Menuju konten utama

Jejak Satgasus Merah Putih Membungkam Aktivis Demokrasi

Anggota Satgasus Merah Putih yang baru dibubarkan Polri setelah kasus Sambo mencuat, diduga terlibat dalam perkara sejumlah aktivis.

Jejak Satgasus Merah Putih Membungkam Aktivis Demokrasi
Header Indepth Satgasus yang Banyak Kasus. tirto.id/Ecun

tirto.id - Ketukan di pintu rumah membangunkan Fatia Maulidiyanti yang masih terlelap di kamarnya di satu pagi pertengahan Januari 2022 lalu. Fatia lantas bangun dan menuju pintu.

“Gua kira itu satpam rumah yang mau minta uang bulanan,” kata koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu awal September lalu.

Saat Fatia membuka pintu, sudah ada lima orang yang berdiri menunggu di depan. “Mbak Fatia kami dari Polda. Kami mau jemput paksa”, kata Fatia mengulang ucapan petugas yang menunggunya.

Saat hendak dijemput petugas, Fatia menolak. Ia memilih pergi sendiri mendatangi Polda Metro Jaya pada siang harinya. Fatia diperiksa sampai malam.

Saat menceritakan pengalamannya tersebut, Fatia mengaku kaget saat dijemput polisi. “Kena juga gue,” katanya.

Inilah pengalaman pertamanya dijemput polisi setelah bertahun-tahun bekerja sebagai aktivis yang mengadvokasi orang hilang dan korban tindak kekerasan.

Satu momen di pertengahan 2021 lalu yang menjadi titik awal persinggungan Fatia dengan kasus hukum. Ia muncul dalam sebuah video podcast di kanal Youtube aktivis Haris Azhar. Di situ ia dan Haris membahas temuan riset koalisi organisasi masyarakat sipil mengenai dugaan keterkaitan militer dan tambang di Papua. Nama sejumlah jenderal aktif dan purnawirawan, termasuk Menteri Koordinator Maritim Investasi Luhut Binsar Panjaitan disebut terkait dalam proyek tambang di Papua tersebut.

Beberapa pekan kemudian, masuk laporan Luhut ke polisi terkait video tersebut dengan tuduhan pencemaran nama baik oleh Fatia dan Haris. Dari sinilah kasus Fatia-Haris melawan Luhut bergulir.

Akhir 2021, Polda Metro Jaya mengeluarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan bernomor B/21795/XII/RES.2.5./2021/Ditreskrimsus tertanggal 17 Desember 2021, yang ditandatangani Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Auliansyah Lubis.

Sementara Haris dipanggil oleh pihak Polda Metro Jaya untuk klarifikasi, melalui surat bernomor S.pgl/4793/XII/RES.2.5./2021/Ditreskrimsus yang ditandatangani Komisaris Polisi (Kompol) Rovan Richard Mahenu.

Maret 2022, polisi mengumumkan status mereka sebagai tersangka. "Konten (YouTube) itu kan jadi alat bukti bagi penyidik. Pertama, betul enggak konten itu milik dia. Kedua, betul enggak pembuatan konten itu ada pelanggaran terkait UU ITE atau pencemaran nama baik. Itu tentunya yang digali penyidik dan digunakan penyidik dalam penetapan tersangka," tutur Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Zulpan, seperti diberitakan CNNIndonesia.

FerdySambo dan Satgasus Merah Putih

Kira-kira lima bulan setelah penetapan Fatia-Haris sebagai tersangka, sebuah kasus menggemparkan terjadi di lingkungan kepolisian.

Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat tewas dibunuh di rumah dinas Ferdy Sambo, perwira tinggi yang hingga Agustus 2022 menjabat sebagai kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Yosua merupakan salah seorang ajudan Sambo.

Kabar awal yang mencuat adalah Yosua tewas dalam adu tembak dengan ajudan lain sang jenderal, Brigadir Bhayangkara Dua Richard Eliezer. Adu tembak ini diklaim sebagai aksi Richard membela istri Sambo, Putri Candrawati yang disebut menjadi korban pelecehan oleh Yosua. Berita pembunuhan dan isu soal pelecehan seksual pun bergulir.

Meski begitu, penelusuran kepolisian pun menunjukkan ada upaya penghalangan dan rekayasa dalam penanganan kasus pembunuhan Yosua. Puluhan personel polisi diduga terlibat dalam upaya rekayasa dan menghalangi penyidikan.

Setelah penelusuran dan proses sidang etik, Sambo dan sejumlah perwira lain dipecat. Sementara setidaknya belasan personel sempat dikurung di Mako Brimob dan juga Propam Polri lantaran dianggap melanggar kode etik dalam penanganan kasus pembunuhan Yosua.

Pengungkapan keterlibatan personel-personel lain inilah yang membuka tabir keberadaan satuan tugas khusus (satgasus) non struktural dalam tubuh kepolisian.

Tim yang berisi perwira tinggi dan menengah ini diberi nama Satgasus Merah Putih. Menilik salinan surat perintah bernomor Sprin/1583/VII/HUK.6.6/2022 yang ditandatangani Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Sambo mendapat penugasan sebagai kepala tim ini. Surat yang sama menunjukkan Yosua dan Richard juga bagian dari satgasus.

Sejumlah personel Polri yang terseret kasus pembunuhan Yosua diketahui juga merupakan anggota satgas tersebut. Di deretan nama yang dipecat ada Kompol Baiquni Wibowo, Kompol Chuk Putranto, AKBP Jerry Siagian, AKBP Arif Rachman Arifin, dan AKP Irfan Widyanto.

Selain itu ada juga nama-nama anggota satgasus lain yang tersangkut kasus pembunuhan tersebut, seperti Kombes Pol Hengki Haryadi, Kombes Pol Budi Herdi Susianto, AKBP Handik Zusen, AKBP Ari Cahya Nugraha, Kompol Raindra Ramadhan Syah, Kompol Abdul Rahim, Bharada Sadam, dan Bripka Ricky Rizal.

Riwayat pembentukan tim ini dimulai sejak 2019 kala Polri dipimpin oleh Jenderal (Purnawirawan) Tito Karnavian, yang kini menjabat Menteri Dalam Negeri. Lewat surat perintah bernomor Sprin/681/III/HUK.6.6./2019, Polri menjaring lebih dari 200 personel polisi baik dari Mabes dan sejumlah Polda untuk tim ini.

Pembentukannya untuk pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus di bidang narkotika, tindak pidana korupsi, pencucian uang, serta informasi dan teknologi elektronik.

Sebelum diresmikan, tim ini sebetulnya mendapat kritik. Anggota DPR dari fraksi PDI-P Herman Hery pada 2017 lalu menyebut bahwa tim ini akan membawa kesan eksklusifitas dalam tubuh Polri. “Itu tidak baik, karena bisa menimbulkan kecemburuan di kalangan Polri sendiri. Terkesan orang-orang dalam satgas diistimewakan. Dengan kata lain, satgas bukan bagian dari Polri," ujar anggota Komisi III DPR RI Herman Hery, seperti dikutip dari situs DPR.

Tim ini berlanjut kala Kapolri Jenderal (Purnawirawan) Idham Azis menandatangani surat perintah nomor Sprin/1246/V/HUK.6.6./2020. Di situ tercatat setidaknya lebih dari 300 personel tergabung dalam tim.

Satgas ini sebenarnya punya prestasi. Salah satunya adalah penangkapan 11 orang terkait jaringan peredaran narkoba internasional pada Desember 2020 lalu. Kala itu tim ini mengamankan ratusan kilogram sabu.

Di momen lain tim ini juga sempat melakukan razia di Lembaga Pemasyarakatan Banceuy, Kota Bandung, Jawa Barat. Di situ, tim menemukan barang-barang yang tak seharusnya berada di dalam sel seperti ponsel, rokok elektrik, juga kompor listrik.

Seorang sumber di lingkungan Mabes Polri mengatakan Satgasus ini sedianya dibentuk guna menyederhanakan alur birokrasi dan administrasi dalam penanganan masalah keamanan dan ketertiban masyarakat.

Selain itu, tim ini juga dibentuk demi mencairkan suasana di tengah warga yang sempat terpecah sejak Pilkada DKI 2017. Kala itu, polarisasi yang terjadi antara pendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Anies Baswedan.

Meski begitu, sumber tersebut mengatakan seiring berjalannya waktu tim tersebut justru melenceng dari niat pembentukannya .”Karena tidak ada pengawasan (pada Satgassus), akibatnya rentan terjadi penyalahgunaan,” kata sumber tersebut.

Setelah kasus Sambo terkuak, Polri membubarkan satuan ini. "Untuk efektivitas kinerja organisasi maka lebih diutamakan atau lebih diberdayakan satuan kerja yang menangani berbagai macam kasus permasalahan sesuai dengan tupoksinya masing-masing," kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, Kamis (11/8/2022).

Infografik Indepth Satgasus yang Banyak Kasus

Infografik Indepth Satgasus yang Banyak Kasus. tirto.id/Ecun

Nama Anggota Satgasus dalam Kasus-kasus Aktivis

Meski Satgasus Merah Putih sudah dibubarkan, terdapat sejumlah temuan dugaan andil anggota tim tersebut dalam kasus-kasus yang menyangkut sejumlah aktivis. Misalnya, nama petugas seperti Rovan dan Auliansyah yang tertera dalam surat-surat yang diterbitkan kepolisian dalam kaitannya kasus Fatia-Haris diketahui juga bagian dari Satgasus Merah Putih.

Tim kolaborasi Tirto.id, Project Multatuli, Jawa Pos, dan Deduktif pun mencoba mengecek kasus-kasus di kepolisian yang menyeret aktivis lainnnya. Tim kolaborasi menelusuri nama-nama personel yang tercatat dalam tiga surat perintah pengangkatan anggota Satgasus dan dugaan keterkaitannya dengan kasus yang menimpa para aktivis yang pernah berurusan dengan polisi.

Penelusuran juga dilakukan melalui sejumlah dokumen kepolisian, seperti surat perintah dimulainya penyidikan, surat penangkapan, dan juga surat pemanggilan yang dimiliki para aktivis dan kuasa hukumnya. Dari situ, tim kolaborasi mencocokan nama-nama petugas Satgasus yang menandatangani atau tercatat dalam surat-surat tersebut.

Rovan misalnya tercatat menandatangani Surat Panggilan bernomor S.pgl/4793/XII/RES.2.5./Ditreskrimsus untuk Haris. Namanya juga tercatat dalam surat tertanggal 17 November 2021, nomor B/10959//XI/RES.2.5./2021/Ditreskrimsus, perihal permintaan klarifikasi saksi kepada Haris. Nama lain anggota satgasus yang juga tercatat dalam surat tersebut adalah Welman Feri dan Sigit Santoso, yang bertugas sebagai penyidik.

Rovan yang kini menjabat Kepala Sub Direktorat (Subdit) Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya ini diketahui tercatat dalam tiga surat perintah pembentukan Satgasus. Pada surat perintah 2019, Rovan yang kala itu masih berpangkat ajun komisaris polisi (AKP) bertugas sebagai Kepala Sub Direktorat Reserse Mobil Polda Metro Jaya dan bertugas sebagai sumber daya aparatur (SDA) Tim LIDIK I Satgasus.

Namanya kembali muncul pada surat perintah 2020, di mana ia sudah menjabat sebagai komisaris polisi, di Tim SIDIK III.

Nama Rovan kemudian muncul lagi pada surat perintah tahun 2022 Di situ ia tercatat sebagai bagian dari Tim SIDIK III, yang dipimpin oleh Komisaris Besar Polisi Auliansyah Lubis.

Sementara Welman pada surat perintah 2020 merupakan SDA TIM SIDIK III dan Sigit tercatat sebagai SDA TIM SIDIK III, pada surat perintah 2022.

Sementara itu, Auliansyah Lubis tercatat menandatangani surat bernomor B/21795//XII/RES.2.5./2021/Ditreskrimsus perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan. Surat ditembuskan juga kepada Fatia yang ikut dilaporkan bersama Haris oleh Luhut.

Seperti Rovan, nama Auliansyah juga muncul dalam tiga surat perintah pembentukan satgasus. Pada surat perintah 2019, petugas yang dikenal mengurus kasus-kasus pinjaman online ilegal ini tercatat sebagai SDA Petunjuk Operasional Kegiatan Analisa dan Evaluasi (POK ANEV). Sementara itu, pada surat perintah 2020, Auliansyah yang kala itu menjabat kepala Polisi Resor Kota Semarang tercatat bagian dari SDA tim asistensi wilayah. Adapun pada surat perintah 2022, Auliansyah yang kembali ke Polda Metro Jaya menjabat sebagai Kasubsatgas SIDIK III.

Selain itu, ada juga nama Iskandarsyah yang mewakili Sub Direktorat Tindak Pidana Siber Polda Metro Jaya yang menandatangani surat pemanggilan bernomor Spgl/2593/VIII/RES.2.5./2022/Ditreskrimsus untuk Prasetyo, yang merupakan saksi untuk Haris Azhar. Iskandarsyah juga merupakan salah satu anggota Satgasus, di mana berdasar surat perintah 2022, ia menjadi bagian anggota Tim LIDIK II.3.

Melalui penelusuran lebih lanjut, nama-nama personel satgasus lain juga tercatat dalam kasus-kasus yang menyangkut aktivis lainnya. Misalnya penangkapan aktivis dan peneliti Ravio Patra yang terjadi pada April 2020. Ravio kala itu ditangkap setelah sempat kehilangan akses menuju aplikasi WhatsApp pribadinya. Belakangan, menurut Ravio, saat hal tersebut terjadi, WhatsApp pribadinya sempat menyebar isu ajakan untuk membuat rusuh.

Hal tersebut yang menurut kepolisian yang menjadi dasar penangkapan Ravio.

Saat ditangkap, Ravio mengaku tak ditunjukkan surat perintah penangkapan. Ia pun tidak mengetahui statusnya ketika dibawa polisi. “Gue enggak pernah dikasih lihat id mereka bahwa mereka polisi, enggak pernah dikasih lihat surat tugas, gue enggak pernah lihat surat perintah penangkapan, gue enggak pernah melihat dokumentasi apapun,” kata Ravio

Ravio sempat diperiksa di Subdit Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Polda Metro Jaya. Tanda tanya kembali muncul di benaknya alasan ia diperiksa di divisi tersebut. “Gue masuknya unit violent crime unit kan, gue violent crime ngapain? (Violent crime) kan kayak pengeroyokan, tawuran, pemukulan,” kata Ravio.

Di situ ia diperiksa dengan sejumlah pertanyaan seputar pribadi dan pekerjaannya. Kala itu Sub Direktorat Jatanras dipimpin oleh Jerry Siagian.

Polisi pun sempat membawa Ravio kembali ke kosannya untuk penggeledahan lebih lanjut. Selang beberapa lama, Ravio diangkut dan diperiksa kembali. Namun, bukan lagi di Sub Direktorat Jatanras, melainkan di Sub Direktorat Keamanan Negara (Kamneg), yang saat itu dipimpin Raindra Ramadhan Syah. Raindra dikenal sebagai salah satu petugas yang berkonflik dengan FPI kala hendak menjemput pemimpin mereka, Rizieq Shihab 2020 lalu.

Baik Jerry dan Raindra sejak 2019 tercatat bagian dari Satgasus. Sementara Jerry dipecat oleh kepolisian lantaran terlibat dalam rekayasa penanganan kasus pembunuhan Yosua. Adapun Raindra sempat ditahan lantaran dugaan keterlibatannya dalam pusaran kasus Sambo.

Selain itu, AKP Akhmad Fadilah selaku penyidik yang kala itu bertugas di Subdit Kamneg menandatangani surat pengembalian barang bukti milik Ravio. Pada surat perintah 2019, Akhmad yang kala itu berpangkat AKP merupakan bagian dari SDA Tim Sidik II-1. Pada surat perintah 2020, Akhmad masih menjadi SDA pada Tim Sidik II-1.

Akhmad dikenal sebagai salah satu anggota satuan tugas khusus untuk mengungkap kasus penyiraman air keras ke eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan.

Sementara itu, ada nama Hengki Haryadi pada Surat Jawaban Termohon sebagai tanggapan kepolisian terhadap pengajuan pra peradilan yang dilayangkan Ravio ke Pengadilan Jakarta Selatan. Hengki ikut menandatangani surat tersebut selaku kuasa hukum termohon, yakni Polda Metro Jaya.

Pada surat perintah 2019, Hengki tercatat menjabat Kasubsatgas Sidik IV. Sementara pada surat perintah 2020, ia menjabat sebagai anggota Tim Medsos dan Perbankan. Adapun pada surat perintah 2022, Hengki menjabat Kasubsatgas SIDIK II

Hengki yang sempat menjabat direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya ini diketahui juga sempat diperiksa Inspektorat Khusus Mabes Polri akibat dugaan keterlibatannya dalam kasus pembunuhan Yosua.

Jejak anggota satgasus pun terlacak juga pada 2019 kala jurnalis dan aktivis Dandhy Dwi Laksono ditangkap pada 26 April 2019.

Penangkapan Dandhy didasari laporan seseorang kepada polisi terkait unggahan pendiri rumah produksi Watchdoc itu di Twitter. Sebelum ditangkap, Dandhy sempat membuat sebuah utas di Twitter terkait kondisi di Papua yang kala itu dilanda demonstrasi besar-besaran akibat kasus rasialisme.

Dandhy mencuitkan tulisan dan foto kondisi di Jayapura dan Wamena yang menggambarkan kondisi protes terkait isu rasialisme. Akibat cuitan itu, Dandhy dituduh menyebarkan pernyataan yang menyinggung SARA dan kebencian.

Polisi pun menetapkan Dandhy sebagai tersangka dengan tuduhan pelanggaran Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 A ayat (2) UU 11/2009 tentang perubahan atas UU 8/2016 tentang ITE dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Setelah diperiksa, Dandhy pun dibebaskan dengan status sebagai tersangka. Hingga kini, status Dandhy pun menggantung.

Berdasarkan surat penangkapan Dandhy, terdapat sejumlah nama personel yang bertugas menyidik yang tercatat dalam surat perintah 2019. Setidaknya terdapat nama Roberto Pasaribu yang saat itu berpangkat AKBP, Adri Furyanto yang saat berpangkat Kompol, dan Huntal Sibarani yang waktu itu berpangkat Inspektur Polisi Dua.

Roberto yang kini bertugas di Ditreskrimsus Polda Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan perwira menengah yang berpengalaman dalam menangani kasus-kasus tindak pidana siber. Ia tercatat pernah ikut meringkus buronan lembaga investigasi federal Amerika Serikat, Federal Bureau Investigation, yang diketahui melakukan penipuan investasi saham bitcoin.

Pada surat perintah 2019, Roberto menjabat sebagai KATIM SIDIK I-1. Sementara Adri menjabat SDA di TIM SIDIK I-1. Sementara Huntal tercatat pada surat perintah 2020, di mana dia bertugas sebagai SDA TIM SIDIK III.

Momen penangkapan Dandhy pun kala itu diikuti oleh penangkapan musisi dan juga aktivis Ananda Badudu keesokan harinya. Ananda kala itu diperiksa di Sub Direktorat Reserse Mobil Polda Metro Jaya yang dipimpin oleh Rovan. Kabid Humas Argo Yuwono saat itu menerangkan Ananda diperiksa sebagai saksi lantaran diduga melakukan transfer uang kepada mahasiswa yang melakukan aksi protes. Seperti Dandhy, Ananda kala itu juga dilepas kepolisian.

Ditarik lagi ke belakang, Ahmad Fanani, salah satu tokoh Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah juga pernah tersangkut kasus dengan kepolisian. Juli 2019 ia ditetapkan sebagai tersangka lantaran diduga terlibat dalam kasus mark-up dana acara Apel dan Kemah Pemuda Islam 2017 yang disokong Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Kasus ini bermula pada 2018, polisi menyebut ada dugaan kerugian negara dari pelaksanaan apel tersebut di mana Fanani yang saat itu menjabat sebagai bendahara Pemuda Muhammadiyah dan ketua panitia apel. Polisi kala itu menggunakan dasar temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan di Kemenpora terkait kegiatan tersebut.

Mencuatnya kasus itu juga terjadi di masa mendekati Pemilihan Presiden 2019. Fanani sedianya merupakan salah satu kandidat suksesor ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Azhar Simanjuntak.

Di masa kepemimpinan Dahnil, Pemuda Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang kerap bersikap kritis, salah satunya terkait isu korupsi. Belakangan, Dahnil bertugas sebagai juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, lawan Joko Widodo-Maruf Amin di Pilpres 2019.

Sementara itu, Fanani yang tersangkut kasus gagal menjadi suksesor Dahnil.

Masalah dugaan korupsi ini juga sempat menjadi kontroversi. Seperti diberitakan Kumparan, polisi sempat menyebut temuan didasari Laporan Hasil Pemeriksaan Kemenpora di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun,menurut laporan BPK, tidak ada masalah dalam auditnya di Kemenpora terkait isu tersebut. Belakangan polisi mengatakan penyelidikan diproses didasari laporan yang masuk ke kepolisian.

Dugaan politisasi kasus ini pun sempat muncul lantaran kasus mencuat tak jauh dari masa pemilihan presiden. Kala itu mantan ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqoddas sempat mewanti-wanti agar polisi berhati-hati menangani kasus tersebut. Ia mengingatkan agar polisi bisa adil dan memeriksa semua pihak yang terlibat pada acara itu.

"Supaya tidak ada kesan ini politisasi. Bahkan yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, ini kriminalisasi. Jadi kekhawatiran-kekhawatiran ini bisa direspons oleh polda atau kalau perlu Mabes Polri," kata mantan ketua KPK tersebut, 2019 silam.

Keberadaan satgasus pada kasus ini terlacak saat Fanani lewat surat pemanggilan kedua pada Fanani yang ditetapkan Polda Metro Jaya. Surat bernomor S.Pgl/2979/VII/RES.3.3./2019/Dit Reskrimsus mencantumkan nama sejumlah personel yang merupakan anggota Satgasus.

Surat ditandatangani Iwan Kurniawan selaku Direktur Krimsus yang kala itu berpangkat Kombes Pol. Ada juga nama penyidik Bhakti Suhendrawan, yang kala itu berpangkat AKBP yang bertugas sebagai penyidik dan Emil Winarto yang kala itu berpangkat AKP. Ketiga petugas ini tercatat masuk dalam daftar anggota Satgasus sejak awal pembentukkan.

Berdasarkan surat perintah 2019, Iwan merupakan POK ANEV. Sementara Bhakti menjabat KATIM SIDIK I-2, dan Emil merupakan SDA Tim SIDIK I-2.

Seperti Dandhy, kasus Fanani pun masih menggantung.

Tim kolaborasi pun sempat mengupayakan konfirmasi atas temuan tersebut ke sejumlah pihak. Pertengahan September, tim sempat mencoba mengajukan surat wawancara

Upaya konfirmasi ke Tito Karnavian terkait satgasus ini tak membuahkan hasil. Pada 12 September, tim sempat mengirimkan pengajuan wawancara dan daftar pertanyaan kepada Tito Karnavian melalui protokoler Kementerian Dalam Negeri Yasar terkait satgasus ini. Meski begitu Yasar menyarankan agar tim menghubungi Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benny Irawan. Pada 22 September, setelah mencoba menghubungi Benny, ia justru meminta tim untuk menghubungi Yasar.

Sementara itu, pada 13 September tim juga sempat mengirimkan pesan singkat WhatsApp untuk pengajuan wawancara kepada eks Kapolri Jenderal (Purnawirawan) Idham Azis terkait Satgasus Merah Putih. Namun, pesan singkat tidak dibalas. Pada 22 September, tim mencoba menelpon Idham, namun nomor tidak aktif.

Pada 11 September, tim mengirimkan pengajuan wawancara beserta daftar pertanyaan kepada Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol lewat asistennya, Andi melalui pesan singkat. Andi pun merespon dengan emoticon tangan mengatup.

Pada 21 September tim pun mendatangi Humas Mabes Polri. Di situ7 tim diterima Kepala Bagian Penerangan Umum Kombes Pol Nurul Azizah. Saat ditemui terkait pengajuan wawancara kepada Humas Polri, Nurul pun menyatakan masih perlu waktu untuk menindaklanjuti pengajuan wawancara tersebut.

Pada 22 September, tim pun menindaklanjuti kembali pengajuan wawancara kepada Nurul melalui pesan singkat WhatsApp.

Nurul pun menjawab masih berupaya menindaklanjuti pengajuan wawancara kepada pihak Dedi. "Malam mas..sy sdh sampaikan spri kadiv..dan masih menunggu," kata Nurul melalui pesan singkat.

Evaluasi Kepolisian

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Santoso mengatakan dengan kewenangan yang ada, anggota tim ini bisa dengan mudah memilih tim untuk menangani perkara tertentu. Masalahnya hal ini justru menyebabkan kekeliruan dalam kerja-kerja penyidikan dan penyelidikan.

“(Menyebabkan) tumpang tindih kewenangan karena penyidikan dan penyelidikan ini sebetulnya kewenangan satuan kerja dari reserse,” kata Sugeng, dalam sebuah forum di KontraS awal September lalu.

Sugeng mencontohkan dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua misalnya ada satu orang anggota satgasus yang bertugas di Bareskrim. Namun, karena belakangan ia diketahui merupakan anggota satgasus, personel tersebut sampai ikut turun tangan ke wilayah yang merupakan yurisprudensi Polda Metro Jaya.

Di situ, Sugeng menyebut bagaimana tim ini akhirnya bisa digunakan untuk kepentingan tertentu. “Conflict of interest yang besar tentunya bisa dilihat dari kewenangan daripada kadiv propam, yaitu sebagai pengawal disiplin dan etika dari anggota polri, bagaimana kalau anggota satgasus tersebut melakukan pelanggaran dalam tugas penyidikan dan penyelidikan Jadi di antara mereka itu saling menjaga,” kata Sugeng.

Aktivis HAM Haris Azhar menduga dulu keberadaan satgasus ini merupakan alat yang digunakan sejumlah pihak untuk kepentingan tertentu. Ia menyebut salah satunya adalah sebagai cara pembungkaman.

“Jadi memang satgassus ini di satu sisi diduga menutupi kejahatan, tapi disisi lain dia memfabrikasi kejahatan, menjadi kaki tangan terhadap pemidanaan orang-orang yang tidak bersalah yang dianggap membahayakan rezim,” kata Haris.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyatakan meski satgasus ini sudah dibubarkan, harus ada upaya untuk bisa mengevaluasinya. Isnur menyatakan perlu ada tekanan dari berbagai pihak agar evaluasi kepada tim non-struktural ini dilakukan. “Sebenarnya penting buat kepolisian dan DPR, serta masyarakat sipil dan peneliti reformasi kepolisian untuk meminta pertanggungjawaban dari setiap perbuatan atau operasi yang dilakukan oleh Satgasus ini,” kata Isnur.

Dari situ, menurut Isnur perlu ditelusuri berbagai aspek, seperti pendanaan seperti apa yang digunakan untuk operasional satgasus tersebut.

“Apakah ini bagian dari alat kekuasaan bahwa kepolisian yg seharusnya buat melindungi warga, melindungi HAM tapi justru menjadi kekuasaan alat politik untuk membungkam orang-orang yang kritis,” kata Isnur.

Artikel ini merupakan kolaborasi antara Tirto.id, Project Multatuli, Jawa Pos, dan Deduktif.

Baca juga artikel terkait SATGASUS MERAH PUTIH atau tulisan lainnya dari Redaksi

tirto.id - Indepth
Penulis: Redaksi
Editor: Redaksi