Menuju konten utama

JK: Meiliana Tak Seharusnya Dipidana karena Keluhkan Suara Azan

DMI telah berulang kali meminta masjid di Indonesia untuk tidak mengumandangkan azan terlalu keras di daerah padat penduduk.

JK: Meiliana Tak Seharusnya Dipidana karena Keluhkan Suara Azan
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Meliana mengikuti persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Selasa (24/7/2018). ANTARA FOTO/Septianda Perdana

tirto.id - Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla memberikan tanggapan terkait kasus penodaan agama yang menjerat Meiliana di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Lelaki yang karib disapa JK ini menganggap Meiliana yang mengeluhkan suara azan dari pelantang masjid tak seharusnya menjalani proses pidana.

Menurut JK, DMI telah berulang kali meminta masjid di Indonesia untuk tidak mengumandangkan azan terlalu keras di daerah padat penduduk. Alasannya, jarak antara masjid satu dan yang lainnya di daerah padat penduduk rata-rata sekitar 500 meter.

“Kalau terlalu keras bisa mengganggu azan [dan] pengajiannya di tempat [masjid] lain,” kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (23/8/2018).

Menurut JK, para pihak yang keberatan dengan sikap Meiliana seharusnya bisa memberikan penjelasan atas komplain yang disampaikan perempuan 44 tahun itu.

Wakil Presiden kemudian menyebut, idealnya pengajian sebelum azan hanya dilakukan antara selang 8 menit hingga 10 menit. Tak hanya itu, pengajian tak perlu dikumandangkan lebih dari 10 menit dan suaranya juga tak perlu disiarkan keras-keras.

“Apabila ada masyarakat yang meminta begitu [suara tidak dikeraskan], itu tidak seharusnya pidana. Apakah hanya meminta agar jangan terlalu keras? Itu wajar saja. Dewan Masjid saja menyarankan gitu [tidak dikeraskan], kan?” ujar JK.

Konteks Kasus

Kasus yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara pada medio 2016 itu berawal dari keluhan Meiliana atas suara pelantang masjid yang melantunkan azan yang dianggap terlalu bising. Kejadian yang semula hanya kasak kusuk di lingkungan warga di sebuah kota kecil di Sumatera Utara itu kemudian menyebar luas. Bahkan kejadian ini disebarkan melalui perangkat gawai sehingga menghasilkan sentimen SARA hingga ke luar Tanjung Balai.

Akibatnya, massa mengamuk dan membakar tiga vihara, delapan kelenteng dan satu balai pengobatan di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Tak hanya itu, tiga mobil, dua motor, dan satu becak juga dibakar massa yang mengamuk tanpa tahu duduk perkaranya.

Delapan orang dicokok polisi akibat kejadian ini. Mereka ialah Abdul Rizal Alias Aseng (26 Tahun), Restu Alias Panjang (23 tahun), M. Hidayat Lubis Alias Dayat (19 tahun), Muhammad Ilham Alias Ilham (21 Tahun), Heri Kuswari (28 Tahun), Zainul Fahri Alias Zainul (18 Tahun), M. Azmadi Syuri Alias Madi (23 Tahun), dan Zakaria Siregar Alias Bang Zack (21 tahun).

Jaksa menuntut delapan orang tersebut dengan pasal yang berbeda-beda. Heri Kuswari (28) didakwa dengan pasal pencurian, Zakaria Siregar alias Bang Zack (21) didakwa telah menjadi provokator, sementara sisanya didakwa dengan pasal perusakan. Meski begitu, hukuman yang dituntut oleh JPU termasuk ringan, hanya 3 bulan hingga 5 bulan penjara.

Sidang vonis atas pelaku pembakaran klenteng pun akhirnya digelar 23 Januari 2018 lalu di Ruang Sidang Cakra, Pengadilan Negeri Kota Tanjung Balai. Dalam sidang yang dipimpin hakim ketua Ulina Marbun tersebut, delapan terdakwa dinyatakan bersalah sesuai dengan dakwaan jaksa yakni melakukan perusakan, pencurian, dan provokasi.

Namun, majelis hakim memberikan hukuman yang jauh lebih ringan terhadap para terdakwa dibanding tuntutan jaksa, yakni hanya sekitar 1,5 bulan penjara dipotong masa tahanan. Hanya Zakaria Siregar yang dihukum sedikit lebih berat yakni penjara selama 2 bulan 18 hari dipotong masa tahanan. Berbeda jauh dengan hukuman yang ditimpa ke Meiliani yang mencapai 1,5 tahun penjara dengan pasal penodaan agama.

infografik menghapus pasal penodaan agama

Soal Meiliana

Dalam laporan penelitian berjudul Rekayasa Kebencian dalam Konflik Agama: Kasus Tanjung Balai yang dibuat oleh Siswo Mulyartono, Irsyad Rafsadi dan Ali Nursahid dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina, terungkap sebetulnya tak ada masyarakat yang mau melaporkan Meiliana ke polisi.

Majelis Ulama Indonesia Kota Tanjung Balai juga enggan mengeluarkan fatwa penodaan agama kepadanya. Namun, lembaga lain seperti FUI, HTI, dan pesantren al-Wasliyah mendesak.

MUI kalah suara. Pada Januari 2017, mereka mengeluarkan fatwa yang isinya adalah apa yang dilakukan Meiliana masuk dalam kategori penistaan terhadap agama Islam.

Kejadian-kejadian ini berlangsung bersamaan dengan aksi-aksi menentang Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta, atas dugaan pasal yang sama.

Polisi, dalam hal ini Polda Medan, akhirnya menetapkan status tersangka kepada Meiliana pada Maret 2017. Pasal yang dikenakan adalah pasal 156 subsider 156 a KUH Pidana tentang penistaan agama, sama seperti Ahok.

Sidang-sidang pun berlanjut, tak jarang dengan kehadiran massa. Meiliana hanya bisa menangis ketika hakim Wahyu Prasetyo Wibowo dari Pengadilan Negeri Medan akhirnya memutusnya bersalah dan menghukumnya dengan kurungan 1,5 tahun penjara pada Selasa (21/8/2018) kemarin.

Baca juga artikel terkait KASUS PENODAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih