaw juga sempat diberhentikan oleh patroli Belanda dalam perjalanan dari Johor menuju Sumatra. Saat itu The Outlaw tengah membawa senjata semi-otomatis yang rencananya akan diberikan kepada Usman Effendi dan Abusamah. Belanda segera mengarahkan meriamnya. Mereka hanya tinggal menunggu perintah untuk menghantam The Outlaw. Beruntung perintah tersebut tidak pernah keluar. John Lie berujar bahwa kapalnya terdampar dan tidak dapat lagi berjalan. Kapal patroli Belanda pun segera meninggalkan The Outlaw tanpa melakukan investigasi lanjutan. John Lie dan para awaknya pun lagi-lagi lolos dari maut.

John Lie memang memiliki strategi sendiri dalam mengelabui patroli Belanda. Ia biasanya akan membawa The Outlaw ke sebuah teluk kecil, lalu menutupinya. Setelah situasi aman, barulah ia kembali melanjutkan misinya.

Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, John Lie yang saat itu tengah berada di Penang segera mengadakan rapat darurat untuk menentukan langkah strategis yang harus diambil guna menyokong perjuangan Indonesia. Ia pun memutuskan untuk melanjutkan misi penyelundupannya. Pada 24 Desember 1948, The Outlaw membawa banyak obat-obatan dari Penang dan lagi-lagi berhasil menembus blokade Belanda.

John Lie sempat tertangkap oleh bea cukai Inggris ketika menyelundukan 18 drum minyak kelapa sawit. Ia dibawa ke pengadilan Singapura namun terbukti tidak bersalah. Terhitung sejak Januari 1949 misi Lie di Malaya harus terhalang lantaran pemerintah kolonial Inggris menolak seluruh kapal dari Indonesia yang tidak memiliki “Loadline Certificate of the Dutch Government” (Sertifikat Bongkar Muat dari Pemerintah Belanda). Lie tidak kehabisan akal. Ia sadar tidak bisa lagi menggunakan Pelabuhan Malaka sebagai lokasi transit, sehingga memutuskan untuk memperluas wilayah misinya ke Bangkok, Phuket, Hong Kong, hingga Manila.

Ia dipercaya untuk mengatur penyelundupan di Phuket yang sejak 300 tahun silam menjadi markas persembunyian bajak laut Burma. Di Phuket ia menyimpan senjata yang dibeli di antara persawahan sebelum dibawa ke Indonesia. Selain Phuket, jaringan Lie tersebar di berbagai negara mulai dari Singapura yang dipegang oleh Raden Oetoyo, Bangkok yang dipegang oleh Isak Mahdi, Penang dengan Mohammed Machsoes sebagai penanggung jawabnya, hingga berbagai agen lainnya yang tersebar di Indo-China, Burma, dan Malaya.

Infografik Mozaik Laksamana John Lie

Infografik Mozaik John Lie Penyelundup Sekaligus Penyelamat Republik. tirto.id/Sabit

Pada awal Oktober 1949, setelah kembali dari Phuket, The Outlaw sempat dikejar kapal korvet Belanda bernama Boeroe yang saat itu tengah berpatroli di Ujung Tamiang. Saat itu The Outlaw tengah membawa dua mobil, satu truk, dua motor, dan banyak obat-obatan penting seperti penisilin. Boeroe sempat melontarkan beberapa tembakan dan granat. Setelah 1,5 jam, The Outlaw yang saat itu dikendarai Kusno (John Lie kebetulan masih berada di Phuket lantaran sakit) akhirnya ditangkap dan disita Belanda. Sebanyak 18 awaknya ditahan.

Total selama dua tahun John Lie menyelundupkan senjata dan barang-barang penting lainya dari Malaka dan Thailand. Namanya begitu mashyur dan disegani di kalangan penyelundup senjata ulung dari organisasi penyelundup senjata (wapensmokkelaars) yang tersebar mulai dari Filipina hingga ke India. Organisasi penyelundup ini memiliki markas di Manila, Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, hingga New Delhi. Para anggotanya terdiri dari para pejuang dari berbagai negara dan latar belakang profesi.

Sekalipun bagi banyak pihak misi yang ia lakukan sangat mengerikan, namun bagi John Lie itu merupakan panggilan Tuhan. “Sampai Belanda betul-betul meninggalkan Indonesia, kapal saya akan terus berlayar,” ujarnya kepada Roy Rowan.

Pahlawan Nasional dan KRI

Setelah penyerahan kedaulatan pada akhir 1949, John Lie sempat ditempatkan di KRI Rajawali sebagai Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya. Ia kemudian dipercaya menjadi Komandan Komando Maritim Jakarta pada 1955. Lalu pada 1957 menjabat sebagai Komandan KRI Gajah Mada dengan pangkatnya menjadi Letkol. John Lie terlibat aktif dalam penumpasan PRRI dan RMS.

Pada 26 Februari 1956, ia melamar Margareth Angkuw. Pernikahan mereka diadakan secara sederhana di Gereja Immanuel, Jakarta, pada 28 April 1956. Pada 1964, John Lie menjadi Laksamana Muda sebelum resmi pensiun pada 1967. Di tahun yang sama, ia mengganti namanya menjadi Jahja Daniel Dharma kemudian memutuskan menjadi seorang penginjil.

John Lie meninggal dunia pada 27 Agustus 1988, tepat hari ini 33 tahun lalu, dalam usia 77 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada 10 November 1995, John Lie sempat menerima Bintang Mahaputera Utama dari Soeharto. Sementara gelar pahlawan nasional baru dianugerahkan kepadanya dalam peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2009.

Pada 2014, nama John Lie pun diabadikan sebagai nama salah satu kapal korvet TNI AL, bersama-sama dengan KRI Bung Tomo dan KRI Usman Harun. Total ia menerima dua Bintang Penghargaan dan lima belas Satya Lencana.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Ravando Lie

tirto.id - Humaniora
Penulis: Ravando Lie
Editor: Irfan Teguh