Menuju konten utama
10 Agustus 1867

Jejak Stasiun Pertama di Indonesia

Semarang-Tanggung adalah permulaan jalur kereta api di Pulau Jawa untuk mengangkut hasil bumi yang memperkaya Kerajaan Belanda.

Jejak Stasiun Pertama di Indonesia
Header Mozaik Rel Pertama di Indonesia. tirto.id/Tino

tirto.id - Jauh sebelum kereta api pertama kali dibuat pada abad ke-19, Raja Kediri, Jayabaya, sudah meramalkan: Jawa akan berkalung besi. Pada abad ke-20, apa yang dikatakan Jayabaya dan dipercaya masyarakat Jawa itu benar-benar terjadi.

Jaringan kereta api di Pulau Jawa sangat pesat. Hampir di setiap sudut pulau ini, dari ujung barat hingga timur terhubung oleh rel kereta api. "Kalung besi" itu selain untuk membantu mobilisasi massa, juga untuk mengisap sebanyak-banyaknya hasil bumi.

Panjang keseluruhan rel kereta api di Jawa, menurut Th. M. B. Van Marle dalam "De Ontwikkeling van de Spoor-en Tramwegen in Nederlandsch-Indie" (1914), mencapai 4.486 kilometer. Tulisan yang terdapat dalam laporan gelaran Koloniale Tentoonstelling yang mengulas tentang sejarah perkeretaapian di Hindia Belanda serta capaian-capaian 18 perusahaan operator kerata api—baik milik negara maupun pertikelir—di Pulau Jawa, Madura dan Sumatra.

Sejarah kereta api di Indonesia bermula di Semarang, kota pelabuhan di Jawa Tengah yang kerap dilimpahi hasil bumi dari sejumlah daerah di sekitarnya. Sebelum hasil bumi itu dikapalkan, ongkos angkut dari kebun ke pelabuhan, setidaknya lebih dari 1 gulden. Ongkos angkut itu tak jarang membengkak.

Pernah kejadian ongkos angkut dari Kedu ke Semarang meningkat dari 1.50 gulden per pikul pada 1835 menjadi 3.30 gulden per pikul pada 1840. Ongkos itu terlalu tinggi dan tidak ada jaminan barang sampai tepat waktu. Tak heran jika kapal-kapal harus menanti tiga sampai lima bulan hingga muatan penuh dan siap untuk diperdagangkan.

Sekitar tahun 1860, kebutuhan akan moda angkut yang lebih baik sangat mendesak, apalagi di Vorstenlanden (wilayah kerajaan) terjadi peningkatan besar-besaran komoditas perkebunan, terutama gula. Di tahun yang sama, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pun mengirim Insinyur Stieltjes untuk menyelidiki kemungkinan dibangunnya jaringan kereta api di Pulau Jawa.

Pada tahun 1862 sebuah konsesi diberikan Pemerintah Kolonial kepada Nederlandsche Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Perusahaan partikelir itu diizinkan untuk membangun rel kereta api dari Semarang ke Solo dan Yogya, dengan percabangan ke arah Ambarawa—demi mobilitas militer. NIS juga beroleh konsesi membangun jalur kereta api dari Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (kini Bogor).

Dengan berbagai masalahnya, termasuk gempa bumi hingga biaya membengkak, pada 10 Agustus 1867, tepat hari ini 155 tahun silam, NIS meresmikan layananan kereta api pertamanya dari Semarang menuju Tanggung, sebuah desa yang kini masuk wilayah Kabupaten Grobogan.

Jalur yang membentang sejauh 25 kilometer ini memiliki beberapa pemberhentian, antara lain Stasiun Alas Tuwa dan Stasiun Brumbung. Jalur itu adalah tonggak awal sejarah perkeretaapian Indonesia.

Stasiun Pertama

Mengacu pada buku bertajuk Sejarah Perkeretaapian Indonesia (1997) yang disusun Tim Telaga Bakti Nusantara, stasiun pertama di Semarang adalah Kemidjen (Kemijen). Museum Transportasi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) bahkan memajang papan nama Kemidjen untuk mengabadikannya. Tahun 2008, hasil riset para pelestari perkeretaapian Indonesia yang tergabung dalam Indonesian Railways Preservation Society (IRPS) punya pendapat lain.

“Keraguan kami didasarkan pada tiga hal, yang pertama bagaimana mungkin stasiun pertama yang begitu penting diberi nama sebuah desa (Kemijen), lalu melihat pada foto yang ditampilkan di buku tersebut, bangunannya tidak nampak seperti bangunan stasiun, melainkan lebih mirip rumah sinyal dan yang terakhir bukankah perusahaan NIS yang membangun jalur KA pertama itu? Namun foto yang ditampilkan itu adalah bangunan di jalur milik Semarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS), bukan NIS,” ujar Ir. Tjahjono Rahardjo, akademisi Universitas Soegijapranata dan salah satu pegiat di IRPS Semarang yang ikut merekonstruksi jejak stasiun pertama di Indonesia.

Infografik Mozaik Rel Pertama di Indonesia

Infografik Mozaik Rel Pertama di Indonesia. tirto.id/Tino

Bersama dua rekan IRPS Semarang—Karyadi Baskoro dan Dede Herlambang—juga bantuan analisa peta-peta kuno dari seorang kawan dari Jerman, Stevan Mattheus, Tjahjono akhirnya berhasil menemukan kembali koordinat GPS dari Stasiun Semarang.

Tjahjono sebetulnya tidak menyangka akan menemukan sisa bangunan stasiun yang menurut sejarah telah dibongkar pada tahun 1914 untuk kemudian dibangun stasiun baru yang lebih dekat dengan kawasan kota, yang kini dikenal sebagai Stasiun Semarang Tawang.

“Di sana kami bertemu dengan Pak Ramlan dan Pak Masno Hadi, keduanya merupakan eks masinis PT. Kereta Api Indonesia (KAI), dan menunjukkan sisa-sisa bangunan dari stasiun pertama di Indonesia itu, beliau tentunya paham betul karena masih mengoperasikan rangkaian kereta menuju ke pelabuhan saat jalur masih aktif”, tambah Tjahjono yang juga merupakan bagian dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Semarang.

Situsnya kini telah dipetak-petak menjadi rumah dan tenggelam sedikitnya tiga meter karena parahnya penurunan tanah di kawasan utara Kota Semarang. Ditilik dari Konsol-konsol tembaga, bentuk ventilasi, dan kusen-kusen yang tersisa sama persis dengan arsip foto-foto kuno stasiun. Hal tersebut menguatkan bahwa bangunan inilah Stasiun Samarang milik NIS, stasiun kereta api pertama di Indonesia.

Jika Stasiun Semarang NIS kondisinya hampir sulit dikenali sebagai stasiun kereta api, maka Stasiun Tanggung sebaliknya. Stasiun kereta api yang terletak di Desa Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan ini masih aktif. Masih menjadi pengatur arus lalu lintas kereta api—baik arah Solo maupun arah Jawa Timur.

Tak heran jika stasiun masih ada. Bangunan Stasiun Tanggung yang tersisa kini adalah hasil rombakan tahun 1910. Bukan lagi bangunan yang dibuat sejak 1867, ketika jalur kereta api Semarang-Tanggung diresmikan.

Stasiun yang terletak di ketinggian 20 meter di atas permukaan laut ini, hanya sebagai stasiun pengatur lalu lintas kereta api dan bukan untuk naik-turun penumpang. Di timur stasiun, berdiri tugu dengan dekorasi roda kereta api bersayap, yang merupakan lambang dari NIS sebagai penanda dari tonggak awal dunia perkeretaapian Indonesia.

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 10 Agustus 2017. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait KERETA API atau tulisan lainnya dari Muhammad Yogi Fajri

tirto.id - Teknologi
Penulis: Muhammad Yogi Fajri
Editor: Petrik Matanasi & Irfan Teguh Pribadi