Menuju konten utama
7 Juli 1943

Jepang Kepepet di Front Pasifik, PM Hideki Tojo Kunjungi Jakarta

PM Tojo kunjungi Jakarta dan bertemu orang-orang Indonesia yang potensial diajak dalam pemerintahan. Jepang sedang butuh bantuan lebih banyak untuk melawan Sekutu.

Ilustrasi PM Hideki Tojo. tirto.id/Nauval

tirto.id - Barisan pemuda bikinan Jepang, Seinendan, adalah tempat berkarier Abdul Haris Nasution setelah jadi serdadu KNIL. Bagi Nasution, Seinendan penting untuk Jepang. Pada 1943 Seinendan melakukan latihan di daerah Gambir. Latihan itu diperhatikan para jenderal Jepang di Jakarta. Panglima tertinggi (Saiko Sikikan) di Jawa, Letnan Jenderal Kumakichi Harada, pernah berkunjung ke Gambir.

Pagi-pagi sekali pada 7 Juli 1943, tepat hari ini 77 tahun lalu, para anggota Seinendan di Jakarta harus bangun lebih awal. Nasution adalah salah satu Seinendan yang hari itu ada di Jakarta. “Pagi-pagi betul kami kakias (berlari) dari Polonia (sekitar Jalan Otto Iskandardinata) ke (bandar udara) Kemayoran dan berjam-jam berlatih memberi hormat,” aku Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1989: 100).

Para pelatih Seinendan memberi semangat kepada para anggota yang kelelahan dengan menjelaskan bawah mereka mendapat kehormatan besar: menyambut Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo. Bahkan di negeri Jepang tidak banyak orang Jepang yang dapat kehormatan seperti Nasution.

Berkunjung Kala Jepang Loyo

Setelah sebuah pesawat angkut mendarat di lapangan udara Kemayoran, seperti terekam dalam sebuah video, Tojo dengan seragam kebesaran militernya keluar dari pesawat. Ia kemudian berjalan sambil membalas hormat para penyambutnya yang lebih dulu memberi hormat. Tak hanya petinggi militer Jepang di Jakarta, orang-orang Indonesia seperti Sukarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara pun ikut menyambut Tojo.

Tojo kemudian masuk mobil kap terbuka. Di sepanjang jalan, massa di kanan kiri jalan bersorak untuk menyenangkan hati sang perdana menteri yang baru pertama ke Indonesia. Tojo singgah di Istana Gambir. Para penyambutnya di lapangan udara naik mobil lainnya. Sementara Nasution dan Seinendan lain harus berlari lagi dari Kemayoran ke Lapangan IKADA di Gambir. Di situ Tojo akan berpidato.

Tojo tentu senang dengan bantuan rakyat Indonesia dalam Perang Asia Timur Raya dan tak lupa berharap bantuan terus bertambah. Kala itu tentara sukarela Pembela Tanah Air atau Gyugun belum ada. Untuk ke medan perang, pemuda Indonesia baru direkrut dalam pembantu tentara alias Heiho. Pada kunjungan itu, Tojo menyaksikan kesiapan Heiho dalam melayani meriam.

Ketika Tojo datang ke Jakarta, Sukarno meyakinkan para pejabat Jepang bahwa Indonesia akan memberi dukungan kepada militer Jepang dalam perang. Tentu saja, Jepang kala itu hendak melibatkan orang Indonesia dalam pemerintahan agar orang Indonesia bersemangat membantu.

“Kami percaya, dengan ikutnya orang-orang Indonesia dalam pemerintahan negeri, rakyat akan memperbanyak tenaga-tenaganya untuk menyiapkan segala alat yang perlu untuk meruntuhkan kekuatan Inggris dan Amerika dan Belanda,” kata Sukarno di istana.

Setelah di istana, Sukarno dan Tojo berpidato di lapangan IKADA, yang sekarang merupakan Kawasan Monas.

Setelah acara pidato dalam rapat raksasa 7 Juli 1943 itu selesai, Nasution dan Seinendan lainnya pulang ke arah Polonia. Lagi-lagi dengan berlari. Selama berlari, untuk menjaga semangat, mereka bernyanyi "Banda na iro". Seingat Nasution, ada teman-temannya yang jatuh. Berlari dari Polonia ke Kemayoran, lalu Kemayoran ke Gambir dan dari Gambir ke ara Polonia lagi, tentu sangat melelahkan. Tapi mental fasis Jepang sulit mentoleransi kelelahan macam itu. Mereka yang pingsan, seingat Nasution, ditampari pelatih-pelatihnya.

Seperti dikenang K.H. Saifuddin Zuhri dalam Berangkat Dari Pesantren (hlm. 287), “[Tojo] memuji pulau Jawa sebagai medan amat penting dalam perang Asia Timur Raya. Sebab itu segenap kekuatan politik, ekonomi dan kebudayaan dikerahkan untuk pembentukan Jawa baru.”

Seingat Saifuddin Zuhri, terkait kedatangan Tojo itu, K.H. Zainal Arifin menyebut kedatangan Perdana Menteri Jepang pada 7 Juli 1943 dan pidatonya dalam rapat umum di lapangan IKADA jelas sekali menunjukan Nippon semakin terdesak oleh Sekutu.

Posisi militer Jepang di Front Pasifik sudah cukup terganggu sebelum Tojo tiba di Indonesia. Armada Angkatan Laut Amerika Serikat cukup merajalela di perairan Pasifik. Jika laut sudah terancam, maka pertahanan terakhir Jepang adalah di daratan. Jumlah tentara Jepang yang terbatas tentu membutuhkan bantuan tenaga rakyat setempat. Jalur laut yang terancam juga memengaruhi komunikasi dan arus logistik perang Jepang. Lagi-lagi makanan rakyat sangat diperlukan.

Infografik Mozaik Hideki Tojo

Infografik Mozaik Setelah Tojo Datang. tirto.id/Fuad

Efek Kedatangan Tojo

Setelah Tojo pulang, Chuo Sangi In alias Dewan Pertimbangan Pusat berdiri pada 5 September 1943. Di tingkat keresidenan terdapat Chuo Sangi Kai alias dewan Pertimbangan Keresidenan. Orang-orang Indonesia tentu berharap, peran mereka meningkat dalam pemerintahan. Selain itu, berdasarkan Osamu Seirei No. 44 tanggal 3 Oktober 1943, tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) dibentuk di Jawa.

Di luar organisasi militer, organisasi semi militer tentu terus diperkuat. Pemuda-pemuda Islam tak luput dari pelatihan militer Jepang. Umat Islam yang jumlahnya banyak tentu bisa jadi pendukung penting dalam perang. Dengan begini, seperti harapan Tojo, lebih banyak lagi pemuda Indonesia yang dipersiapkan untuk melawan Sekutu yang berniat mendarat di Jawa. Di Sumatra, milisi lokal bentukan Jepang disebut Gyugun. Orang-orang Indonesia yang dilatih militer itu tentu diharapkan akan berguna di masa depan ketika Perang Asia Timur raya berakhir.

Setelah kedatangan Tojo ke Indonesia, pada pertengahan tahun berikutnya Saipan direbut Sekutu dan Tojo harus jatuh. Tojo digantikan Kuniaki Koiso, yang dikenal karena janji kemerdekaan kepada Indonesia. Harapan Koiso: rakyat Indonesia mau terus loyal kepada Jepang yang sebetulnya makin loyo.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
-->