Menuju konten utama

Jepitan Blok Dagang Cina dan Amerika

Indonesia dirayu untuk bergabung dengan dua blok perdagangan besar yang diinisiasi Amerika Serikat dan Cina. Indonesia belum membuat keputusan. Presiden Jokowi harus pintar membaca peta geopolitik dunia.

Jepitan Blok Dagang Cina dan Amerika
Wakil Perdana Menteri Tiongkok Yang Jiechi (kedua kiri) didampingi delegasi ekonomi Tiongkok bersiap menemui Presiden Joko Widodo membahas peningkatan kerja sama bilateral sektor ekonomi, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (9/5). [Antara foto/Yudhi Mahatma]

tirto.id - Ibarat gadis manis, Indonesia sedang ditaksir oleh dua negara besar dalam perdagangan dunia, yakni Amerika Serikat dan Cina. Keduanya memiliki kepentingan terhadap Indonesia yang memiliki posisi geostrategi, geopolitik dan geoekonomi yang sangat strategis.

Presiden Barack Obama bahkan secara terang-terangan sudah meminta kepada Presiden Jokowi agar Indonesia merapat ke blok perdagangan Trans Pacific Partnership (TPP). Namun, Jokowi menjawabnya dengan diplomatis saat berkunjung ke Negeri Paman Sam.

“Waktu bertemu dengan Presiden Barack Obama, saya sampaikan bahwa Indonesia bermaksud akan ikut TPP. Sekali lagi, 'bermaksud akan'. Jadi sebetulnya masih jauh, bukan 'akan'. Kalau 'akan' sudah agak dekat,” kata Presiden Jokowi seperti dikutip dari situs milik Setkab.

Sebenarnya wajar jika Presiden Jokowi terkesan mengelak. Maklum, berbagai aturan yang ada di dalam TPP justru berpotensi menjadi ancaman bagi kepentingan ekonomi Indonesia. Sebut saja aturan tentang anggota yang harus mematuhi standarisasi ketenagakerjaan, harus mematuhi standarisasi lingkungan hidup, harus mematuhi standardisasi hak cipta, atau pembatasan keistimewaan BUMN.

Sebenarnya, aturan ketat TPP harus dipahami sebagai kepentingan perusahaan multinasional AS untuk melakukan ekspansi bisnis demi mendapatkan suplai bahan mentah dan mendapatkan pasar bagi produknya. Berbagai aturan tadi bakal menjadi payung hukum bagi perusahaan-perusahaan tersebut di negara yang disasar.

Alasan lain mengapa Indonesia cenderung enggan bergabung TPP disebabkan ekspor Indonesia ke sejumlah negara industri maju yang tergabung dalam TPP hanya mengandalkan sektor pertambangan dan energi. Sebaliknya, negara-negara TPP lebih banyak mengekspor produk manufaktur ke Indonesia.

Beberapa negara di ASEAN yang bakal bergabung dalam TPP tak lain adalah "sekutu" AS seperti Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Negara-negara itu selama ini diketahui memiliki persoalan dengan Cina dalam sengketa Laut Cina Selatan.

Sementara di sisi lain, Cina juga sudah menginisiasi pembentukan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang di dalamnya terdiri dari 10 negara ASEAN, ditambah enam negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan ke-10 negara Asean, yakni Australia, Cina, India, Jepang, Selandia Baru dan Korea Selatan. Berbeda dengan TPP, kesepakatan atau aturan RCEP lebih fleksibel. Tingkat kedalaman perjanjian di RCEP bakal lebih mudah diakses oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Presiden Jokowi sendiri masih berhati-hati untuk mengungkapkan ke mana biduk Indonesia benar-benar akan disandarkan. “Ada banyak blok perdagangan, seperti Uni Eropa (UE), blok Cina, belum lagi TPP Amerika Serikat, semua harus digarap. Ini dunia yang kita hadapi, tidak bisa kita bilang tidak mau gabung,” kata Jokowi, pada April lalu.

Menarik menyimak perhitungan International Trade Analysis and Policy Studies (ITAPS) IPB, bahwa Indonesia justru bakal merugi hingga 253 juta dolar AS per tahun dari perdagangan barang, jika bergabung dengan RCEP maupun TPP.

Jadi bagaimana sebaiknya Indonesia bersikap?

Menurut Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Feature Institute, pemerintah harus pintar melihat situasi perkembangan geopolitik dunia, sehingga keputusan yang diambil bakal menguntungkan Indonesia.

“Daya tawar kita tinggi jika pemerintah bisa melihat peta geopolitik saat ini. AS mengajak Indonesia bergabung dengan TPP untuk mengurangi pengaruh Tiongkok di Asia Pasifik. Sementara Indonesia juga ditawari bergabung dengan BRICS untuk melawan kepentingan AS,” katanya kepada tirto.id, pada Rabu (8/6/2016).

Jadi jika Presiden Jokowi masih berdiplomasi terkait keputusan Indonesia terhadap TPP atau RCEP, semoga merupakan strategi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya buat Indonesia.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Kukuh Bhimo Nugroho
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti