Menuju konten utama
29 Maret 1977

Johannes Leimena, Orang Paling Jujur di Mata Sukarno

Hati berlian.
Kemilau kejujuran
sosok panutan.

Johannes Leimena, Orang Paling Jujur di Mata Sukarno
Ilustrasi Johannes Leimena. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pengandaian itu tidak berlebihan. Faktanya, Sukarno memang mengagumi sosok Johannes Leimena, seorang dokter kelahiran Ambon yang terlibat aktif dalam Sumpah Pemuda 1928. Kekaguman Sukarno itu pun diterangkan secara gamblang dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007) yang ditulis Cindy Adam.

“Ambilah misalnya Leimena...saat bertemu dengannya aku merasakan rangsangan indra keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui,” aku Sukarno.

Apa yang dikatakan Sukarno bukanlah omongan seorang politisi. Kepercayaan Sukarno terwujud pada sejumlah tugas penting yang diberikan pada Leimena. Semasa Sukarno menjadi presiden, Leimena hampir tidak pernah absen dalam kabinetnya.

Om Jo, begitu sapaan akrab Johannes Leimena, memulai kariernya di dunia politik sejak masih menjadi mahasiswa Kedokteran di Sekolah Tinggi Kedokteran Geneeskunde Hogeschool (GHS) di Jakarta. Selama menjadi mahasiswa, dia aktif dalam sejumlah organisasi seperti Jong Ambon dan Christelijke Studentenvereniging (CSV).

Melalui organisasi itu dia pun mulai berkenalan dengan sejumlah tokoh besar, termasuk Sukarno. Menurut buku Johannes Leimena: Negarawan Sejati dan Politisi Berhati Nurani (2007), dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, Om Jo pun terlibat aktif dan menjadi perwakilan dari Jong Ambon. Dia juga salah satu panitia kongres tersebut. Artinya karena dia juga Sumpah Pemuda 1928 tercetus.

Usai menyelesaikan kuliahnya, Om Jo memutuskan untuk mengabdi sebagai dokter sesuai dengan bidang keilmuannya. Dia pertama kali diangkat menjadi dokter pemerintah Hindia Belanda di rumah sakit CBZ Batavia yang kini menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Om Jo tidak lama bekerja di sana. Saat Gunung Merapi meletus pada tahun 1930, dia pun ditugaskan ke Yogyakarta untuk membantu korban. Usai tugas di sana selesai, Om Jo pindah ke rumah sakit Zending Immanuel di Bandung. Dia pun bekerja di situ sampai mendekati kemerdekaan Indonesia.

Diplomasi Bermodal Baju Pinjaman

Setelah kemerdekaan Indonesia, Om Jo masih menjadi dokter. Sampai suatu hari, Sukarno datang menemuinya dan meminta Om Jo menjadi Menteri Kesehatan. Om Jo menyanggupi permintaan Sukarno. Om Jo menjadi Menteri Kesehatan dalam Kabinet Sjahrir II, ketika revolusi melawan militer Belanda berkecamuk. Di masa sulit itu, jangankan rakyat kecil, seorang dokter yang terpelajar dan harusnya punya uang seperti Om Jo pun ternyata hanya punya sedikit pakaian.

Konsekuensi menjadi seorang menteri, Om Jo pun dalam beberapa kesempatan harus mewakili Indonesia bertemu dengan perwakilan negara lain. Sialnya, selama ini, Om Jo tidak pernah memiliki pakaian yang pantas untuk bertemu dengan para utusan negara lain tersebut.

Suatu ketika dia harus ikut dengan Sukarno bertemu dengan diplomat Inggris dan Belanda. Karena tak punya pakaian, Leimena pun kemudian meminjam jas dan dasi temannya untuk tampil formal dalam pertemuan tersebut.

Bermodal pakaian pinjaman, Om Jo pun tampil meyakinkan. Para diplomat Belanda dan Inggris pun memanggilnya dengan “Yang Mulia”. Peristiwa itu membuat Sukarno terpingkal-pingkal jika mengingatnya.

“Orang-orang desa dengan baju pinjaman tiba-tiba terjun ke politik, duduk di meja perundingan berhadapan dengan wakil-wakil terhormat, seperti Ratu Juliana yang berpakaian mentereng. Kesulitan terbesar dari para menteriku adalah menahan ketawa bila memikirkan keganjilan ini semua,” kata Sukarno dalam Penyambung Lidah Rakyat.

Infografik mozaik johannes leimena

Puskesmas Juga Warisan Om Jo

Om Jo bukan sekadar seorang dokter. Dia juga seorang pemikir yang moncer. Menurut buku Johannes Leimena: Negarawan Sejati dan Politisi Berhati Nurani, semasa menjadi menteri, Om Jo bersama beberapa tokoh lainnya menggagas Bandung Plan pada 1951. Dalam Bandung Plan dicetuskan ide untuk mengintegrasikan institusi kesehatan di bawah satu pimpinan supaya lebih efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan.

Gagasan itu pun ditindaklanjuti dengan membuat Tema Work dalam pelayanan kesehatan pada 1956 dan kemudian terus dikembangkan. Dalam perjalanannya, integrasi institusi kesehatan yang hingga ke level kecamatan itu dikenal dengan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Pemikiran Om Jo tentang kesehatan tertuang juga dalam Kesehatan Rakjat di Indonesia: Pandangan dan Planning (1955).

Selain merintis cikal bakal Puskesmas, sebagai politisi sejak muda, Om Jo juga aktif di bidang politik. Pada 1945, dia turut serta mendirikan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Lima tahun kemudian, ia dipercaya menjadi ketua umum. Di masa Orde Baru, Parkindo difusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia.

Selain partai politik, dalam membina kaum muda, Om Jo juga mendirikan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) sebagai organisasi pengkaderan pada tahun 1950. Kehadiran GMKI pun memberikan warna baru didunia pergerakan di Indonesia.

Organisasi bentukan Om Jo ini pun melahirkan kader-kader yang kini menduduki sejumlah posisi penting di Indonesia. Dua di antaranya adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Kader-kader Om Jo memang banyak. Namun, mendapatkan kembali sosok seperti Om Jo, yang meninggal pada 29 Maret 1977, tepat hari ini 41 tahun lalu, sepertinya cukup sulit si masa sekarang.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Humaniora
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Petrik Matanasi