Menuju konten utama

Jepang Negara Teraman untuk Bayi Baru, Pakistan Sebaliknya

Bayi Pakistan punya kemungkinan 50 kali lipat meninggal sebelum mencapai usia satu bulan dibandingkan dengan bayi Jepang.

Jepang Negara Teraman untuk Bayi Baru, Pakistan Sebaliknya
Ilustrasi bayi Pakistan. FOTO/REUTERS

tirto.id - Tingkat keamanan bayi yang baru lahir di Asia tergolong amat senjang jika melihat data terbaru UNICEF (PDF) yang dipublikasikan pada 20 Februari 2018. Dua negara dengan tingkat kematian terendah maupun yang tertinggi untuk bayi di usia satu bulan pertama ada di benua ini: Jepang dan Pakistan.

Orok-orok Pakistan punya kemungkinan meninggal 50 kali lipat sebelum berusia satu bulan dibandingkan dengan orok Jepang. Perbandingannya mencapai 45,6 kematian per 1.000 kelahiran. Sementara di Jepang hanya 0,9 kematian per 1.000 kelahiran.

Di bawah Jepang dalam daftar 10 negara dengan tingkat kematian bayi terendah pada 2016 ada Islandia (2), Singapura (3), Finlandia (4), dan Slovenia (5), dll. Pakistan ditemani tetangganya Afghanistan di urutan ke-3 dalam daftar 10 negara dengan tingkat kematian bayi tertinggi. Sisanya ditempati negara-negara miskin di Afrika seperti Republik Afrika Tengah (2), Somalia (4), Lesotho (5), dan lainnya.

Prestasi Jepang tidak diraih secara instan, melainkan hasil dari perjuangan generasi ke generasi. Dalam catatan (PDF) Badan Kesehatan Dunia (WHO), pasca-Perang Dunia II Jepang pernah mencatat kematian dari 180 bayi tiap 1.000 kelahiran. Pemerintah menilainya sebagai persoalan serius bagi masa depan Jepang yang sedang berupaya bangkit dari situasi pasca-perang.

Kebijakan yang berfokus pada kesehatan bayi kemudian menjadi program prioritas pemerintah Jepang, terutama pada 1960an hingga 1970an. Dalam kurun waktu itu pula angka kematian bayi turun dari 130 per 1.000 kelahiran menjadi 50 per 1.000 kelahiran. Kesehatan bayi dalam periode usai lahir juga berangsur-angsur membaik.

WHO menitikberatkan upaya Jepang dalam tiga poin utama. Pertama, akses yang seluas-luasnya terhadap program keluarga berencana untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan.

Program ini juga melayani perempuan yang hamil tanpa rencana dan membutuhkan aborsi. Aborsi sebenarnya ilegal di Jepang, namun bisa dilaksanakan atas alasan kesehatan atau jika si ibu tidak siap secara finansial untuk memiliki anak.

Kedua, akses universal untuk mendapat pelayanan tenaga medis ahli menjelang persalinan melahirkan. Jepang telah lama berinvestasi pada pelatihan bidan dan perawat sehingga mereka betul-betul profesional. Yang lebih menggembirakan lagi, perawatan ini bersifat gratis, sehingga ibu dan bayi dari keluarga miskin pun tetap terjamin keselamatannya.

Jepang menempatkan para tenaga medisnya di rumah sakit dan fasilitas-fasilitas kesehatan yang dibangun di seluruh negeri. Keseriusan ini membuahkan hasil positif, antara lain mengeliminasi salah satu penyebab kematian ibu dan janin, yakni sepsis. Sepsis adalah peradangan di seluruh tubuh akibat infeksi yang mengganggu sistem kekebalan tubuh hingga peradangan darah. Di banyak negara sepsis masih jadi ancaman serius bagi ibu dan janin.

Ketiga, Jepang membangun Perawatan Obstetrik Darurat yang menghimpun seluruh perempuan hamil untuk mendapatkan pelayanan kesehatan optimal selama hamil, saat persalinan, dan usai persalinan. Pelayanan itu meliputi akses ke klinik medis maupun tenaga profesional.

Satu hal yang khas Jepang adalah pembagian Boshi Kenko Techo (Buku Saku Kesehatan Kehamilan dan Anak) sejak PD II. Buku ini wajib dimiliki oleh ibu hamil dan diberikan saat mendaftarkan diri ke otoritas pelayanan kesehatan lokal. Negara lain banyak yang menyediakan buku saku serupa, tetapi dalam catatan Japan Times, pemerintah Jepang adalah yang pertama kali mencetuskannya.

Indonesia punya buku saku untuk perempuan hamil yang dirancang oleh Japan International Cooperation Agency (JICA). Buku saku ini dirilis sejak tahun 1993 dan kini sudah dipakai secara nasional. JICA pun membantu pembuatan buku saku ibu hamil di Palestina, Filipina, dan Madagaskar.

Sepaket bersama buku saku terdapat 14 tiket untuk bisa dipakai si ibu memeriksakan kesehatannya. Layanan lain yang berhak diterima adalah jatah makanan dan barang sanitasi khusus termasuk kapas, kain kasa, dan sabun. Awalnya, informasi yang dimuat dalam buku saku bersifat umum dan sedikit. Kini sudah bertambah banyak dan kian spesifik.

Kepemilikan Boshi Kenko Techo bersifat universal, artinya tak memandang si ibu hamil warga Jepang atau pendatang. Di daerah yang padat pendatang seperti Yokohama, misalnya, buku saku yang disebarkan menggunakan bahasa Inggris, Korea, Spanyol, Portugal, dan Vietnam. Buku saku gratis, tinggal minta ke otoritas kesehatan lokal.

Malangnya Orok Pakistan

Dibandingkan Jepang, jaminan kesehatan bayi di Pakistan amat bertolak belakang. Selain dari UNICEF, organisasi pemerhati anak Save the Children juga mengonfirmasi. Dalam riset “Ending Newborn Death” (PDF, 2014) khususnya di bagian daftar negara dengan angka kematian bayi di hari pertamanya hidup dan meninggal sebelum lahir, Pakistan menempati urutan pertama. Korban mencapai 40,7 bayi per 1.000 kelahiran.

Menurut laporan "State of Children in Pakistan" (2014), satu di antara 14 bayi Pakistan meninggal per tahunnya sebelum sempat merayakan ulang tahun pertama. Sementara itu satu dari 11 anak lainnya tak mampu mencapai ulang tahun ke-5, demikian kutip Tribune. Orok-orok yang lahir di negara itu bak ditimpa kesialan paripurna sehingga berlanjut pada ketidakamanan kronis.

Save the Children menyimpulkan bahwa faktor penyebab utamanya adalah miskinnya etos pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah Pakistan. Tenaga medis yang profesional untuk mendampingi ibu hamil selama hamil, saat persalinan, dan sesudahnya masih minim. Banyaknya janin yang mati di dalam kandungan akibat tak segera mendapat penanganan medis yang ideal.

Belum lagi masalah keterlambatan pencairan gaji yang membuat kerja tenaga medis tak maksimal, rumah sakit kehabisan stok obat, peralatan yang memadai tak tersedia karena mahal, hingga ketiadaan sistem rujukan yang baik.

Tahun lalu, Ahsan Iqbal selaku Menteri Perencanaan, Pembangunan, dan Reformasi mengakui persoalan-persoalan itu. Dalam laporan Nation faktor penyebab tingginya angka kematian bayi dan anak di Pakistan adalah kondisi pelayanan kesehatan yang masih buruk, malnutrisi, dan program ASI yang belum dipandang penting.

Infografik Lahir di dunia yang tak aman

“Dengan kelaparan, kemiskinan, dan minimnya pendidikan, kami tak bisa bergerak maju,” ujarnya.

Dalam laporan VOA News, ahli kesehatan anak Dr. Abdul Wahab Khan mengatakan bahwa penyebabnya adalah minimnya pengetahuan tentang kesehatan ibu hamil dan cara-cara untuk menjaganya.

“Pemerintah memang telah membangun rumah sakit, menunjuk para dokter dan bidan, tapi itu di perkotaan. Tidak ada pengawasan kesehatan untuk orang-orang di pedesaan di mana ibu-ibu hamil dan bayi mereka, yang berharap ada bantuan, ternyata tak mendapat perawatan yang dibutuhkan,” kata Abdul.

Pendapat Abdul berselaras dengan kondisi nyata di Pakistan, yakni 60 persen masyarakatnya sebenarnya tinggal di pedesaan. Save the Children turut menekankan faktor ini, bahwa diskriminasi pelayanan kesehatan untuk masyarakat Pakistan tidak hanya menimpa orang miskin, tetapi juga ke masyarakat di pelosok pedesaan.

Menurut laporan South China Morning Post, per 1.000 kelahiran ada 54 bayi yang meninggal di Khasmir, daerah pegunungan Pakistan dekat perbatasan dengan India.

Di salah satu desa bernama Sharda, hanya ada satu dokter laki-laki. Ada tiga perempuan yang kerap datang ke desa untuk sosialisasi mengenai kesehatan dan kebersihan, akan tetapi tidak punya kualifikasi untuk merawat perempuan hamil atau proses persalinan.

Meski terpelosok, Khasmir adalah wilayah yang luas dan dihuni oleh kurang lebih 4,4 juta orang. Namun, menurut Dr Sardar Mahmood Ahmed Khan selaku ketua pelayanan kesehatan setempat, hanya ada 1.050 dokter di Khasmir. Terlalu sedikit, meski sudah ditambah dengan perawat, bidan, dan seluruh tenaga medis lain.

Orang yang mendampingi persalinan lebih mirip dukun di Indonesia ketimbang petugas medis profesional, sehingga risiko membuat kesalahan dalam persalinan juga besar. Orang-orang masih terus menumpukan harapan kepada pemerintah untuk mengatasi kelangkaan-kelangkaan ini. Demi bayi mereka, agar bisa lahir ke dunia dengan selamat, dan berumur panjang.

Baca juga artikel terkait BAYI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf