Menuju konten utama

JILF 2022 dari Kacamata "Sang Liyan"

Di JILF 2022, sastra tidak hanya dibawakan dengan cara kovensional, dan karenanya bisa membuat orang awam tertarik.

JILF 2022 dari Kacamata
JILF 2022. FOTO/Revaldi Muhammad

tirto.id - Hadir sejak 2019, Jakarta International Literary Festival (JILF) pertama kali diadakan untuk mendobrak sekat antara negara-negara di utara dunia, dan mengokohkan posisi sastra Indonesia di kancah internasional.

Danton Sihombing, Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), mengatakan bahwa dominasi di negara utara tidak dapat dipungkiri memang terjadi, khususnya di dunia sastra. Hal ini menurutnya, membuat negara seperti Indonesia menjadi terabaikan.

“Inisiatif JILF diadakan pertama kali untuk menjadi jembatan dialog dengan dunia sastra internasional," ujarnya.

Setelah sukses dengan penyelenggaraan perdananya, JILF sempat diadakan secara daring pada tahun 2020-2021. Tahun ini, JILF akhirnya kembali diadakan secara luring dengan tema Kota Kita di Dunia Mereka: Kewargaan, Urbanisme, Globalisme.

Berbeda dengan tajuk tahun pertama penyelenggaraan yang menyoroti dominasi dunia barat, tahun ini JILF memfokuskan diri ke dalam, yaitu Jakarta sebagai kota. Ini kemudian dilihat dari kacamata lokal, baik dari beberapa daerah di Indonesia, internasional, maupun penghuni Jakarta sendiri.

Manneke Budiman sebagai salah satu kurator JILF2022, mengatakan ajang ini ingin mendobrak dikotomi Jakarta, salah satunya dengan mengundang 8 komunitas sastra di luar Jakarta (hanya 1 komunitas dari Jakarta), untuk memperlihatkan bahwa kota harus dipahami dari sebuah problematika.

“Karena kalau Jakarta dilihat dari Flores, atau Kupang, maka imajinasinya bisa jauh berbeda dari imajinasi kita yang dari Jakarta. Sehingga Jakarta (di JILF 2022) tidak hanya dilebur imajinasinya, tapi juga diperluas,” ungkap Guru Besar Ilmu Susastra dan Kajian Budaya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

“Sehingga Jakarta bisa dibayangkan sebagai kota yang jauh dari perspektif kota-kota besar lainnya. Warga Jember misalnya, membayangkan Jakarta sebagai kebisingan. Kita bisa melihat, bagaimana pengarang yang bermukim di Paris, pengarang dari Malaysia bermukim di Swedia, Filipina, Timor Leste mengenal Jakarta – bahwa mereka mengenal Jakarta jauh dari kemajuan kotanya.”

Kedekatan antara sastra dan kota juga diungkapkan Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada malam pembukaan JILF 2022. “Tidak ada ekspresi yang lebih kuat daripada kesenian untuk menginterogasi kita dengan wilayah tempat kita tinggal,” tuturnya.

Menurut Hilmar, sastra dan kota bersaudara, kadang akrab kadang bersitenggang, tapi hubungannya sangat dekat. JILF diselenggarakan dengan semangat merayakan kritik kita terhadap kehidupan dan kecintaan terhadap sastra.

Nikmati Dahulu, Pahami Kemudian

“Selalu ada cara untuk memahami tempat tinggal kita hidup, salah satunya lewat sastra. Kalau kita tidak baca sastra, kita tidak akan punya imajinasi yang kaya tentang kota. Akhirnya kita hanya menangkap kota sebagai tempat bekerja, hidup, dan mati,” tutur Avianti Armand, Direktur Eksektutif JILF 2022.

Bekal kekayaan sastra menurutnya, membuat kita memiliki banyak sudut pandang, dan membuat kita menjadi lebih empatik. Karena kita bisa menempatkan kepala kita di situasi orang lain lewat narasi dalam sastra.

JILF pada penyelenggaraanya merupakan ruang pertemuan bagi pengunjung, baik yang terkait dengan sastra maupun tidak (atau belum). Mereka sama-sama hadir untuk saling mengenal dan berbagi, dan terutama, menikmati sastra.

Pembukaan JILF 2022 yang diadakan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki pada tanggal 22 Oktober lalu, memperlihatkan hal ini. Memasuki area Graha Bakti Budaya, terlihat anak-anak muda yang kebanyakan mengenakan kaos dengan celana jeans, berdiri dan membuat antrean yang sangat panjang. Mereka hadir dan menjadi bagian dari perayaan festival sastra.

Seperti malam pembukaan acara lainnya, malam pembukaan JILF 2022 malam itu diisi oleh berbagai pidato. Yang utama, ada pidato kunci (keynote speech) yang disampaikan oleh Abidin Kusno, seorang profesor di Universitas York, Toronto, Kanada.

Abidin mengulik mengenai apa itu “kota kita” dan “dunia mereka”, siapa “kita”, atau “mereka”. Dia bercerita mengenai respons karya sastra di era kolonial terhadap perubahan kota saat itu. Bahwa kota, meskipun dalam konteks kolonial, kemudian tampil menjadi arena terbentuknya identitas baru. Kota bentukan kolonial menurutnya, akhirnya bisa menjadi sumber anti kolonial.

Ia juga menjelaskan keterkaitan teori Manuel Castells, seorang sosiolog dari Spanyol, terhadap fenomena Citayam Fashion Week. CFW dikatakan berada di era yang berbeda, yaitu di era digital. Mereka adalah “the self” yang terbingkai “the net”. Di mana the self bisa masuk ke dalam self expression tanpa mampu menjadi urban citizen.

Kontras dengan pemikiran Abidin Kusno yang mendalam, ia melakukan presentasi dengan bantuan slide dari power point dengan font dan foto-foto arsip, yang secara desain sangat sederhana. Apalagi bila dibandingkan dengan desain sophisticated generasi muda yang kini sudah dimudahkan dengan adanya aplikasi Canva.

Infografik JILF 2022

Infografik JILF 2022. tirto.id/Ecun

Beberapa slide pada akhirnya tidak jadi ditampilkan, karena malam itu Abidin Kusno sadar bahwa ia tidak bisa berlama-lama berbicara. Ia mengatakan, bahwa ia tidak ingin membuat penggemar Efek Rumah Kaca (ERK) menanti idolanya terlalu lama.

Malam itu, Graha Bakti Budaya yang baru saja selesai direnovasi memang didominasi oleh penggemar setia ERK. Mereka, yang terbiasa berdiri di bibir panggung di konser ERK, dengan sabar mengikuti acara resmi nan formal, dan mendengarkan pidato kunci JILF 2022, yang mungkin tidak atau setidaknya belum mereka pahami malam itu.

Selama pidato berlangsung, tanpa disadari, anak muda ini patuh mengikuti “etika” menonton pertunjukan seni di dalam sebuah gedung pertunjukan. Mereka duduk dengan manis, mematikan ponsel, dan berbisik saat ingin berbicara – persis seperti isi aturan menikmati pertunjukan yang biasa dibacakan pembawa acara setiap sebuah pertunjukan hendak dimulai.

Dengan sabar, mereka menunggu hingga pembaca acara mengatakan dan mempersilakan ERK untuk tampil ke atas panggung. Kemudian barulah suasana malam pembukaan festival sastra berubah menjadi sebuah konser musik band rock alternatf, yang tidak hanya piawai bermusik, tapi juga berkata-kata. Seketika, suara gemuruh dengan suitan ala anak muda yang mengelu-elukan Cholil Mahmud dan kawan-kawan bergema di ruangan berkapasitas 800 kursi.

Alfian (19 tahun), salah satu penonton yang hadir malam itu, tidak tahu sama sekali mengenai JILF. Ia tahu acara ini dari fanbase ERK. Dan sebagai pemuja ERK, ia datang bersama teman-temannya, hanya untuk menikmati aksi ERK secara langsung. Ia memang sempat mengulik terkait acara ini.

“Tentang literasi, kan?” begitu tanggapan singkatnya.

Ia mengaku tidak terlalu minat pada sastra, ia lebih suka mengulik musik. Namun, ia mengaku tidak kapok datang ke JILF. Bahkan saat ia harus mendengarkan seorang profesor berbicara mengenai kota dan sastra, dalam sebuah gedung pertunjukan yang formal.

“Kurang paham tapi nggak ngebosenin, sik. Dan, nggak bikin kapok,” ujarnya.

Penggemar ERK yang lain juga mengaku kurang paham mengenai topik yang dibicarakan Abidin. Bahkan bagi beberapa penggemar ERK lainnya, pidato kunci tersebut tidak terlalu menarik buat mereka.

Bagas (19 tahun) mengaku, ia tidak menyukai hal yang “berbau” serius, seperti buku-buku politik. Namun ia tidak sadar bahwa ia sebenarnya sudah menyukai wacana yang bersinggungan dengan politik. Karena ternyata, Bagas menyukai buku Nyanyian Akar Rumput karya Widji Tukul.

Di sela-sela jadwal bekerja yang kadang ada, kadang kosong, Bagas mengunjungi Taman Ismail Marzuki untuk menonton ERK. Ia ingin mendengarkan langsung Cholil menyanyikan lirik favoritnya dari lagu “Tubuhmu Membiru Tragis”. Dan ia fasih melatunkan lirik favoritnya, “Hidup tidak selamanya linier, tubuh tak selamanya tersier.”

ERK memang kelompok musik yang istimewa. Keseluruhan lirik yang ditulis jelas menggambarkan kedekatan dan kecintaan mereka terhadap kata, bahasa, dan sastra. Dan sebagian anak muda ini, yang mengaku tidak menyukai sastra, secara tidak sadar telah menikmati sastra melalui lagu-lagu ERK seperti “Hujan di Bulan Desember”, “Seperti Rahim Ibu”, “Putih”, “Sebelah Mata”, “Jingga”, “Kuning”, dan lainnya.

Bahkan Rei (23 tahun) yang sebenarnya hadir karena menjadi perwakilan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tangerang, akhirnya tersentuh dengan lagu “Sebelah Mata”. Lirik favoritnya adalah “Gelap adalah teman setia dari waktu-waktu yang hilang.”

Di JILF 2022, sastra tidak hanya dibawakan dengan cara yang kovensional saja, seperti adanya program Reading Night, Authors Forum, Book Fair, atau Community Projects. Di festival ini, sastra juga dapat dinikmati dalam musik, teater, maupun dongeng.

Vivi, panggilan Avianti Armand, tidak menampik bahwa ada kemungkinan pengunjung tidak akan langsung memahami wacana yang mungkin dihadirkan di festival ini. Mungkin tema sastra dan kota, masih menjadi sesuatu yang asing. Namun, ia juga optimis, bahwa di kemudian hari, apa yang disampaikan dalam program JILF baik berupa diskusi, pameran, pertunjukan musik dan teater, akan dapat diterima.

Penampilan ERK bukan satu-satunya contoh program JILF 2022 yang tidak hanya menyajikan sastra dengan hal yang “pakem”.

Ada penampilan Backing Soda yang bereksperimen dengan naskah teater dan menjadikan lirik lagu. Pada penampilan kelompok musik Nayamullah, karya-karya Danarto dibawakan dalam bentuk monolog oleh seorang komedian dan juga pertunjukan musik.

Ari (24 tahun), penikmat sastra, hadir dengan rekomendasi seorang teman. Ia mengharapkan sebuah pertunjukan musikalisasi puisi. Namun, ia keluar tidak lama setelah Nayamullah tampil. “Aku kurang cocok dengan pertunjukannya, karena tidak seperti musikalisasi puisi yang aku pahami selama ini.”

Respon Ari, atau penggemar ERK tentu bukan gambaran umum tanggapan kaum muda akan sastra. Karena selama penyelenggaraan mulai dari 22 - 26 Oktober 2022, pengunjung JILF dari berbagai kalangan; pelajar, mahasiswa, umum, komunitas – penikmat dan pemerhati sastra – juga terlihat meramaikan acara.

Responden dalam tulisan ini – “sang liyan” - hanya sebagian dari pemuda yang jauh dari sastra dan memiliki preferensinya sendiri dalam menikmati sastra. Suka – tidak suka, tahu – tidak tahu terhadap sebuah wacana, biasa terjadi.

Namun, mereka sudah cukup terbuka pada apa yang sebelumnya tidak, atau lebih tepatnya belum mereka pahami sekarang. Saat ini, “sang liyan” hanya ingin menikmati sastra dengan cara mereka sendiri. Dan, JILF 2022 dengan sangat terbuka merangkul dan memfasilitasinya.

Baca juga artikel terkait JILF 2022 atau tulisan lainnya dari Lilin Rosa Santi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Lilin Rosa Santi
Editor: Nuran Wibisono