Menuju konten utama

Jenderal Spoor dan Mallaby Tidur Damai di Menteng Pulo

Menteng Pulo menjadi tempat bersemayam bagi banyak orang dari berbagai bangsa dan agama, khususnya para tentara Belanda dan Inggris.

Jenderal Spoor dan Mallaby Tidur Damai di Menteng Pulo
Pemakaman Ereveld Menteng Pulo, Jakarta, terdapat sekitar 4000 makam tentara Belanda dan KNIL selama perang kemerdekaan, Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Di tengah-tengah belantara metropolitan Jakarta, dua ereveld (makam Belanda) masih bertahan di ibukota Jakarta. Orang-orang yang dimakamkan di ereveld-ereveld di Indonesia adalah orang-orang yang meninggal di Indonesia selama kurun waktu 1942 hingga 1950. Mereka terhitung sebagai korban perang.

Setidaknya ada 7 ereveld yang diurus yayasan pemakaman korban perang Oorlogs Graven Stichting (OGS) di Indonesia. Sebelum 1967, jumlahnya lebih banyak lagi. Ada beberapa ereveld di luar Jawa. Misalnya di Banjarmasin, Balikpapan, Palembang, Kendari dan tempat lain di luar Pulau Jawa.

Paling terkenal adalah ereveld Menteng Pulo atau Kembang Kuning. Ereveld Menteng Pulo diapit banyak Taman Pemakaman Umum Menteng Pulo juga. Selain pemakaman umum, gedung bertingkat dan perkampungan juga mengepung makam ini. Di ereveld Kembang Kuning, Surabaya, banyak dimakamkan korban perang laut Jawa.

Di Jakarta, selain Menteng Pulo, OGS juga merawat satu ereveld lagi di Ancol. Di situlah bersemayam tubuh Achmad Mochtar yang dipaksa mengaku mencampur vaksin dengan racun yang menyebabkan tewasnya 900 romusha di Klender agar romusha-romusha itu tak menderita karena paksaan Balatentara Jepang.

Selain di Jakarta, di Semarang ada Candi dan Kalibanteng, di Bandung terdapat Pandu, dan di Cimahi ada Leuwigajah.

Menurut situs resmi OGS, yayasan ini merawat makam dari 50 ribu orang, tersebar di Eropa, Asia Tenggara, Indonesia, bahkan di Irak. Dari 50 ribu itu, sebanyak 24 ribu orang di antaranya dimakamkan di Indonesia. Perawatan makam oleh OGS ditopang berbagai sumbangan.

Makam-makam ini terbuka untuk umum juga. Robbert van de Rijdt adalah Direktur yayasan OGS untuk Indonesia. Semua ereveld di Indonesia adalah lingkungan kerjanya. Van de Rijdt mempersilahkan siapa saja, termasuk orang-orang Indonesia untuk berkunjung.

“Silahkan datang. Tinggal pencet bel saja,” ajaknya dalam sebuah kesempatan.

Benar apa yang dikatakan Robbert van de Rijdt. Setelah memencet bel, petugas kebersihan yang sibuk bekerja dengan ramah mempersilakan masuk. Selanjutnya, kami diantar Eliza Barka, yang menjadi opzichter (pengawas) makam OGS Menteng Pulo, berkeliling. Beberapa pekerja tampak sibuk merapikan rumput, mencabuti tanaman liar dan mengecat nisan dan lainnya. Para pekerja itu adalah orang-orang Indonesia.

Setelah melewati pintu gerbang bertulis ereveld (di sisi kiri) dan Menteng Pulo (di sisi kanan), jejeran nisan putih akan terlihat. Setelah pintu masuk, di sebelah kiri, arah utara, adalah nisan-nisan prajurit Hindia-Belanda yang beragama Islam. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang tergabung dalam Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Terdapat nama-nama Jawa atau Arab di sana. Kebanyakan mereka berpangkat soldaat atau prajurit rendahan. Karena masalah orang Indonesia yang menjadi prajurit Belanda begitu sensitif, maka Eliza berpesan, “Silakan mengambil foto, tapi nama-nama mereka tolong disamarkan.”

Ke utara lagi, terlihat tugu yang terdapat baling-baling. Di dekatnya adalah makam-makam dari prajurit penerbangan KNIL, Militaire Luchvart (ML). Di sisi timur terdapat makam-makam dari prajurit Angkatan Laut Belanda, Koninklijk Marine.

Di sebelah kanan dekat gerbang adalah prajurit Belanda yang kebanyakan beragama Kristen, baik dari KNIL maupun dari Angkatan Darat Belanda alias Koninklijk Landmacht (KL). Di sisi kanan ini ada juga makam prajurit Belanda yang beragama Yahudi maupun yang Tionghoa.

Untuk melihat apa agama dari orang yang disemayamkan di makam Belanda ini bisa dilihat dari patoknya. Jika bentuknya mirip kubah masjid, maka itu Islam. Jika salib, maka Kristen—salib polos untuk Protestan dan berhias untuk Katolik. Jika bintang segi enam, berarti Yahudi. Tentu saja, karena kacaunya perang, ada korban yang tak dikenali identitasnya. Di nisan ditulisi: Onbekend (tak dikenal).

Di sisi selatan jalan masuk, terdapat makam dari orang yang pangkatnya paling tinggi, Jenderal Simon Hendrik Spoor. Ia adalah panglima tertinggi Tentara Belanda di Indonesia dari 1946 hingga 1949. Menurut Jaap de Moor, dalam Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia (2015), berdasarkan Notula Dewan Sidang Menteri 23 Mei 1949, Spoor meninggal karena serangan jantung.

Tidak ada perbedaan antara makam Spoor dengan prajurit yang berpangkat jauh di bawahnya. Hanya berupa nisan berbentuk salib saja. Seperti kata Spoor, “mereka berada di sini tanpa [peduli] ras, agama, etnis, pangkat atau jabatan.”

Spoor adalah orang meletakkan batu pertama atas pembangunan makam ini pada 8 Desember 1947, tapi makam prajurit W. van Kammen sudah ada sana sejak 11 Februari 1947. Sepasang orang sipil juga sudah dimakamkan di sana pada 14 Desember 1946.

Rancangan makam ini dibuat oleh Letnan Kolonel van Oerle dari Divisi 7 Desember KL Belanda. Spoor pun akhirnya menghuni makam itu juga pada 29 Mei 1949.

Eliza memperlihatkan kepada kami ruangan dari Gereja Simultan yang dulunya sering dijadikan tempat upacara sebelum jenazah dimakamkan. Sekarang, gereja ini menganggur. Di dalam gereja terdapat salib kayu besar.

Salib yang dibuat dari bantalan rel kereta api itu dibuat untuk mengenang korban perang yang dipaksa Jepang membangun jalur kereta api di Burma. Di samping kanan gereja terdapat Colombarium (rumah abu) dari abu jenazah para prajurit Belanda yang tertata rapi. Di tengahnya terdapat kolam.

Infografik Yang tenang Di Ereveld

Tak lupa, Eliza mengajak kami ke sisi timur laut yang dibatasi pagar dengan makam-makam prajurit Inggris yang jadi korban perang. Kebetulan, saat itu (10 Maret 2017), pintu yang menghubungkan kuburan Belanda dan Inggris sedang terbuka.

Para pekerja di pemakaman yang dikelola Komisi Pemakaman Korban Perang Persemakmuran Inggris alias Commonwealth War Graves Cemetery (CWGC) itu juga sedang sibuk merawat tanaman. Meski kalah banyak jumlahnya dengan makam Belanda, makam Inggris-India ini tak kalah terawat.

Bentuk nisan makam Inggris ini berbeda dengan makam Belanda. Makam-makam ini tak berupa patok, melainkan marmer prasasti dengan posisi horizontal. Tentu saja ada nama, pangkat, tanggal kematiannya. Penanda agama tinggal dilihat dari tanda salib, bintang Daud, atau huruf arab di nisan.

Isi makam Inggris ini tak jauh beda dengan makam Belanda di sebelah. Ada personel Angkatan Laut dan Angkatan Darat Inggris di sana. Di antara personel Angkatan Darat ada juga yang beragama Islam. Mereka yang beragama Islam ini adalah prajurit yang direkrut Inggris di India atau Pakistan.

Beberapa personel dari Resimen Punjab juga bersemayam di sini. Makam-makam Inggris ini, seperti halnya makam Belanda, dihuni tubuh-tubuh prajurit yang pangkatnya beragam. Dari mulai prajurit rendah hingga perwira tinggi.

Nisan atas nama Brigadir AWS Mallaby tentu tak asing lagi bagi publik Indonesia yang mengikuti sejarah revolusi Indonesia. Inilah Mallaby yang gugur di Surabaya sebelum 10 November 1945 dan membikin pasukan Inggris di Surabaya terbakar amarah.

Baca juga artikel terkait HINDIA BELANDA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani