Menuju konten utama

Jembatan Merah Surabaya: Sejarah Singkat Perkembangan & Perannya

Berikut sejarah Jembatan Merah Surabaya dan perkembangannya sejak masa pemerintahan kolonial.

Jembatan Merah Surabaya: Sejarah Singkat Perkembangan & Perannya
Jembatan Merah Surabaya (antara tahun 1880-1900). wikimedia commons/Tropenmuseum.

tirto.id - Jembatan Merah merupakan simbol penting dan bersejarah di Kota Surabaya. Sebagaimana Tugu Pahlawan, jembatan yang melintas di atas sungai Kalimas itu menyimpan memori Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Jembatan Merah bahkan dapat dibilang sebagai salah satu petilasan yang menjadi "saksi" sejarah perkembangan Kota Surabaya sejak era kolonial.

Sarkawi B. Husain dalam Negara di Tengah Kota (2010), menyampaikan bahwa Jembatan Merah bukan hanya sekedar sarana penunjang transportasi bagi masyarakat di Surabaya. Sejak ratusan tahun lalu, jembatan paling terkenal di Surabaya ini sudah memainkan peran vital, meskipun sulit melacak bukti tentang bagaimana ia dibangun pertama kali.

Menurut Sarkawi, Jembatan Merah Surabaya adalah contoh bangunan yang sebelumnya telah lama berdiri, tetapi karena sebab-sebab khusus, menjadi simbol penting bagi penduduk kota. Di konteks Jembatan Merah Surabaya, penyebab khusus itu adalah pertempuran 10 November 1945.

Sejarah Jembatan Merah Surabaya: Vital sejak Era Kolonial

Jembatan Merah Surabaya membentang di atas Kali Mas yang saat ini menjadi penghubung Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun. Kawasan di sekitar Jembatan Merah kini masih menjadi salah satu pusat perniagaan yang ramai di Surabaya.

Di sekitar jembatan ini, sekarang juga masih berdiri banyak bangunan bersejarah. Tidak jauh dari Jembatan Merah, masih lestari pula kompleks Kota Tua di Surabaya.

Belum diketahui secara terang kapan Jembatan Merah di Surabaya pertama kali dibangun. Namun, kawasan di dekat jembatan ini telah menjadi nadi kota sejak masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) menduduki Surabaya.

VOC tercatat mulai resmi menguasai Surabaya pada 1743. Kongsi Perusahaan Dagang Belanda itu berkuasa setelah menerima hibah wilayah dari Raja Mataram Islam, Pakubuwono II.

Kembali menukil penjelasan di buku Sarkawi B. Husain (2010), Pakubuwono II menyerahkan hak kedaulatan penuh kepada VOC atas Madura Barat, Surabaya, Rembang, Jepara, serta Ujung Timur pada 1743. Konsesi itu sebagai imbalan atas bantuan VOC kepada sang raja dalam memadamkan pemberontakan di Kerajaan Mataram Islam.

Setelah menguasai Surabaya, VOC segera merintis pusat kota dengan sentuhan Eropa yang lantas dikelilingi tembok benteng di wilayah sekitar Jembatan Merah. Kawasan itu tidak jauh dari pesisir sehingga potensial menjadi jalur niaga.

Handinoto dalam Perkembangan dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870–1940 (1996), memaparkan, mulanya VOC mendirikan loji dan benteng di utara kota tua Surabaya, atau berarti tidak terlalu jauh dari kompleks kantor Gubernur Jawa Timur sekarang.

Pemukiman awal orang-orang Belanda semula berada di sekitar lokasi kompleks kantor Gubernur Jawa Timur sekarang, tapi kemudian berkembang ke arah utara hingga pada akhirnya terpusat di dekat Jembatan Merah Surabaya. Wilayah terakhir lalu berkembang menjadi pusat pemerintahan sekaligus niaga.

Informasi di atas terkonfirmasi oleh gambar peta Surabaya tahun 1787 yang termuat dalam buku karya Howard W. Dick, yakni Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History 1900-2000 (2003). Peta itu menunjukkan bangunan milik orang-orang Belanda berada di pinggiran barat Kali Mas dan tidak jauh dari lokasi Jembatan Merah saat ini.

Kompleks bangunan milik orang-orang Belanda masa VOC itu dikelilingi oleh kampung-kampung lama di Surabaya. Tidak jauh dari sana, tepatnya di kawasan yang terapit oleh aliran Kali Mas dan Sungai Pegirian, terdapat kampung seperti Peneleh dan Ampel. Di sisi timur Kali Mas, tidak jauh dari permukiman orang-orang Belanda, juga berdiri kompleks tempat tinggal warga etnis Cina.

Namun, peta Surabaya dari tahun 1787 itu tidak menunjukkan keberadaan jalur penghubung yang kini dinamakan Jembatan Merah. Ada jembatan di atas Kali Mas dekat tempat yang disebut alun-alun, atau sebelah selatan kompleks orang-orang Belanda, tetapi tidak dicantumkan namanya.

Sementara itu, Olivier Johannes Raap dalam Kota Di Djawa Tempo Doeloe (2017:223) menyebut, sejak masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels, atau tahun 1809, sudah ada jembatan kayu di lokasi Jembatan Merah berada saat ini.

Jembatan jungkit tersebut bisa diangkat pada saat ada perahu yang hilir-mudik dari dan ke muara Kali Mas melintas. Jembatan kayu itu sekaligus menghubungkan permukiman orang-orang Belanda di barat Kali Mas dengan pecinan di tepi timur.

Olivier Johannes Raap menambahkan data bahwa dalam Peta Surabaya tahun 1921, jembatan tadi telah dinamakan Roode Brug alias Jembatan Merah. Sekitar tahun 1880, jembatan tersebut diganti strukturnya dengan besi sehingga tidak lagi bisa dibuka-tutup.

Sejumlah foto yang kini menjadi koleksi digital Universitas Leiden menunjukkan kawasan tepi Kali Mas di sekitar Jembatan Merah ramai oleh perahu-perahu pedagang yang sedang bersandar. Salah satunya, foto tahun 1867 yang memperlihatkan banyak perahu terparkir di sekitar Jembatan Merah yang masih strukturnya masih dari kayu. Jembatan Merah kala itu berada di muka Kantor Residen.

Terkait penamaan Jembatan Merah, Moehkardi melalui Peran Surabaya dalam Revolusi Nasional 1945 (2020) menerangkan ada kemungkinan ia berhubungan dengan legenda pertarungan Buaya dan Ikan Sura di Kali Mas. Gelut dua hewan itu membuat air Kali Mas berwarna merah. Dari sana, jembatan yang melintasi Kali Mas disebut Jembatan Merah.

Namun, Moehkardi juga menyebut, G. H. Von Faber memiliki pendapat lain. Ahli sejarah keturunan Jerman-Belanda kelahiran Surabaya itu meyakini penamaan Jembatan Merah terkait dengan warna merah cat pagar pembatas jembatan tersebut.

Mengutip kembali karya Sarkawi B. Husein, pengembangan Surabaya secara pesat memang mulai terjadi pada era pemerintahan Daendels. Atas perintah Daendels, Surabaya dikembangkan menjadi pusat dagang dan kota benteng. Selain melengkapi Surabaya dengan pelbagai sarana infrastruktur, Daendels pun mendirikan pabrik senjata, asrama tentara, hingga rumah sakit militer di sana.

Pada tahun 1835, atau saat pemerintah Hindia-Belanda mulai menerapkan sistem tanam paksa di Jawa, Surabaya telah menjadi sentra utama pasukan militer rezim kolonial. Pada masa ini hingga puluhan tahun berikutnya, Jembatan Merah dan wilayah sekitarnya menjadi pusat aktivitas kota di bidang pemerintahan maupun perdagangan.

Sampai tahun 1925, Kantor Residen berada tepat di muka Jembatan Merah. Karena itu, sepanjang abad 19 sampai 20, Jembatan Merah menjadi tempat yang sangat ramai dengan hilir mudik orang yang melintas di jalur darat maupun sungai. Apalagi jembatan ini lama menghubungkan kawasan hunian orang-orang Eropa, Cina, Arab, dan Jawa di sekitar pusat kota lama Surabaya.

Sejak dekade awal Abad 20, kawasan sekitar Jembatan Merah memang semakin padat bangunan. Di sana, berdiri kantor pemerintahan, perbankan, hingga gedung Internatio. Tidak mengherankan, pada Oktober-November tahun 1945, kawasan ini menjadi salah satu titik konsentrasi bala tentara Sekutu.

Para pejuang kemerdekaan RI yang turun gelanggang saat menjelang dan selama pertempuran 10 November 1945 pun mengarahkan perhatian ke lokasi yang sama. Beberapa hari sebelum perang 10 November pecah, mereka mengepung tentara Sekutu yang bertahan di Gedung Internatio, tak jauh dari Jembatan Merah. Sebagian pejuang menjadikan kolong Jembatan Merah saat itu sebagai tempat berlindung.

Di dekat Gedung Internatio itulah, tepatnya pada 30 Oktober 1945, terjadi adu pelor sengit antara tentara Sekutu dan arek-arek Suroboyo. Baku tembak itu menewaskan satu petinggi militer sekutu yang disegani, yakni Brigadir Jenderal Mallaby. Tewasnya Mallaby menyulut murka militer Sekutu, yang mengirim 30-an ribu tentara Inggris-India, untuk memborbardir Surabaya pada 10 November 1945.

Hingga kini, Jembatan Merah Surabaya terus dikenang sebagai salah satu monumen penting yang menjadi saksi heroisme para pejuang kemerdekaan RI di pertempuran 10 November 1945.

Baca juga artikel terkait HARI PAHLAWAN atau tulisan lainnya dari Mohamad Ichsanudin Adnan

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Mohamad Ichsanudin Adnan
Penulis: Mohamad Ichsanudin Adnan
Editor: Addi M Idhom