Menuju konten utama

Jerat Politik Identitas Pasca-Reuni 212

Reuni 212 mengindikasikan bahwa politik identitas masih memilik daya tarik kuat di Indonesia.

Seorang peserta Reuni 212 dengan atribut pesannya di Monas, Jakarta, Minggu (2/12/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Kehadiran ratusan ribu orang dalam Reuni 212 menunjukkan gerakan ini mampu bertahan lama, tak seperti yang diprediksi banyak analis dan komentator. Suara-suara dukungan terhadap salah satu calon presiden yang cukup santer terdengar selama reuni itu berlangsung mengindikasikan politik identitas (dalam bentuk sentimen keagamaan dan kepribumian) masih laris, khususnya dalam ajang elektoral.

Gaung dukungan politis itu tampak kala Rizieq Shihab, salah satu tokoh gerakan 212 yang hingga kini tak kunjung pulang ke Indonesia menyerukan "ganti presiden” pada pemilu 2019 melalui live streaming dari Mekkah. Kendati demikian Rizieq tak menyebut nama secara eksplisit.

"Ayo kita pilih capres dan cawapres hasil ijtima ulama. Siap pilih partai hasil ijtima ulama? Siap tenggelamkan partai penista agama? Siap tenggelamkan mereka? Takbir! Takbir! Takbir!" seru Rizieq dengan suara lantang kendati Ketua GNPF Ulama Yusuf Muhammad Martak telah berjanji politik praktis tak akan ada dalam Reuni 212.

Sebagai catatan, ijtima ulama pada 27 Juli dan 16 September 2018 lalu telah menyepakati bahwa mereka yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) akan mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. GNPF adalah salah satu penggerak utama aksi 212.

Sejumlah peserta Reuni 212 pun kedapatan mengelu-elukan nama sang calon presiden.

Kubu Prabowo menyampaikan pernyataan kontradiktif. Mereka menolak menyebut reuni tersebut merupakan praktik politik identitas, namun tak menampik bahwa ada muatan politis dalam acara tersebut.

“Itu pagelaran demokrasi. Tak ada politik identitas. Ini menunjukkan umat Islam yang toleran,” klaim Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Arief Poyuono.

Sejumlah pengamat sendiri berpendapat bahwa politik identitas memang sedang marak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dengan kemunculan aksi-aksi gerakan konservatif.

Abdil Mughis Mudhoffir, Luqman-nul Hakim, serta Diatyka Widya Permata Yasih dalam esai berjudul “Identity Politics: Mobilising Religious Sentiment in Democratic Indonesia” (2018), misalnya, mencatat pemilihan umum gubernur Jakarta pada 2017 sebagai bentuk nyata praktik politik identitas dalam arena politik di Indonesia kontemporer. Gerakan 212 yang akhirnya mampu menentukan hasil pemilu itu menunjukkan bahwa elit politik lihai memainkan politik identitas dengan melihat kondisi ekonomi dan perubahan kelas menengah dalam memandang Islam.

Pengaruh Luar

Semakin meningkatnya gerakan konservatif dalam Islam dan politik identitas di Indonesia, menurut Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, sedikit banyak dipengaruhi oleh apa yang terjadi di luar negeri, salah satunya di Amerika Serikat dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden pada 2016.

Ia mengatakan, gerakan 212, misalnya, merupakan gerakan yang terinsipirasi oleh kelihaian Donald Trump dalam memainkan politik identitas.

“Beberapa orang dari gerakan 212 mengatakan jika Donald Trump dapat memenangkan politik di AS karena politik identitas, mengapa kami tidak bisa?” sebut Azyumardi dalam diskusi publik bertajuk “Islam, Democracy, and Indonesian Identity” di Erasmus Huis, Jakarta, Kamis (6/12).

Azyumardi juga menyoroti pula pentingnya mengatasi konflik yang terjadi di Timur Tengah sebab hal tersebut berdampak pada proses politik di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Menurut Azra, sebagian masyarakat Indonesia saat ini tengah memandang negara-negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, sebagai model penerapan Islam dengan sempurna karena banyak orang Indonesia mengalami apa yang disebutnya sebagai inferiority complex.

Sementara itu, cendikiawan Muslim Alwi Shihab mengatakan sejumlah elite politik dalam gerakan reuni 212 kemarin berusaha menggerakkan masyarakat ekonomi kelas menengah dan bawah untuk menggulingkan pemerintah dengan cara-cara serupa yang digunakan organisasi seperti Hizbut Tahrir di Suriah.

Dalam diskusi yang sama,ia mengatakan jika gerakan-gerakan tersebut tak hanya menebar persepsi bahwa pemerintah telah tidak adil terhadap umat Islam di Indonesia dan melayani kepentingan pihak-pihak yang dianggap "musuh Islam".

“Slogan hari ini adalah pemerintah anti-Islam, kriminalisasi ulama, memberikan kesempatan pada musuh Islam: asing dan aseng,” jelasnya. “Materi-materi ini, yang digunakan di Syria, diadopsi di Indonesia dengan harapan mereka dapat meraih kekuasaan.”

Salah satu strategi yang digunakan, tambah Alwi Shihab, adalah menggaet para pemimpin agama, termasuk para habib, untuk meyakinkan masyarakat bahwa gerakan tersebut berdasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam.

“Kita harus awas. Ini terjadi di depan mata kita, dan ini merupakan tanggung jawab kolektif bagi masyarakat Indonesia untuk mencerahkan [mereka].”

Optimisme Semu?

Kendati demikian, Azra yakin bahwa politik identitas tidak efektif diterapkan dalam pemilu 2019 mendatang karena sejumlah faktor.

Ia menilai gerakan 212 saat ini sudah terpecah-belah. Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin, misalnya, kini telah menjadi kandidat wakil presiden berpasangan dengan petahana Presiden Joko Widodo. Mar'uf Amin sebelumnya adalah tokoh kunci Aksi 212 pada Desember 2016 lalu.

Ada pula Kapitra Ampera yang dulunya pengacara pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dan kini beralih menjadi calon legislatif dari PDIP, partai penyokong utama Jokowi.

Azyumardi Azra mengklaim bahwa tak banyak anggota dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang terlibat dalam reuni 212. “Mayoritas tidak menghadiri acara tersebut,” ujarnya. “Mereka yang mendatangi acara minggu lalu tersebut kebanyakan anggota militan PKS atau Gerindra.”

Terakhir, ia mengklaim bahwa dalam sejarah Indonesia, praktik politik identitas tak pernah berhasil. Kegagalan ini, menurutnya, disebabkan oleh praktik Islam progresif dan Islam Nusantara oleh para pengikut Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama, selain juga karena kohesi sosial masyarakat Indonesia yang sangat kuat.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/12/07/peran-islam-bagi-masyarakat-indonesia--mild--quita-01_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Peran Islam bagi Masyarakat Indonesia" /

Namun, jika merujuk pada survei nasional yang dilakukan oleh Indonesia Studies Programme di ISEAS–Yusof Ishak Institute (ISEAS) pada 2017 lalu, dapat dilihat betapa besarnya aris konservatisme di masyarakat muslim Indonesia.

Sebanyak 49 persen dari responden yang disurvei menilai bahwa pemerintah harus memprioritaskan Islam di atas agama-agama lainnya; 39 persen responden lainnya menilai hukum Syariah harus diterapkan di seluruh Indonesia pada tingkat lokal; 36 persen berpendapat bahwa Islam sudah selayaknya menjadi satu-satunya agama resmi di Indonesia. Meski persentasenya tidak melebihi 50 persen, namun jelas sejumlah indikator tersebut tampak mengkhawatirkan.

Ketua Institut Leimena Jakob Tobing mengatakan sudah saatnya masyarakat Indonesia yang mendukung demokrasi dalam konteks kebhinnekaan untuk lebih aktif lagi agar situasi menjadi lebih baik.

“Kita harus lebih aktif lagi. Kita harus mencoba untuk memengaruhi orang disekitar kita, atau siapapun yang dapat kita capai,” ujar Jakob. “Kita terikat konstitusi, dengan Pancasila, dengan kesatuan dari Republik, dengan Bhinneka Tunggal Ika, mari kita bergerak dalam kerangka tersebut.”

Baca juga artikel terkait REUNI 212 atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Politik
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara & Haris Prabowo
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf