Menuju konten utama

Jendral Gatot dan Reformasi TNI

Doktrin tentara rakyat masih menjadi hambatan reformasi secara menyeluruh di tubuh TNI

Jendral Gatot dan Reformasi TNI
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo berjabat tangan dengan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto saat mengantarkan Tjahjanto menjalani mekanisme evaluasi patut dan layak calon Panglima TNI. FOTO/Puspen TNI

tirto.id - TNI menyulap kompleks bangunan peninggalan Belanda, bekas markas Yonif Para Raider 503/Mayangkara di Denanyar Jombang, menjadi Sentra Pelayanan Pertanian Padi Terpadu (SP3T). Sedikitnya ada 15 tentara dari Korem 082/CPY Unit Jombang beralih tugas mengurus mesin-mesin pertanian.

Program SP3T ini dirancang mengurusi masalah hulu hingga hilir pertanian padi, mulai pembibitan sampai penjualan beras. Semua mesin-mesin modern pertanian lengkap di sana dan disewakan kepada petani. Untuk menggunakan alat seperti pengering dan mesin giling petani dikenakan biaya Rp 100/kg dan Rp 250/kg. Bukan cuma menyediakan alat-alat pertanian modern, SP3T juga membeli gabah dari petani dan menjualnya untuk umum dan menyetor ke Bulog.

Program SP3T tidak hanya berhenti di Denanyar. TNI terus melakukan “komunikasi” ke kepala-kepala desa agar turut serta dalam program ini. Semuanya dilakukan untuk swasembada pangan nasional.

Sejak Jendral Gatot Nurmantyo menjabat sebagai Panglima, TNI mulai gencar kembali ke ranah sipil lewat program-program “demi kepentingan nasional”. Selain SP3T, masih banyak lagi kerjasama yang diteken TNI dengan kementerian dan lembaga yang mengajak TNI untuk terlibat di ranah sipil, misalnya program cetak sawah dengan Kementerian Pertanian, program ketahan pangan dengan Kementerian Pertanian juga, dan baru-baru ini kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk bantuan Pendidikan Penguatan Karakter (PPK).

Program kerjasama itu sebenarnya tidak muncul hanya pada masa Gatot menjadi panglima jauh sebelumnya sudah ada, namun sifatnya tidak bersinambungan.

Misalnya pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia pernah mengeluarkan Inpres nomor 5 tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional Dalam Menghadapi Iklim Ekstrim. Dalam inpres tersebut SBY memerintahkan Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono mengerahkan peralatan dan personil untuk memberikan dukungan pengendalian tanaman pengganggu tumbuhan, penanganan banjir dan kekeringan lahan pertanian padi. Usai iklim ekstrim berlalu, TNI tidak lagi terlibat mengurusi pertanian seperti instruksi SBY.

Pada saat Gatot menjabat, ia tidak pernah mendapat instruksi tertulis dari Presiden untuk membantu TNI. Omongan lisan Presiden Joko Widodo langsung diterjemahkan sendiri menjadi program kerjasama dengan sipil.

Instruksi lisan Jokowi agar TNI membantu pertanian sebenarnya tidak bisa dipakai sebagai landasan hukum. Komisioner Ombudsman, Alamsyah Siregar, menegaskan ketika TNI masuk ke wilayah sipil, TNI harus mematuhi aturan sipil.

“Kalau dibilang ada instruksi lisan, hati-hati! Sekali Anda memasuki wilayah sipil, Anda harus mematuhi etika sipil, yakni tertib administrasi. Kalau (kondisinya) perang, (intruksi) bisa saja lisan,” kata Alamsyah.

Kritik memang disasar terutama terhadap dasar hukum kerjasama yang tidak jelas. Kerja sama itu dinilai tidak memiliki kekuatan hukum. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang TNI, seharusnya pelibatan TNI dalam urusan selain perang harus berdasarkan keputusan politik negara.

“Karena sebenarnya tugas pokok secara hukum pelibatan bantuan pangan itu adalah bagian dari operasi selain perang, yang hanya bisa dilakukan jika ada instruksi dari presiden. Persoalannya, tidak ada keputusan presiden,” kata direktur Imparsial, Al Araf, kepada Tirto, beberapa waktu lalu.

Baca juga: Mempertanyakan Pelibatan TNI Mengurusi Pangan

Evaluasi Kepemimpinan Gatot

Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Muradi mengatakan kerjasama TNI dengan sipil itu menjadi salah satu indikasi kemunduran reformasi TNI pada masa kepemimpinan Gatot. Seharusnya kerjasama seperti itu tidak bisa dikerjakan secara permanen.

“Sebenarnya secara utuh reformasi TNI sudah selesai tahun 2010. Tapi 2010 sampai 2015 ada perbaikan-perbaikan terus menerus. Pada masa Gatot ini memang ada masalah,” kata Muradi pada tirto 29 November lalu.

Indikasi masalah reformasi TNI di masa kepemimpinan Gatot ini ada pada sang Panglima sendiri. Menurut Muradi, Gatot sebagai Panglima tidak banyak memainkan peran dalam politik kenegaraan, namun justru terjerat dalam politik praktis. Indikasi permainan Gatot itu terlihat dari kebijakannya politik pertahanan yang tidak terlalu disentuh. Selain itu isu ancaman dari luar juga tidak diekplorasi oleh Gatot dalam kebijakannya.

“Kalau dilihat lebih banyaknya isu PKI dan anti cina, cinanya pun cina yang bukan dari luar, tapi cina Thionghoa warga Indonesia. Justru tidak dari luar negeri, padahal di luar ada laut Cina selatan yang luar biasa. Ini tidak tersentuh kebijakan yang bersifat preventif,” kata Muradi.

Alasan lain, lanjut Muradi, Gatot justru ikut mengkritisi pemerintah, salah satunya dengan isu pembelian senjata. “Itu bukan ranahnya Panglima,” tegas penulis buku Politics and Governance in Indonesia: The Police in the Era of Reformasi yang diterbitkan oleh penerbit Inggris, Routledge. .

Masalah itu muncul lantaran Muradi menganggap Gatot tidak paham pola hubungan antara sipil dan militer. “Ini tergantung komandannya, kalau komandannya pada isu pertahanan, selesai di situ. Ini masalah pemahaman. Pak Gatot sebagai panglima tidak paham betul pola hubungan sipil militer,” ujarnya.

Dalam beberapa kesempatan Gatot juga dinilai mencuri panggung. Misalnya dalam Aksi Bela Islam, Gatot tampil mesra dengan kelompok garis keras. Ia bahkan menyebut Rizieq Shihab sebagai Imam Besar. Pada reuni 212 kemarin, TNI juga turut hadir membantu pada massa aksi. Mereka bahkan membentangkan spanduk bertuliskan “Silahkan sarapan gratis saudaraku, cukup bayar dengan alhamudlillah”.

Sikap politik yang diambil Gatot itu pun terkesan ganjil, sebab aksi bela Islam itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas TNI. Pada momen itu, Jurnalis Investigasi Amerika, Allan Nairn menerbitkan laporan investigasi terkait Gatot yang memberikan izin pada rencana penggulingan Jokowi lewat aksi bela Islam.

Infografik Disorientas reformasi TNI

Nasib Reformasi TNI

Peneliti militer Antonius Made Tony Supriatma menilai reformasi TNI gagal total. Dalam wawancara dengan Indoprogress Juli 2017 lalu, Made mengungkapkan tidak ada perubahan sama sekali ditubuh TNI kecuali soal bisnis atas nama TNI.

“Harus dikatakan bahwa ini gagal total. Karena tak ada perubahan sama sekali kecuali mereka dilarang melakukan bisnis terang-terangan atas nama institusi,” kata Made dikutip dari Indoprogress.

Peneliti yang sedang menyelesaikan disertasi di Universitas Cornell, Amerika Serikat, ini menilai masalah utama dalam reformasi TNI adalah struktur teritorial, terutama di Angkatan Darat yang memang memiliki kekuatan di sana. Padahal fungsi itu, menurut Made, sudah tidak lagi berguna. Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata) yang sampai sekarang masih digunakan TNI dianggap sudah tidak lagi relevan.

“Ini yang paling penting: struktur teritorial itu tidak diperlukan dalam keadaan damai. Itu diperlukan dalam keadaan perang,” katanya.

Di luar itu, ada masalah yang banyak dilupakan ketika membincangkan reformasi TNI khususnya TNI AD. Masih dalam wawancara dengan Indoprogress, Made menjelaskan sebelum direformasi menjadi perwira di TNI adalah jabatan yang powerfull. Pada masa Orde Baru, menjadi perwira TNI ini seperti one way ticket menjadi apa saja, dari birokrat, politisi sampai pengusaha.

“Ketika direformasi, ini yang tak pernah dipikir. Tidak pernah diberikan, paling tidak kompensasi secara material. Jadi apa yang bisa dilakukan?” ujar penulis buku ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995 ini.

Akibatnya kemandekan pangkat di TNI menjadi sangat tinggi karena kehilangan pilihan lain yang selama di orde baru ada.

“Kalau sekarang pengusaha ingin memasukkan seorang tentara itu seperti belas kasihan. Mereka akan didudukkan sebagai komisaris yang tidak ada fungsi apapun selain mengawasi dan melobi. Atau taruh satu jenderal di perusahaan agar lancar dalam melaksanakan penggusuran, misalnya. Jadi tentara diperlakukan sebagai centeng atau tukang pukul yang sebetulnya sangat menghina keterampilan mereka,” pungkas Made.

Kondisi inilah yang menyebabkan TNI ingin kembali lagi ke masa di mana mereka bisa menjadi apa saja dengan mudah. Yang mereka perlukan hanya mempertahankan TNI seperti ini terus, tanpa ada reformasi menyeluruh.

Baca juga artikel terkait REFORMASI TNI atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Zen RS