Menuju konten utama
8 November 1959

Johannes Latuharhary & Sejarah Kesetiaan Nyong Ambon pada Republik

Johannes Latuharhary ikut mengorganisasi orang-orang Ambon dalam pergerakan nasional dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Johannes Latuharhary & Sejarah Kesetiaan Nyong Ambon pada Republik
Johannes Latuharhary. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sebagian orang Indonesia terjebak pada citra orang Ambon sebagai penagih utang di masa kini atau pegawai kolonial dan serdadu KNIL di masa lalu. Padahal dalam sejarah, orang Jawa yang jadi pegawai kolonial dan serdadu kolonial tidak kalah banyaknya. Istilah Ambon selalu mengacu kepada daerah Maluku, yang dulunya berpusat di kota Ambon. Tak heran, semua orang asal Kepulauan Maluku kerap disebut orang Ambon.

Orang Ambon yang kebanyakan Kristen juga sering dicap sebagai etnis yang pro-Belanda oleh sebagian kalangan. Padahal, Kapitan Pattimura sudah lama jadi pahlawan nasional. Selain Pattimura, pada awal abad ke-20, sudah ada orang Ambon macam Alexander Jacob Patty atau A.M. Sangadji dalam Pergerakan Nasional Indonesia.

Sebetulnya bukan cuma mereka berdua. Setidaknya masih ada Johannes Leimena dan Johannes Latuharhary. Leimena, yang pernah jadi wakil perdana menteri era Sukarno, di masa mudanya terlibat dalam Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928. Sementara Johannes Latuharhary adalah Gubernur Republik Indonesia untuk Maluku di awal kemerdekaan. Itu bukti banyak orang Maluku atau Ambon yang berjuang untuk Republik Indonesia.

Setamat HBS di Salemba—sekolah yang sama dengan Agus Salim, Husni Thamrin, dan Douwes Dekker—Johannes Latuharhary alias Nani tidak masuk KNIL atau jadi pegawai negeri sipil kolonial. Bagi keluarga terpandang di Maluku, menurut Henriette Latuharhary alias Mans Muskita, derajat serdadu ada dibawah.

Meski sulit dana, Nani berangkat juga ke Belanda. Ia dibantu Ambon Studiefond untuk membiayai kuliah dan ayahnya, Jan Latuharhary, rela jual rumah di kampung agar sang anak bisa berangkat kuliah hukum di Leiden. Jan Latuharhary yang lulusan Kweekschool (Sekolah Guru) di Ambon cukup paham artinya pendidikan tinggi bagi anak. Sebelum di HBS nan elite, ayahnya berjuang agar Nani Latuharhary bisa bersekolah di SD elite macam ELS.

Di Leiden, menurut O.I. Nanulaitta dalam MR Johannes Latuharhary SH: Hasil Karya dan Pengabdiannya (1983: 21), Nani mengambil spesialisasi hukum adat. Di kampus itulah Prof. van Vollenhoven, yang sohor sebagai ahli hukum adat, menjadi guru besarnya. Nani tidaklah dekat dengan kaum pergerakan macam Perhimpoenan Indonesia (PI) pada tahun-tahun pertama.

Meski Nani bukan anggota PI, tapi ia dikenal dengan baik oleh beberapa aktivisnya. “Saya mengenalnya sebagai orang yang dapat dipercaya dan mempunyai pendapat lurus serta tabiat terus terang yang sangat saya hargai," aku mantan anggota Perhimpoenan Indonesia bernama Ahmad Subardjo dalam autobiografinya, Kesadaran Nasional (1978: 188). Subardjo merampungkan kuliah pada Juni 1927.

“Johannes adalah putra Maluku yang pertama yang meraih gelar Mr (Meester in Rechten) di Universitas Leiden. Sesudahnya menyusul putra Maluku yang kedua, yaitu Mr Abdul Syukur,” tulis Nanulaitta.

Pulang dari Leiden, kehidupan mapan menanti Nani. Dia pun menjadi hakim di Jawa Timur.

Seingat putri sulungnya, Henriette Josephine Latuharhary yang dikenal sebagai Nyonya Mans Muskita, ayahnya menjadi hakim di sekitar Surabaya dan Madura. Perkara yang diadilinya cukup remeh-temeh, seperti maling ayam atau maling sepeda.

Tak hanya sebagai hakim, di masa mudanya itu, dia masuk juga dalam pergerakan nasional. “Sejak tahun 1928 Sarikat Ambon dipercayakan kepada Mr J Latuharhary, yang ketika itu baru kembali dari studinya di Nederland,” tulis Johannes Dirk de Fretes dalam Kebenaran Melebihi Persahabatan (2007: 18).

Sarekat Ambon didirikan oleh Alexander Jacob Patty, yang menjadikan orang-orang Ambon sebagai Bangsa Indonesia dalam pergerakan nasional.

Johannes Latuharhary muda, seperti diceritakan Mans Muskita kepada Tirto pada Selasa (30/10/2018), Nani pernah terlibat cinta dengan seorang perempuan Perancis. Setelah Nani lulus dan hendak pulang, Nani berjanji membawanya ke Indonesia.

Tapi, menurut Nanulaitta, membawa nona Perancis ke Indonesia di zaman Malaise sangat tidak mungkin karena keuangan Nani tidak mampu untuk itu. Sementara menurut Mans Muskita, keterlibatan Nani dalam dunia pergerakan nasional bersama orang-orang Ambon memutuskan hubungan Nani dengan si nona Perancis.

“Kawan-kawan mendesak agar beta tidak mengawini wanita Perancis itu kalau beta ingin meneruskan perjuangan politik,” kata Nani, seperti diingat de Fretes (hlm. 26).

Tak jadi dengan nona Perancis, Nani akhirnya terlibat cinta nona Ambon berdarah Belanda.

Henriette Carolina Pattiradjawane namanya. Panggilannya Yet. Ia adalah anak Raja Negeri Kariu, Jacob Pattiradjawane. Menurut Nanulaitta (hlm. 68-71), pertemuan terjadi di rumah dokter Lodewijk Tamaela, anggota Dewan Kota Malang. Tamaela adalah suami dari kakak Yet. Meski tidak kaya raya, Nani sudah punya mobil di tahun 1930-an. Demi Yet Pattiradjawane, Nani rela bolak-balik Kraksaan-Malang.

Nani dan Yet menikah pada 26 September 1931 di Yogyakarta, dengan diberkati Pendeta A. Loupatty. Keduanya sempat berbulan madu di Semarang. Mans, yang lahir di hari Senin tanggal 15 Juni 1932 di Surabaya, adalah putri pertama mereka. Kerena lahir di hari Minggu, yang dalam bahasa Perancis berarti La Semaine, putri pertamanya itu pun dipanggil Mans. Mungkin Nani susah lupa pada si nona Perancis, meski komitmennya pada Yet tak bisa dibantah. Kepada Mans, Nani tak pernah cerita siapa nama perempuan Perancis itu.

Gaji untuk Pergerakan

Sarekat Ambon di bawah Johannes Latuharhary terus hadir sebagai representasi orang-orang Ambon dalam pergerakan nasional. Dia membuat Sarekat Ambon dekat dengan Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Belakangan, Latuharhary bersama orang-orang Ambon lainnya masuk Partai Indonesia Raya (Parindra).

Tentu saja tak semua orang Ambon satu pikiran dengan Johannes Latuharhary dan kawan-kawannya. Salah satu di antara yang bertentangan dengan Latuharhary adalah Christian Soumokil, yang kelak menjadi Presiden Republik Maluku Selatan (RMS). Demi pergerakan nasional, Johannes Latuharhary dengan berani keluar dari pekerjaannya sebagai abdi kolonial.

Pengunduran dirinya dikirim ke Betawi dan diluluskan pemerintah. Untuk bertahan hidup bersama keluarganya, dia bekerja sebagai pengacara. Pemasukan keluarga Nani dan Yet tentu menurun jauh.

“Nani mulai bekerja dengan gaji 500 guden. Sebagai Ketua Pengadilan gajinya 750 gulden. Suatu jumlah yang besar pada waktu itu. Lebih besar dari gaji kebanyakan orang Belanda. Tetapi sebagian besar habis untuk keperluan organisasi Sarekat Ambon,” aku Yet, seperti dikutip Nanulaitta (hlm. 78).

Nani pernah juga membela para petani di Kraksaan, Probolinggo, Situbondo, dan Jember yang tanahnya dipakai pabrik gula tanpa dibayar. Seingat yet, “mereka [pihak pabrik] menyuap Meester [Johannes Latuharhary] dengan uang sebanyak dua kaleng minyak tanah. Mijn Man is niet om te kopen (suamiku tidak bisa disuap). Nani menolak mentah-mentah suapan itu.”

Di zaman kolonial, orang pergerakan biasanya menjadi sasaran penguntitan polisi rahasia yang dikenal sebagai PID. Ketika balatentara Jepang datang, Johannes Latuharhary adalah anggota Parindra di Malang. Latuharhary jadi sasaran penangkapan militer Jepang. Setelah empat bulan ditahan, Nani akhirnya dibebaskan. Bulan September, Latuharhary sekeluarga pindah ke Jakarta. Di mana dia bekerja mengurusi istri-istri dan anak-anak Ambon yang suami dan ayah mereka terikut Belanda ke Australia.

“Ia ditugaskan oleh Jepang untuk mengepalai kantor Urusan Penduduk Maluku (di) seluruh Jawa. Ia bertanggungjawab atas tindak-tanduk orang-orang Maluku. Jadi kalau ada apa-apa dengan orang Ambon, Latuharhary yang harus memberi pertanggungjawaban,” tulis Nanulaitta (1983: 93).

Ini bukan tugas mudah. Orang-orang Ambon adalah sasaran empuk kecurigaan militer Jepang. Mereka kerap dituduh mata-mata Sekutu atau antek Belanda di tahun 1940-an. Sepengakuan Mans, ayahnya dan kawan-kawannya terancam kena gebuk militer Jepang jika ada orang Ambon ketahuan atau dicurigai bermasalah.

Di akhir zaman Jepang, Latuharhary masih dianggap penting. Hingga dirinya termasuk salah satu dari anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). “Ia mewakili Maluku dan membawa dalam sidang-sidang pendirian umat Kristen,” tulis Nanulaitta (hlm. 110).

Ketika Piagam Jakarta dikoarkan dengan sila pertama tentang ketuhanan yang bertele-tele tapi meresahkan kaum non-Muslim, Latuharhary, yang kebetulan Kristen, tentu tak bisa membiarkan. Indonesia bukan cuma milik orang Islam. Faktanya Indonesia diperjuangkan orang-orang yang agamanya bermacam-macam.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada 6 September 1945, orang-orang Ambon berkumpul di Jakarta. Gubernur provinsi Maluku (yang diangkat Presiden Sukarno), Mr. Johannes Latuharhary, menghadap presiden di Pegangsaan Timur 56. Pada momen itu, pernyataan sikap orang Maluku ditegaskan, yaitu berdiri di belakang Republik Indonesia.

Dukungan orang-orang Ambon macam Latuharhary terhadap Republik Indonesia rupanya bukan jaminan atas keselamatan orang-orang Ambon dari kaum perusuh di zaman “Masa Bersiap”. Banyak orang Ambon sulit mencari makan, karena adanya boikot untuk tidak menjual bahan makanan kepada mereka karena dicap antek Belanda.

Infografik Mozaik Johannes Latuharhary

Tetap Setia pada Republik

Mans Muskita ingat bagaimana ayahnya berusaha agar perempuan-perempuan dan anak-anak Ambon yang tidak tahu politik itu tidak kelaparan atau disembelih kaum perusuh yang dibutakan revolusi sebagai ajang belas dendam kepada Belanda. Meski masih tidak dipercayai sebagian orang Indonesia lainnya, Latuharhary dan kawan-kawan seperjuangannya tetap berdiri di belakang negara Republik Indonesia. Bahkan mereka terus menggalang dukungan orang-orang Ambon dalam perjuangan.

Selaku gubernur Indonesia untuk Maluku, Latuharhary dibenci orang-orang Ambon yang jadi KNIL. Tiap lewat di depan rumahnya, di depan Gedung Juang, rombongan truk berisi KNIL-KNIL yang bersuku Ambon berasa ingin menembaki rumah Latuharhary.

Sebagai gubernur Maluku pertama, Latuharhary tentu sulit menjalankan tugasnya di masa revolusi. Wilayah Maluku menjadi daerah pendudukan Belanda. Di Jakarta, kantornya berada di daerah yang di zaman kolonial bernama van Heutz Plein nomor 7—yang belakangan dikenal sebagai Taman Cut Meutia. Ketika Jakarta makin tak aman, karena merajalelanya tentara Belanda, Latuharhary ikut mengungsi ke ibu kota revolusi Indonesia, Yogyakarta.

Seusai revolusi, Maluku adalah salah satu daerah yang sulit dibangun, karena adanya pergolakan RMS dari 1950 hingga 1962. Latuharhary menjadi gubernur sejak 1945 hingga 1955. Setelah tak jadi gubernur, Latuharhary diperbantukan di Departemen Dalam Negeri.

Periode ini menjadi masa tak menyenangkan bagi Latuharhary. Ketika dia masuk rumah sakit dan akhirnya meninggal, ongkos rumah sakit sulit dibayar. Ia meninggal pada 8 November 1959, tepat hari ini 59 tahun lalu. Kala itu anak pertamanya sedang hamil di Bandung, sementara menantu tertuanya, Josef Muskita, sedang tugas belajar di Fort Leavenworth, Amerika.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan