Menuju konten utama

Jejak Sepatu Lars di Rimbun Beringin

Dengan pengangkatan Moeldoko sebagai KSP dan Lodewijk di kursi Sekjen Golkar, 2018 akan dikenang sebagai tahun emas Akmil angkatan 1981.

Jejak Sepatu Lars di Rimbun Beringin
Avatar Aris Santoso. tirto.id/Sabit

tirto.id - Letjen TNI (Purn) Lodewijk F Paulus (Akmil 1981) baru saja ditetapkan sebagai Sekjen Golkar. Dalam sejarah partai beringin, dua kali posisi ini ditempati jenderal. Sebelumnya ada nama Letjen TNI (Purn) Soemarsono (Akmil 1972) di masa kepemimpinan Akbar Tanjung (2004-2008). Wajar bila Golkar sulit melepaskan diri dari bayang-bayang figur militer, mengingat Golkar sendiri lahir dari gagasan Jenderal AH Nasution, yang kemudian dilanjutkan oleh penggantinya (selaku KSAD), Jenderal A Yani.

Nasution sebenarnya sempat membentuk dua partai. Selain Golkar, ada IPKI yang dibentuk Nasution selama “jeda” selaku KSAD (1953-1955). Kini kita mengenal IPKI dalam inkarnasinya: PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia).

Meski sama-sama berasal dari gagasan Nasution, nasib kedua partai itu beda jauh. Partai Golkar masih berjaya, sementara PKPI tidak menentu nasibnya dan sekadar menjadi arena perebutan antara dua jenderal “sepuh”, yakni Letjen TNI (Purn) Hendro Priyono (Akmil 1967) dan Mayjen TNI (Purn) Haris Sudarno (Akmil 1965). Beda nasib antara Golkar dan PKPI hari ini seolah memberi gambaran bahwa keterlibatan militer dalam politik tak senantiasa berjalan mulus.

Dari Amir Murtono ke Lodewijk

Keterlibatan tentara dalam Golkar di masa Orde Baru membuka tabir siapa sebenarnya Angkatan 1945. Selama ini ada mitos bahwa militer (khususnya) generasi 1945 adalah penyelamat bangsa yang posisinya sakral. Dengan melibatkan diri dalam Golkar, militer generasi 1945 ternyata sama saja dengan entitas lainnya yang juga terpesona pada kekuasaan.

Di masa-masa awal konsolidasi Golkar—yang berarti juga konsolidasi Orde Baru—wacana politik diramaikan dengan nama-nama jenderal seperti Amir Murtono, Soehardiman (Soksi), Soegandhi (MKGR), Mas Isman (Kosgoro), yang sebelumnya jarang kita dengar, kecuali nama Ali Moertopo. Jenderal ini saling bersaing untuk menguasai Golkar. Faksi yang paling siap, tidak bisa tidak, adalah faksi Ali Moertopo, mengingat ia memiliki organisasi intelijen (bayangan) yang dikenal sebagai Opsus (Operasi Khusus).

Nama-nama jenderal tersebut secara perlahan menggantikan posisi yang sebelumnya lebih akrab di telinga publik, seperti Ibrahim Ajie (Pangdam Siliwangi), HR Dharsono (Pangdam Siliwangi) dan AH Nasution (mantan KSAD dan Ketua MPRS). Naiknya Amir Murtono sendiri sebagai Ketua Umum Golkar (1973-1983) ibarat dongeng; kita tidak pernah dengar di mana dia dulu berkiprah, tetapi tiba-tiba saja ia memperoleh panggung terhormat hanya bermodalkan kesetiaan tanpa batas pada Soeharto.

Sementara Lodewijk adalah figur yang berbeda, bukan saja karena soal kebaruannya, tetapi juga disebabkan oleh rekam jejaknya yang sangat meyakinkan. Setidaknya ada dua jabatan Lodewijk yang bisa menjelaskan kinerjanya, yakni pada posisi sebagai Komandan Satgultor 81 (d/h Detasemen 81 atau Grup 5/Antiteror) Kopassus, serta Komandan Jenderal Kopassus. Ini yang menjadikan figur Lodewijk lebih kuat dibanding figur militer lain dalam Golkar, bahkan dari Letjen (Purn) Soemarsono (Akmil 1972) sekalipun, yang meski pernah menjabat Wakil KSAD namun namanya relatif kurang dikenal.

Konsolidasi Akmil 1981

Mungkin Januari 2018 akan jadi masa yang tak terlupakan bagi sebagian generasi Akmil 1981, mengingat dua lulusannya, yakni Moeldoko dan Lodewijk, memperoleh posisi strategis di palagan yang baru. Dari sekian generasi yang pernah lahir dari Akmil Magelang, capaian generasi lulusan tahun 1981 terbilang tinggi, salah satunya ditunjukkan dengan karier cemerlang Moeldoko dan Lodewijk. Moeldoko sempat menjadi KSAD dan Panglima TNI, sementara Lodewijk secara kompetensi, sebenarnya layak juga sebagai KSAD, hanya saja kurang beruntung.

Sekadar perbandingan, capaian lulusan Akmil 1981 dalam karier militer bisa disejajarkan dengan Akmil 1965. Generasi terakhir ini terbilang istimewa, baik dalam jumlah lulusan (sekitar 400 orang), maupun jumlah lulusan yang mencapai strata pati. Puncak angkatan alumnus 1965 terjadi sekitar pertengahan dekade 1990an, ketika sejumlah alumnusnya menjabat panglima pada delapan kodam (dari 10 Kodam yang ada saat itu) dalam waktu bersamaan. Sebuah capaian yang sulit diulang kembali oleh generasi berikutnya. Saat itu hanya dua posisi pangdam yang tidak diduduki angkatan 1965, yakni Pangdam Jaya (Mayjen Hendro Priyono, Akmil 1967) dan Pangdam I/BB (Mayjen Albertus Pranowo, Akmil 1963).

Namun sampai di penghujung karier mereka, sayangnya lulusan Akmil 1965 tidak menggapai posisi KSAD (atau Panglima TNI). Rupanya waktu kurang berpihak pada mereka. Adalah wajar bila ada generasi yang tidak sempat mencapai KSAD, karena tak setiap tahun posisi KSAD berganti, sementara Akmil setiap tahun selalu mencetak perwira remaja. Misalnya generasi mantan Sekjen Golkar Letjen Soemarsono (yakni Akmil 1972). Namun begitu, generasi ini sampai sekarang masih eksis, melalui figur Mayjen TNI (Purn) Tb Hasanuddin, yang akan maju sebagai Cagub dalam Pilkada Jabar 2018.

Dari sekian banyak generasi, Akmil 1981 bisa disebut yang paling siap merespons perkembangan politik mutakhir di Tanah Air, khususnya terkait agenda politik tahun 2019. Lulusan mereka membentuk diaspora: ada yang duduk di pemerintahan (Moeldoko), Partai Golkar (Lodewijk dan Andogo Wiradi), Partai Nasdem (Winston Simanjuntak), dan seterusnya.

Pada saatnya nanti, dengan supervisi senior mereka, yakni Letjen Purn Luhut B Pandjaitan (lulusan terbaik Akmil 1970), angkatan ini segera melakukan konsolidasi menjelang tahun krusial (2019). Mereka adalah leading sector di antara generasi Akmil lainnya.

Luhut Menanam Jokowi Mengetam

Naiknya Lodewijk sebagai Sekjen Golkar tak lepas dari sentuhan Luhut Pandjaitan, selaku king maker rezim Jokowi hari ini. Interaksi antara Luhut dengan “anak didiknya” dari Akmil 1981, yang kebetulan sama-sama berasal dari Kopassus, seperti Lodewijk dan Andogo Wiradi, boleh disebut unik dan berliku.

Saya akan menjelaskannya secara ringkas. Kita ambil saja pengalaman Andogo. Pada pertengahan tahun 1990-an, Andogo dipindahkan dari Kopassus ke Kostrad sebagai Komandan Yonif 328/Kujang II, satuan legendaris yang sebelumnya pernah dipimpin Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto, pada periode 1987-1989. Sehingga pada masa-masa sesudahnya, Prabowo memiliki privilese untuk memilih calon Danyon 328, dan salah satu yang terpilih adalah (dengan pangkat saat itu) Mayor Inf Andogo Wiradi (1995-1996).

Kalimat terakhir ini ingin menggambarkan bagaimana dekatnya hubungan antara Prabowo dan Andogo, bukan saja dalam rangka kedinasan, namun (khususnya) secara personal. Fenomena ini bisa dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi sekitar 20 tahun kemudian, ketika Andogo diangkat sebagai salah satu Deputi di KSP, yang waktu itu masih dijabat Luhut Pandjaitan. Andogo yang dikenal sangat dekat dengan Prabowo kemudian menjadi bawahan Luhut.

Kembali saya ringkaskan penjelasannya. Andogo diangkat atas rekomendasi Jokowi, yang baru saja dilantik sebagai Presiden. Ketika Jokowi masih menjabat Walikota Solo, Andogo sempat menjadi Danrem setempat, sehingga hubungan personal keduanya terjalin. Namun selepas itu, posisi Andogo sendiri menjadi strategis, karena dia bisa menjadi “jangkar” bagi tiga figur terkemuka di negeri ini: Presiden Jokowi, Luhut Pandjaitan dan Prabowo.

Narasi ini juga bisa menjelaskan dinamika hubungan antara Lodewijk dan Luhut. Faktanya, Lodewijk pun diketahui sangat dekat dengan Prabowo ketika masih sama-sama berdinas di Kopassus. Sejak awal Lodewijk memang sudah disiapkan untuk bergabung dalam Detasemen 81, satuan antiteror Kopassus yang waktu itu sedang dirintis oleh Luhut dan Prabowo. Penjelasan seperti ini juga berlaku pada perwira Kopassus lain dari Akmil 1981 seperti Winston Simanjuntak.

Kini kita pun paham mengapa Lodewijk—kemudian disusul Andogo—bergabung ke Golkar melalui jalan yang sudah disediakan oleh Luhut.

Segala ikhtiar Luhut bisa dibaca sebagai upaya menyediakan SDM terbaik bila kelak Jokowi berkuasa kembali. Sehebat apapun seseorang, tentu dia tidak bisa menghindar dari kendala waktu. Luhut (juga Hendro Priyono) sadar akan hal itu. Secara alamiah mereka akan menua dan stamina pun makin terbatas. Sudah tersedia ruang yang terhormat bagi keduanya, yakni masuk tahapan “lengser keprabon”, proses ritual yang dulu dipopulerkan oleh (mantan) Presiden Soeharto.

Pada periode kedua pemerintahan Jokowi, Luhut dan Hendro Priyono akan diposisikan sebagai Bapak Bangsa, sehingga tidak perlu sering-sering turun ke lapangan. Generasi penerus yang memang sudah mereka “tanam” sebelumnya akan siap menerima tongkat estafet kepemimpinan. Termasuk Hendro Priyono misalnya, yang kini semakin tenang, sehubungan karier cemerlang menantunya (Letjen TNI Andika Perkasa, Akmil 1987) yang sedang menunggu waktu dilantik sebagai KSAD.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.