Menuju konten utama
Jimmy Carter

Jimmy Carter, Presiden yang Menolak Dianggap Lemah

Carter menolak dipandang lemah. “Saya membuat banyak keputusan berani, nyaris semuanya sulit untuk diterapkan dan terutama tidak populer,” ujarnya.

Jimmy Carter, Presiden yang Menolak Dianggap Lemah
Mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter dan istrinya Rosalyn Carter berada di Museum Kanada untuk Hak Asasi Manusia saat upacara penutupan proyek Habitat bagi Umat Manusia di Winnipeg, Manitoba, Kanada, Jumat (14/7). ANTARA FOTO/REUTERS/Zachary Prong

tirto.id - Artikel sebelumnya: Jimmy Carter di Antara Kebijakan Pro Lingkungan & Krisis Energi

“Presiden diserang kelinci”. Demikian judul artikel yang terbit pada 20 April 1979 di halaman utama Washington Post, salah satu koran dengan sirkulasi tertinggi di Amerika Serikat. Presiden yang dimaksud adalah Jimmy Carter.

Bagaimana ceritanya sampai headline tersebut muncul?

Semua berawal saat Carter tengah mendayung kano seorang diri di tengah danau. Seekor kelinci tiba-tiba berenang ke arahnya dan menyeringai bengis padanya. Peristiwa tersebut kemudian Carter ceritakan kepada staf kepresidenan. Klaimnya diperkuat oleh hasil jepretan fotografer Gedung Putih, tapi kualitas gambarnya kurang baik.

Akhirnya, meski ada staf yang percaya bahwa presiden mereka memang diserang “kelinci pembunuh”, ada pula yang sangsi. Toh kelinci tidak suka air dan berenang juga bukan aktivitas normal hewan itu.

Berita tersebut merembes ke luar dinding kantor seiring tingkat popularitas Carter terjun bebas ke titik terendah. Kedudukan politiknya ikut goyah karena kabar itu. Pers, publik, dan oposisi bertanya-tanya: selembek itukah karakter Carter? Bagaimana bisa binatang sejinak kelinci mengancam keselamatan jiwanya? Mengapa klaim presiden diragukan oleh staf sendiri?

Dalam artikel sindiran lain, Washington Post menduga staf kepresidenan akan memberikan respons positif (misalnya: “Syukurlah Anda baik-baik saja, Pak Presiden,”) apabila yang mengklaim adalah pendahulu Carter seperti Truman, Eisenhower, Kennedy, atau bahkan Nixon.

Masih pada 1979, citra lemah Carter kian disorot setelah dia memberikan pidato berjudul “Krisis Kepercayaan Diri”—yang isinya mengaitkan kekacauan akibat krisis energi dengan ketidakpercayaan publik Amerika pada pemerintah. Pidato tersebut malah jadi bumerang buat Carter karena administrasinya dianggap inkompeten.

Tak berapa lama kemudian, ketika Carter nyaris ambruk dalam lomba lari 10 km, khalayak semakin yakin bahwa tubuh Carter yang lemah bersinonim dengan ketidakmampuannya memimpin negara.

Kegagalan Mengatasi Krisis

Maraknya narasi Carter lemah dilatarbelakangi oleh badai krisis yang menggila selama administrasinya berlangsung pada 1977 sampai 1981, terutama krisis bahan bakar minyak. Pemicunya adalah meningkatnya permintaan minyak dunia dan tersendatnya pasokan dari Iran yang tengah diguncang revolusi.

Untuk mengatasi persoalan ini Carter mengajak rakyat menghemat pemakaian kendaraan pribadi. Dia juga mendorong pemberdayaan energi alternatif. Semuanya tidak dihiraukan. Bahkan fakta bahwa dia adalah presiden pertama yang memasang panel surya di Gedung Putih malah memicu kritik oposisi yang menyatakan bahwa itu hanya dalih untuk berkelit dari masalah energi. Karena menganggap kebijakan energi alternatif Carter tidak berbuah hasil berarti, panel akhirnya dilepas oleh administrasi Presiden Ronald Reagan tahun 198.

Krisis bahan bakar membuat pertumbuhan ekonomi ikut tersendat. Inflasi mencapai rekor tertinggi dalam sejarah: 14,6 persen pada 1980, meroket lebih dari dua kali lipat sejak awal masa jabatan Carter. Usaha Carter untuk meredam inflasi—melepas cadangan gandum untuk menekan harga produk makanan, kebijakan pengurangan defisit, sampai mendorong sektor swasta agar sukarela membatasi upah pekerja dan harga barang—tidak membuahkan hasil.

Penyekapan 52 warga negara AS di Kedubes AS di Tehran oleh mahasiswa militan pendukung revolusi pada November 1979 menambah panjang daftar krisis yang membuat administrasi Carter terkesan memang tidak berdaya. Serangkaian sanksi untuk menekan pemerintahan baru Iran—embargo perdagangan, menyetop pembelian minyak, membekukan aset-aset di teritorial AS, bahkan akhirnya memutus hubungan diplomatik—belum berhasil membawa pulang korban.

Misi penyelamatan yang diotorisasi Carter pada April 1980, Operasi Desert One, berujung gagal hingga menewaskan delapan tentara. Khalayak Amerika menyebut kegagalan itu sebagai simbol kerapuhan militer AS pasca-Perang Vietnam. Negosiasi yang sudah Carter perjuangkan pun tidak terlalu berkesan di mata publik.

Tawanan berhasil dibebaskan setelah Carter tak lagi berkuasa: hanya beberapa menit setelah inaugurasi presiden baru, Ronald Reagan, pada Januari 1981.

Administrasi Carter sebenarnya berusaha lebih konfrontatif dalam menyikapi politik luar negeri, tepatnya setelah tentara Uni Soviet menginvasi Afganistan untuk mendukung rezim pro-Soviet dari pemberontak mujahidin atau gerilyawan islamis. Setengah tahun sebelum invasi, Carter bahkan sudah mengarahkan intelijen untuk memberi bantuan pada para mujahidin.

Setelah invasi berlangsung, administrasi Carter bergegas menangguhkan perjanjian tentang pembatasan senjata nuklir yang sudah diupayakan sejak era Nixon (SALT II), menutup keran penjualan gandum, sampai memboikot Olimpiade Musim Panas 1980 di Moskow. Akan tetapi hukuman tersebut dikritik karena tidak tepat sasaran. Boikot Olimpiade malah menyusahkan atlet, sementara embargo gandum merugikan petani.

Seiring itu tingkat persetujuan terhadap kinerja Carter konsisten turun, dari 70 persen jadi tak sampai separuhnya ketika dia meninggalkan Gedung Putih empat tahun kemudian. Dalam upaya pencalonan kedua di pilpres 1980, Carter kalah telak dari Reagan dengan perolehan 49 vs 489 suara elektoral. Hingga pengujung abad ke-20, hasil survei masih mengklaim Carter sebagai presiden pasca-Perang Dunia II yang paling tidak populer.

Momen Bersinar Carter

Meskipun cenderung dikenang karena kepemimpinan yang lemah dan tidak efektif, bukan berarti Carter tidak punya pencapaian apa pun selama jadi presiden. Carter juga bisa membuktikan bahwa dia adalah pemimpin yang berani, rasional, dan berprinsip.

Misalnya ketika terjadi kebocoran reaktor nuklir komersial di Three Mile Island, Pennsylvania pada Maret 1979—kecelakaan nuklir yang disebut-sebut paling parah dalam sejarah AS dan membuat publik Amerika ngeri pada sumber energi alternatif tersebut sampai sekarang. Beritanya kelak tersebar liar sampai menimbulkan kepanikan massal. Lebih dari 100 ribu penduduk berbondong-bondong meninggalkan kawasan sekitar.

Di tengah hiruk pikuk itu, Carter yang pernah berprofesi sebagai teknisi nuklir untuk proyek kapal selam Angkatan Laut terjun langsung ke lokasi untuk menginspeksi sekaligus membuktikan bahwa situasi terkendali.

Menurut Carter, kehebohan tak lain dipicu oleh media yang membesar-besarkan potensi bahaya insidennya. Carter, yang percaya pada kualitas keamanan reaktor di sana, menyampaikan pada pers bahwa dia merasa aman di dalam ruangan kendali (control room) yang hanya berjarak 30 meter dari inti reaktor. Para pakar nuklir pun sepakat bahwa situasi bisa diatasi dengan baik.

Kehadiran Carter berhasil menenangkan warga setempat dan publik Amerika secara luas.

Kiprah Carter dalam memperbaiki hubungan internasional, baik yang melibatkan AS maupun antarnegara lain, juga patut diapresiasi. Dia berupaya menyematkan prinsip-prinsip perdamaian dan HAM, termasuk hak semua bangsa untuk menentukan nasib sendiri, dalam kebijakan-kebijakan luar negeri.

Salah satu yang jarang disorot adalah perannya dalam mewujudkan Perjanjian Terusan Panama atau Perjanjian Torrijos-Carter (1977). Terusan Panama yang dikeruk dan dikuasai pemerintah AS sejak awal abad ke-20 ditentang oleh penduduk asli sebagai warisan kolonialisme. Puncaknya berlangsung pada 1964, ketika demonstrasi anti-AS meletus di Panama dan berakhir kacau: Kedubes AS harus dievakuasi dan lebih dari 20 orang meninggal.

Carter dan pemerintah Panama kemudian sepakat Terusan Panama dijadikan kawasan netral yang boleh dilalui kapal milik negara mana pun, dan hak kontrolnya kelak dialihkan kepada otoritas Panama. Kesepakatan ini berperan signifikan mencegah pertumpahan darah di Amerika Tengah meski juga dikritik oleh oposisi Carter sebagai cerminan memudarnya pengaruh AS di kawasan tersebut.

Administrasi Carter juga berkontribusi pada terjalinnya hubungan baik antara AS dan Republik Rakyat Cina. Persisnya pada tahun baru 1979, Washington dan Beijing saling memberikan pengakuan diplomatik resmi. Langkah ini dipandang berhasil mengurangi ketegangan geopolitik di kawasan Asia sekaligus membuka gerbang untuk relasi dagang Sino-Amerika yang kelak tumbuh pesat dan menggiring Cina jadi partner dagang utama AS.

Sementara itu, relasi AS dengan Republik Cina atau Taiwan terus berjalan meskipun bukan dalam koridor resmi.

Di panggung politik dunia, Carter juga menyikapi isu pendudukan Palestina yang menimbulkan permusuhan di antara negara-negara Arab dan Israel. Pada awal pemerintahannya, Carter dilaporkan menyuarakan dukungan untuk “tanah air” rakyat Palestina, dan pada 1980 menyebut pendudukan Israel di Tepi Barat “berlawanan dengan Konvensi Jenewa.”

Kelak, seusai tak lagi menjabat presiden, saat ke Timur Tengah tahun 1983, Carter menyebut pendudukan Israel sebagai praktik “ilegal dan hambatan untuk perdamaian.” Dalam buku yang ditulisnya pada 2006, Carter juga berani menyebut Israel sebagai negara apartheid sehingga ia sempat dituding anti-Semit.

Kontribusi Carter yang dipandang paling berpengaruh adalah membantu mendamaikan Mesir dan Israel yang puluhan tahun berseteru terkait Palestina. Pada 1978, atas saran istrinya Rosalynn, Carter mengajak Presiden Mesir Anwar Sadat dan perdana menteri baru Israel kala itu, Menachem Begin, berdiskusi di kompleks peristirahatan presiden Camp David di negara bagian Maryland.

Hasilnya tertuang dalam Camp David Accords. Mesir setuju untuk membangun hubungan diplomatik dengan Israel dan membolehkan kapal mereka menyeberang di Terusan Suez. Di sisi lain pasukan Israel akan angkat kaki dari Semenajung Sinai, daerah yang mereka rebut dari Mesir dalam Perang Enam Hari (1967).

Menolak Lemah

Meski menorehkan prestasi dan keberanian dalam sejumlah momen, nama Carter di dalam negeri sudah telanjur tenggelam. Citranya kadung sebagai pemimpin lemah yang gagal menangani karut-marut ekonomi, krisis energi, dan insiden penyekapan warga AS di Iran.

Kelak, di masa tua, Carter menilai semua pandangan yang percaya dirinya presiden lemah tak berdasar. “Saya membuat banyak keputusan berani, nyaris semuanya sulit untuk diterapkan dan terutama tidak populer,” ujarnya dikutip dari buku biografi His Very Best: Jimmy Carter, a Life (2020) oleh Jonathan Alter.

Infografik Jimmy Carter

Infografik Jimmy Carter. tirto.id/Fuad

Cara Carter untuk membuktikan diri bukan figur lemah ditunjukkan dengan serius berkontribusi pada masyarakat dunia meskipun tidak lagi menjabat sebagai orang nomor satu di negara adidaya Paman Sam.

Setelah kalah dalam pilpres 1980, Carter mendirikan The Carter Center—lembaga nirlaba yang menawarkan beragam program untuk mendorong nilai-nilai demokrasi, perdamaian, HAM, pembangunan sosial-ekonomi, dan kesehatan di penjuru dunia. Aktivitasnya meliputi pengawasan kegiatan pemilu di berbagai negara sampai pemberantasan penyakit infeksi cacing guinea.

Pengakuan untuknya pelan-pelan muncul. Bahkan, pada 2002, Carter menerima Nobel Perdamaian atas “usaha tak kenal lelah selama puluhan tahun untuk mendapatkan solusi damai bagi konflik internasional, memajukan demokrasi dan HAM, serta mendorong pembangunan ekonomi dan sosial.”

Meskipun sempat jatuh sakit karena kanker, Carter menolak berhenti beraktivitas, bahkan masih menjadi sukarelawan pembangunan rumah bagi warga miskin. Sampai usia 95 tahun, Carter terlihat sibuk membangun permukiman di Nashville.

Komitmen untuk kegiatan kemanusiaan inilah yang membuat Carter memiliki reputasi mantan presiden paling hebat yang pernah dimiliki publik Amerika.

Baca juga artikel terkait PRESIDEN AS atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino