Menuju konten utama

Jepang yang Sulit Lepas dari Tradisi Perburuan Paus

Pemerintah Jepang mengizinkan perburuan paus secara komersil setelah sejak 1986 dilarang.

Jepang yang Sulit Lepas dari Tradisi Perburuan Paus
Para pekerja bersiap untuk membongkar paus Minke yang ditangkap setelah penangkapan paus komersial di sebuah pelabuhan di Kushiro, Prefektur Hokkaido, Jepang, 1 Juli 2019. Kyodo / via REUTERS/AP

tirto.id - Pada Senin (1/7), beberapa jam setelah dilepas menuju laut, kapal-kapal Jepang itu kembali dengan membawa tangkapan dua paus Minke yang baru saja ditombak di bagian rahang. Dalam gambar yang dibagikan, tampak rahang paus Minke menganga menutupi sebagian buritan kapal yang bersandar di dermaga.

"Tangkapan itu jauh lebih besar dari yang diperkirakan," ujar Yoshifumi Kai, Ketua Asosiasi Penangkapan Ikan Paus Tipe Kecil, dengan bangga kepada CNN. "Saya sangat senang".

Di hadapan para tim pemburu paus dan pejabat pemerintahan, Kai dalam upacara pelepasan armada pemburu paus telah memberikan pidato emosional di pelabuhan Kushiro, Jepang utara.

Pasalnya, itu menandai dimulainya kembali perburuan paus komersil secara resmi setelah 31 tahun terakhir kegiatan tersebut terlarang dan menjadi sangat terbatas untuk kalangan tertentu.

"Aku sangat tersentuh, hatiku bergetar," ujarnya.

Kebahagian turut dirasakan oleh Mitsuhiko Maeda (73) dan adik laki-lakinya Saburo (71). Keduanya bekas anggota tim pemburu paus beranggotakan delapan orang. Berbekal tombak, dalam setahun mereka bisa menghabisi 40 ekor paus.

"Berburu paus adalah bagian dari hidupku," ujar Mitsuhiko yang kini bekerja menjadi pemandu wisata yang mengantarkan para wisatawan untuk melihat kawanan paus Minke berenang bebas dan mengepakkan sirip ekornya ke permukaan.

Maeda sangat setuju dengan peraturan baru pemerintah yang mengizinkan kembali orang-orang berburu paus. Para wisatawan Jepang menurutnya juga setuju dan tak ada yang keberatan dengan praktik perburuan paus.

"Tentu saja, itu harus dimulai lagi," kata Mitsuhiko. "Jepang memiliki budaya kuliner paus." Ia juga berharap bisa terus memandu wisatawan guna menyaksikan keindahan paus yang sedang memaerkan sirip ekornya sembari melihat para pemburu bebas menangkap kawanan paus.

"Saya akan terus memimpin pelayaran, dan para pemburu paus dapat menangkap paus itu," katanya. "Aku ingin keduanya hidup berdampingan."

Tradisi Nenek Moyang

Di Jepang, berburu paus adalah sebuah tradisi turun temurun terutama bagi para penduduk di pesisir pantai di negara kepulauan itu. Ini sama seperti yang terjadi di Norwegia, Islandia, suku Inuit di Kanada utara, atau yang dilakukan orang Lamalera di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Anny Wong dalam The Roots of Japan's Environmental Policies (2018) mencatat, tradisi berburu paus di Jepang dimulai sejak abad ke-16. Diketahui saat itu sebuah kelompok pemburu paus di Taiji menggunakan jaring untuk menangkap paus dan metode itu diikuti oleh para kelompok pemburu paus lainnya. Bahkan jika merujuk pada keterangan Animal Welfare Institute, warga Jepang sudah berburu paus sejak zaman pra-sejarah Jepang atau zaman Jomon (10.000 - 300 SM) meski dalam skala kecil.

Tradisi ini tak cuma berkutat di laut. Di darat, sekelompok orang sudah bersiap untuk membersihkan, memotong dan memproses daging paus untuk diolah. Pada tahun 1906, sebuah pengkalan yang khusus menampung paus hasil buruan dibangun di Ayukawa, Miyagi. Ini sekaligus menandai era modern perburuan paus di negeri Sakura itu.

Lambat laun, Jepang tak cuma berburu di perairan sekitarnya, tetapi mengejar paus sampai ke Antartika. Laporan Rupert Wingfield-Hayes untuk BBC menyebut, ekspedisi berburu paus ke Antartika pertama baru tercatat sekitar pertengahan 1930-an.

Setelah Perang Dunia II, aktivitas perburuan paus meningkat tajam. Sebabnya, Jepang yang kalah perang itu harus menanggung kehancuran ekonomi dan banyak penduduknya yang kelaparan. Di titik inilah paus dilirik menjadi sumber makanan utama. Dari akhir 1940-an sampai puncaknya pada 1964, Jepang membunuh lebih dari 24.000 ekor paus dalam setahun untuk disantap oleh rakyat Jepang, termasuk jadi bekal makan siang di sekolah. Kebanyakan yang diburu jenis paus sirip yang gigantis dan paus sperma.

Konsumsi daging paus rakyat Jepang pernah mencapai puncaknya pada 1962, yakni 226 ribu ton. Jumlah itu berangsur menyusut menjadi 15 ribu ton pada tahun 1985 dan 3 ribu ton pada 2017.

Bahkan selama tiga dekade terakhir, rata-rata orang Jepang mengkonsumsi daging paus kurang dari 40 gram dalam setahun dan, daging paus jadi makanan mewah.

Mengapa?

Jepang menghentikan perburuan ikan paus secara komersil pada 1986 mengikuti moratorium Komisi Perpausan Internasional (IWC) pada 1982 yang mengatur soal larangan perburuan paus kecuali untuk komunitas adat dan tujuan ilmiah. Seperti dilansir dari Kyodo News, Jepang telah sendiri menjadi anggota IWC sejak 1951.

Jepang tak hilang akal. Untuk menyalurkan hasrat berburu paus, mereka memakai dalih penelitian ilmiah untuk menangkapi paus sampai ke perairan Antartika dan barat laut Pasifik sejak 1987. Begitu sampai di Jepang, pemburu paus menjual hasil tangkapan mereka untuk diambil dagingnya. Tahun 2018, Jepang membunuh dan membawa 333 ekor paus di bawah izin penelitian. Di bawah izin yang sama, sejak 1987, diperkirakan Jepang telah membunuh antara 200 sampai 1.200 paus per tahunnya.

Atas nama tradisi, Jepang terus melobi agar bisa berburu paus lebih leluasa lagi. Media pemerintah Jepang, NHK menyebut, Tokyo telah meminta izin perburuan paus secara komersial lebih dari 20 kali ke IWC. Namun selalu ditolak.

Akhir tahun 2018, untuk terakhir kalinya Jepang meyakinkan IWC agar diizinkan berburu paus di bawah kuota tertentu dan berkelanjutan, lagi-lagi dimentahkan. Jepang hilang kesabaran dan memilih keluar dari keanggotaan IWC sekaligus mendeklarasikan dimulainya perburuan paus lagi. Sampai akhirnya niatan itu menjadi kenyataan pada 1 Juli 2019.

Pun begitu, Jepang tak serta merta berburu paus secara bebas kendati tak lagi terikat dengan aturan mengekang. Kementerian Perikanan menetapkan jatah berburu paus hanya 227 ekor dari Juli sampai Desember 2019. Hanya ada tiga jenis paus yang diperbolehkan diburu, masing-masing Minke (52 ekor), Bryde (150 ekor) dan Sei (25 ekor). Area perburuan paus juga hanya mencakup perairan teritorial Jepang dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Jika merujuk pada data Daftar Merah IUCN, dari tiga jenis paus yang ditetapkan Jepang untuk boleh diburu, dua diantaranya, Minke dan Bryde tak masuk ke catatan mamalia yang terancam punah. Sedangkan paus jenis Sei masuk dalam catatan terancam punah namun tingkat kelahirannya sedang meningkat.

Diprotes LSM Konservasi Laut

Keputusan Tokyo mengizinkan kembali perburuan paus secara komersil telah mengundang kecaman dari para kelompok konservasi macam Greenpeace, Sea Shephered, dan lainnya.

"Jepang tidak sejalan dengan komunitas internasional," ujar Sam Annesley, direktur eksekutif di Greenpeace Jepang, dalam sebuah siaran pers di Tokyo tahun lalu.

"Ini adalah hari yang menyedihkan bagi perlindungan paus secara global," kata Nicola Beynon dari Humane Society International.

Di London, sekitar 50 aktivis berdemo di depan Kantor Kedutaan Besar Jepang pada 29 Juni 2019 sambil membawa poster yang isinya seruan untuk melindungi keberadaan paus.

"Saya tidak habis pikir mengapa Jepang melakukan ini," kata Dominic Dyer, seorang pengacara satwa liar yang ikut aksi. "Saya pikir tidak ada pasar domestik utama untuk daging paus."

Infografik Berburu Paus di Jepang

Infografik Berburu Paus di Jepang. tirto.id/Nadya

Selain mengkhawatirkan soal populasi paus yang dapat merosot drastis jika perburuan liar dimulai lagi, para kelompok konservasi juga mempermasalahkan proses pembunuhan paus yang menggunakan tombak yang membikin mamalia tersebut merasakan kesakitan dan mati perlahan.

Menurut Hisayo Takada, juru bicara Greenpeace Jepang, orang Jepang memiliki "perasaan campur aduk" perihal aktivitas perburuan paus.

"Ini bukan tentang perburuan paus itu sendiri. Ini lebih tentang kebanggaan Jepang dan membela apa yang orang lihat sebagai budaya mereka," ujar Takada dilansir dari New York Times.

Takada menyebut ada kombinasi rasa kebanggaan secara nasional dan politik. Tak heran bila para anggota parlemen Jepang memainkan isu populisme perburuan paus ini untuk mengamankan basis suara pemilih mereka.

Kementerian Luar Negeri Jepang menggandeng NHK pernah membikin jajak pendapat soal pandangan rakyat Jepang tentang praktik perburuan paus. Hasilnya, banyak orang yang mendukung aksi tersebut, bahkan jika sekalipun tak lagi doyan makan daging paus sekalipun.

Jika diperlihatkan gambar paus, "kebanyakan orang akan melihatnya sebagai satwa liar," jelas Takada.

Baca juga artikel terkait PERBURUAN SATWA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Nuran Wibisono