Menuju konten utama
Pieter Tanuri

"Jika Bali Utd Nilainya 1 Triliun, Gimana Klub yang Lebih Besar?"

Bisnis sepakbola tak cuma cukup mengandalkan pertandingan semata, ujar CEO Bali United Pieter Tanuri.

Ilustrasi Pieter Tanuri, bos Bali United. tirto.id/Lugas

tirto.id - Di tengah hiruk pikuk sepakbola nasional yang serba tak pasti, kabar baik itu datang dari Pulau Bali. Klub asal Pulau Dewata, Bali United, siap menjual 33,33 persen saham kepada publik di lantai bursa.

Proses penawaran perdana (IPO) klub sepakbola ini baru kali pertama terjadi di Asia Tenggara. Di Asia, Bali adalah yang kedua. Tim pertama di Asia melepas saham di pasar bursa adalah Guangzhou Evengrade.

Jika Manchester United identik dengan Malcom Glazer, Juventus dengan keluarga Agnelli, Manchester City dengan Sheikh Mansour, maka Bali United adalah Pieter Tanuri. Konglomerat yang berjaya di bisnis ban dan sekuritas ini membeli klub Persisam Samarinda dan mengubahnya menjadi Bali United pada 2014.

Tirto berbincang dengan Pieter Tanuri, CEO Bali United lewat telepon pekan lalu menjelang PT Bali Bintang Sejahtera Tbk merumput di pasar modal hari ini. Dalam obrolan yang cukup panjang ini, Pieter berbicara soal langkah Bali United ke depan.

Apa yang terjadi di lantai bursa hari ini adalah pijakan awal dari rencana bisnis yang akan ia bangun bersama Bali United selama beberapa tahun mendatang. Berikut wawancaranya.

Selamat, akhirnya Bali United sudah siap melantai.

Terima kasih. Terus terang saya sendiri awalnya sempat underestimate, tapi ternyata setelah dibuka penawaran ke publik, responsnya bagus sekali. Saya terharu sekaligus bangga mengetahui ada orang-orang biasa membeli walau hanya 1 lot saham. Ada dosen, ada office boy, guru, bahkan ada anak kecil yang memecahkan celengan untuk membeli.

Kabarnya oversubscribed di fase penawaran kemarin. Boleh tahu berapa banyak penawaran yang masuk?

Sekitar Rp730 miliar.

Apa yang membuat Anda sempat underestimate?

Karena sepakbola kita ini masih berkembang. Kemarin-kemarin masih sempat ada masalah. Ada kecurigaan ini-itu. Tapi, pelan-pelan, kita perbaiki sama-sama. Saya mengapresiasi betul kerja pemerintah, terutama Inpres No 3 tahun 2019 tentang percepatan pembangunan sepakbola Indonesia.

Satu-satunya olahraga yang sampai dibuatkan inpresnya. Dari situ saya apresiasi juga Satgas Antimafia Bola, yang pelan-pelan kita bisa rasakan dampak positifnya sekarang. Piala Presiden kemarin berjalan sangat baik, tanpa insiden yang berarti, juga minim protes soal kepemimpinan wasit, misalnya.

Apakah itu pula yang membuat rencana Bali United melantai di bursa sempat tertunda?

Biar bagaimanapun sepakbola terkait banyak faktor eksternal, kan? Lagi pula memang untuk IPO itu prosesnya tidak mudah. Jadi, kalau baru bisa melantai sekarang, ya berarti prosesnya kemarin memang belum tuntas, dan syukurlah sekarang akhirnya bisa.

Apakah IPO memang sudah direncanakan sejak awal membentuk Bali United?

Saya ingin menjawabnya begini. Sepakbola Indonesia ini semua tahulah kemarin-kemarin bagaimana. Banyak cerita negatifnya, di samping aspek positif dan potensinya yang luar biasa. Untuk membenahi sepakbola Indonesia membutuhkan keterlibatan banyak pihak. Sudah banyak cara yang dipakai untuk membenahi sepakbola Indonesia. Dulu sempat terjadi dualisme PSSI sampai dualisme liga.

Istilahnya ada konfliklah, walau semuanya dipicu oleh niatan memperbaiki sepakbola Indonesia. Pemerintah bahkan pernah mengambil langkah berani membekukan PSSI. Terakhir ada Inpres Percepatan Pembangunan Sepakbola Indonesia sampai dibentuk Satgas Antimafia Bola. Semua itu harus dibaca sebagai usaha memperbaiki sepakbola Indonesia.

Dampaknya positif, kok. Krisis dualisme dulu, misalnya, dampak positifnya membuat harga hak siar liga menjadi lebih baik. Pembekuan PSSI juga membuat penataan liga menjadi lebih terarah. Terakhir, Satgas membuat kepuasan publik terhadap kinerja wasit, misalnya di Piala Presiden, juga meningkat.

Nah, sebagai orang bisnis, saya berpikir dari kerangka industri. Setelah cara-cara lain dilakukan dan ada dampak positifnya, mungkin saatnya sekarang industrialisasi sepakbola yang membantu membenahi sepakbola kita.

Jadi maksud Anda adalah IPO Bali Utd ini diharapkan bisa menjadi katalisator industri sepakbola Indonesia?

Saya tidak mau dianggap sebagai inisiator atau apalah. Saya kira di sepakbola Indonesia banyak sekali orang yang berkompeten, termasuk dari sisi bisnis.

Ada Pak Glenn Sugita [Persib Bandung] yang juga pernah berpengalaman di dunia keuangan dan olahraga, yang muda ada Azrul Ananda [Persebaya], misalnya. Ada klub-klub yang punya basis massa yang luar biasa besar.

Klub seperti Persib, Persija, Persebaya, Arema, PSM, Persipura, dan tim-tim tradisional itu kayak anugerah dari Tuhan, enggak diapa-apain juga sudah punya magnet dan massa yang luar biasa.

Cuma karena Bali Utd ini memang relatif muda, jadi lebih mudah ditata, sehingga Bali mungkin yang duluan. Toh, saya juga tidak sendiri, dibantu oleh banyak orang, oleh pemilik klub-klub lain yang juga punya visi yang sama.

Anda merasa klub-klub besar yang lain juga sudah saatnya melantai?

Gini, kalau mau membangun ekosistem industri sepakbola yang kuat, tentu saja tidak bisa sendirian. Coba tengok bagaimana sejarah terbentuknya Premier League. Kan dimulai dari dorongan sejumlah klub yang merasa sepakbola Inggris harus berubah, supaya bisa berkembang dan maju. Saya belajar dari situ.

Itu bukan cuma Manchester United dan Liverpool, loh. Ada juga Arsenal, Tottenham, Everton. Jadi enggak bisa sendirian. Namanya juga ekosistem, harus dibangun sama-sama, dong.

Ada visi yang sama, lalu pelan-pelan ditata, belajar dari kesalahan, lalu perbaikan demi perbaikan dilakukan, dan akhirnya kita lihat sendiri gimana sekarang Premier League, kan?

Anda pelajari secara khusus Premier League sebagai role model?

Ya, kita harus belajar pada contoh-contoh yang bagus. Kebetulan perusahaan [produsen ban] saya pernah bekerjasama dengan Manchester United. Pihak mereka ngontak kami, bisa tidak jadi official partner untuk Indonesia. Saya pergi ke Inggris, ketemu dengan mereka. Dari situ terjalin komunikasi yang intens.

Saya belajar betul bagaimana Manchester United membangun bisnisnya, pola-polanya, bagaimana mereka mengelola brand, membentuk unit-unit bisnis. Wah, gila juga, saya pikir. Hebat betul. Ternyata sepakbola kalau dikelola dengan benar bisa luar biasa hasilnya.

Dari situ saya makin percaya bahwa sepakbola Indonesia pun bisa diarahkan ke sana. Bahwa industri boleh jadi menjadi salah satu jalan keluar permasalahan sepakbola Indonesia. Salah satu, loh, ya, karena kita juga membutuhkan peran pemerintah.

Itu yang saya lihat dari Inggris. Mereka hancur-hancuran tuh sepakbolanya pada akhir 1980-an. Ada tragedi macam-macam, suporter berantem terus, sehingga klub Inggris sempat dilarang main di Eropa. Lalu pelan-pelan visi industri mengubah lanskap sepakbola Inggris menjadi seperti yang kita lihat sekarang.

Waktu Achilles [ban mobil] bekerjasama dengan MU itu, kan, Anda sudah punya pengalaman di sepakbola Indonesia, waktu itu Anda salah satu shareholder Persib.

Betul. Saya harus berterimakasih kepada Pak Glenn yang mengajak saya bergabung. Saya ingat waktu itu Pak Glenn meminta saya pergi ke Surabaya.

“Coba deh kamu lihat pertandingan Persebaya vs Persib," kata Pak Glenn.

Saya pergi ke Surabaya. Kaget saya. Gila. Di mana-mana, di jalanan, isinya hijau sama biru. Lautan manusia. Ini bukan kampanye, loh. Mereka malah harus keluar uang, kan, untuk bensin dan beli tiket.

Dari situ saya akhirnya menerima ajakan Pak Glenn untuk gabung di Persib. Saya, kan, punya perusahaan ban. Wah, semua pakai motor.

Saya pikir, ini market yang luar biasa. Dan betul, sejak Corsa jadi sponsor Persib, penjualan ban saja di Jawa Barat itu menggila. Naik berlipat-lipat. Dari situlah saya makin intens belajar tentang sepakbola. Waktu itu saya pasti ke Bandung kalau Persib main.

Jadi dimulai dari Pak Glenn, lalu Anda berkecimpung juga di sepakbola. Anda sendiri pasti kemudian mengajak rekan-rekan Anda untuk ikut berkecimpung di sepakbola Indonesia, kan?

Kan kalian (Tirto) sudah menulis lengkap, toh, siapa saja yang berkecimpung di Persib. Kalau Bali Utd gampang sajalah, sudah IPO, sudah terbuka, bisa dilihat sendiri siapa saja stakeholder-nya.

Melihat nama-nama tenar di dunia bisnis dan sekarang mulai ikut berkecimpung di sepakbola Indonesia, berarti langkah Bali United melantai tidak boleh gagal, dong, karena ditunggu oleh yang lain, yang mungkin juga sedang berpikir ke arah yang sama, yaitu IPO?

Kita, kan, belum punya benchmark di dalam negeri. Bali yang pertama IPO. Jadi sedikit banyak keberhasilan dan kegagalan Bali Utd akan jadi preseden untuk yang lain.

Kalau berhasil, dan harus berhasil, mudah-mudahan akan ada dampaknya juga buat yang lain. Jika Bali saja nilainya Rp1 T, apalagi klub-klub besar yang lain, kan? Coba bayangkan berapa valuasi klub-klub yang punya sejarah lebih panjang?

Apa yang membuat Anda optimis bahwa industrialisasi ini bisa membantu sepakbola Indonesia berkembang seperti Premier League yang Anda jadikan rujukan?

Kita bisa bahas dari aspek yang sederhana. Dalam bisnis, efisiensi itu sangat penting. Saya melihat ada banyak inefisiensi dalam sepakbola Indonesia. Misalnya, soal tiket. Sangat biasa kebocoran tiket terjadi di banyak stadion. Ini tidak pernah terjadi dalam, misalnya, industri musik saat konser. Nah, bagaimana agar kebocoran bisa terus diminimalisir?

Jangan sampai pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Kalau sebuah klub dikelola dengan semangat benar, hal-hal yang inefisien ini menjadi isu penting untuk dibenahi. Tapi kalau tidak mau memberi tempat pada logika bisnis, ya inefisiensi ini akan terus terjadi.

Belum lagi jadwal yang berubah-ubah. Denda karena ulah suporter. Ini, kan, memicu biaya-biaya yang kalau dibiarkan ya menggerus kas juga.

Kalau ekosistem industri ini sudah terbentuk, maka dengan sendirinya para stakeholder akan saling mendorong agar terjadi efisiensi di berbagai lini, dari mulai jadwal, pengaturan dan pembinaan suporter, pembenahan ticketing, dan lain-lain.

Awalnya mungkin memakan biaya juga, misalnya teknologi scanning tiket, kan, ya ada biayanya juga. Untuk memastikan identifikasi suporter, supaya mudah untuk mengetahui siapa yang rusuh, kan harus pasang CCTV, dan keluar biaya juga.

Mau tidak mau harus investasi. Tapi, kan, terukur. Keluar di awal, untuk menuai hasil di masa mendatang. Berlaku hukum tanam-tuai. Tiket jadi rapi, suporter juga tertib, jadwal nanti lebih pasti.

Makanya, saya bilang, ini tidak bisa dikerjakan sendirian, atau oleh satu dua orang saja. Harus sama-sama saling dorong.

Tapi, kan, logika bisnis dengan sepakbola kadang tidak seiring sejalan. Di pasar, kan, biasa satu orang punya shareholder di banyak perusahaan, bahkan jadi mayoritas di perusahaan berbeda-beda. Di sepakbola, kan, ini jadi masalah jika Anda punya dua klub, misalnya.

Pertama, kalau mau masuk bursa, di sana peraturannya sangat ketat, loh. Untuk bisa IPO saja prosesnya panjang, banyak dokumen dan persyaratannya, dan saat sudah melantai pun perangkat bursa sangat ketat mengawasi laju sebuah emiten. Bisa suspend, ada auto reject, dll. Makanya, dalam bahasa indonesia, perusahaan emiten itu disebutnya TBK alias terbuka, transparan.

Salah satu fondasinya adalah transparansi. Siapa saja pemiliknya, berapa laba, berapa dividen yang dibagikan, berapa biaya pokok produksi, dan lain-lain.

Kan kalian sendiri yang selalu menuntut transparansi. Jadi, kalau sudah IPO, tuntutan transparansi itu akan terpenuhi dengan sendirinya, karena itu jadi prasyarat mutlak. Ini saya kira nilai tambah dari industrialisasi sepakbola.

Kedua, soal kepemilikan. FIFA sendiri, kan, tidak melarang secara mutlak, makanya FIFA tak melarang klub untuk IPO, kan?

Kalau semuanya transparan, kan tidak bisa seenaknya ngatur-ngatur pertandingan. Orang semua sudah tahu Si A punya berapa saham di klub B dan C, misalnya.

Dan jangan lupa, proses pengambilan keputusan di entitas bisnis itu enggak bisa seenaknya, loh. Ada direksi, ada RUPS, dan lain-lain. Saya sendiri di Bali Utd ini hanya tinggal 13 persen saja kalau IPO ini berjalan lancar.

Posisi anak perusahaan Bali United, PT Karya Kreasi Bangsa (KKB) yang jadi agensi alias pihak ketiga untuk mencarikan sponsor beberapa klub Liga 1: Arema, Padang, Sleman dan Semarang apa itu tidak akan masalah ke depan?

Yang dikhawatirkan [kalian], kan, karena ikut mencarikan sponsor maka nanti bisa atur-atur pertandingan, kan? Tidak semudah itu.

Sponsorship itu, kan, terikat kontrak. Sebelum liga dimulai, sponsorship sudah diteken. Kalau sudah diteken, mau ngatur gimana?

Klub bisa menggugat, dong, kalau sponsorship batal hanya karena misalnya mereka enggak mau ikut ngatur pertandingan. Jatuhnya wanprestasi. Sedekat-dekatnya saya dengan Pak Glenn, bahkan saya pernah di Persib, enggak pernah tuh pertandingan Persib vs Bali ada yang aneh-aneh.

Coba ingat-ingat pertandingan Persib vs Bali menjelang akhir musim 2017. Bali masih berpeluang juara, Persib sudah enggak punya peluang. Kedua tim main normal, serius, ngotot. Apa saya dibantu? Enggak. Hasilnya seri. Padahal, kalau Bali menang, kami bisa naik ke puncak klasemen.

Itu, kan, idealnya. Praktiknya bisa macam-macam.

Intinya gini. Kami ini, khususnya saya, ingin industri sepakbola itu sehat, karena kalau sehat maka industrinya akan berkembang. Bisnis butuh ekosistem yang baik, butuh kepastian hukum. Aneh sekali kalau seorang terjun ke sepakbola sampai IPO segala tapi malah main-main yang bikin hancur sepakbola itu sendiri. Buat apa saya susah-susah IPO tapi malah saya membusukkan sepakbola dari dalam?

Pendapatan dr 2017 ke 2018 melonjak Rp52 M ke Rp115 M. Di sisi lain, beban operasi juga bertambah dr Rp49,7 M ke Rp105 M. Beban operasi yg meningkat ini mayoritas lari ke mana?

Pengembangan. PT Kreasi Karya Bangsa itu tadi contohnya. PT KKB ini, kan, dibentuk karena ada peluang di situ. Ada sponsor yang bilang bahwa mereka tertarik dengan sepakbola Indonesia, tapi ketika bukan di Bali, kok, penjualan mereka enggak meningkat sesuai harapan?

Saya ingat Sari Roti, misalnya, yang akhirnya minta dibuatkan berbagai macam paket, termasuk hingga kegiatan. Jadi bukan cuma nempel di jersey, doang. Enggak bisa sponsor cuma nempel di jersey. Harus ada konten kreatif di medsos, dan kegiatan-kegiatan offline lainnya. Sponsor itu minta ke agensi lain, ternyata enggak punya pengalaman di sepakbola, enggak paham cara memasarkan sponsor ke dalam kegiatan [suporter], enggak ngerti cara menyesuaikan jadwal klub dengan pemain untuk event.

Ya sudah, kita bikin agensi ini, karena ada peluang. Jangan salah, ini bukan hanya untuk sepakbola. Saya ingin membesarkan industri olahraga, bukan hanya sepakbola.

Jadi KKB ini akan menjadi tim yang serius menggarap marketing sampai ke ranah-ranah non-sepakbola. Timnya sekarang ada hampir 40-an orang. Kemarin kita bikin event musik di halaman stadion Wayan Dipta, yang datang puluhan ribu orang.

Saya juga bikin TV dengan visi seperti MU TV, Arsenal TV, dan lain-lain. Ini bukan channel di YouTube, loh. Ini channel TV. Sekarang bisa diakses via Matrix TV. Sekarang sehari sekitar 6 jam, penginnya sehari siaran 24 jam. Itu tidak murah.

Medsos Bali United itu dikelola oleh tim. Ada tim kreatif yang membuat dan memproduksi konten untuk Instagram, YouTube, dll. Butuh SDM yang bagus untuk menghasilkan konten yang bagus.

Belum lagi akademi. Saya bentuk tim U-18 sudah sejak 2 tahun lalu. Mereka saya sekolahkan di satu sekolah yang sama supaya mudah koordinasi dan mengatur latihan dan mengontrol kedisiplinan mereka. Murah? Tidak. Sama sekali tidak. Ini fase awal sekali. Jangan langsung minta untung berlipat-lipat. Ini pengembangan yang masih awal.

Masih banyak rencana pengembangan unit bisnis lain. Karena tidak bisa memang hanya mengandalkan dari pertandingan sepakbola. Sponsor dan hak siar itu tidak akan cukup. Diversifikasi unit bisnis lain menjadi penting. Makanya, kami punya semboyan 'Beyond Football'--Lebih dari sekadar sepakbola.

Anda mengatakan ke wartawan sebanyak 60%-70% peningkatan perusahaan disumbang dari bisnis sponsorship. Sementara sponsor banyak berasal dari perusahaan yang terkait dengan para stakeholder klub. Berarti subsidi dari pemilik digenjot, dong?

Mohon maaf, istilah subsidi itu tidak tepat. Misalnya, Corsa dulu jadi sponsor Persib. Apakah itu subsidi? Jelas tidak. Penjualan ban saya di Jawa Barat sejak nempel di jersey Persib memang naik signifikan, kok.

Saya pernah mengalami kenaikan penjualan hingga tiga kali lipat di bulan pertama Corsa nempel di jersey Persib. Saya merasa ini keputusan bisnis, dan itu terukur efisiensi dan efektifitasnya, kok. Jadi, tidak tepat kalau itu disebut subsidi.

Kalau pun mau pakai istilah subsidi, dengan pemikiran pemilik menyuntikkan dana, itu juga hal lazim. Setiap pengusaha punya kalkulasinya sendiri ketika menyuntikkan dana. Prospeknya bagaimana? Return-nya kapan? Percaya, deh, enggak ada yang mau burning uang tanpa ujung. Pasti ada kalkulasinya.

Apalagi kalau omong model bisnis zaman sekarang. Ada, loh, perusahaan-perusahaan yang burning rate-nya tinggi, bahkan revenue belum menutupi pengeluaran, tapi valuasinya terus saja naik, dan orang berbondong-bondong antre untuk ikut investasi.

Jadi, tolong, melihatnya dari berbagai perspektif, jangan melulu serba konspiratif. Capek, loh. Kayak kita ini enggak punya jalan keluar.

Bagaimana prospek ke depan Bali United di bursa? Bisnis sepakbola ini lain dengan, misalnya, bisnis ritel. Emiten yang punya barang consumer goods, misalnya, kalau bulan ini penjualan jelek, begitu bulan depan penjualan naik lagi, kinerja di bursa juga bisa langsung merasakan dampaknya. Kalau sepakbola, kan, beda. Kalau musim ini prestasinya jelek, di klasemen papan bawah, untuk memperbaikinya butuh menunggu musim depan. Dan itu masih lama, berbulan-bulan.

Makanya kami punya unit bisnis yang lain. Kami punya unit bisnis kafe dan restoran, agensi marketing, event, sampai pengembangan e-sport. Kan tadi saya sudah jelasin panjang lebar. Kata kuncinya: Beyond Football.

Baca juga artikel terkait BALI UNITED atau tulisan lainnya dari Zen RS

tirto.id - Indepth
Reporter: Zen RS
Penulis: Zen RS
Editor: Fahri Salam