Menuju konten utama

Jejak Paduan Jawa & Eropa dalam Tradisi Kuliner Mangkunegaran

Menu-menu kesukaan Adipati Mangkunegara menunjukkan paduan budaya kuliner Jawa dan Eropa. Jejaknya bertahan hingga kini.

Jejak Paduan Jawa & Eropa dalam Tradisi Kuliner Mangkunegaran
Header Mozaik Para Mangkunegara dan Kulinernya. tirto.id/Tino

tirto.id - Mangkunegaran adalah bagian dari Catur Sagatra trah Mataram yang eksis di Kota Surakarta. Berpusat di Puro Mangkunegaran, ia adalah salah satu pilar sejarah dan kebudayaan Jawa. Meski begitu, Praja Mangkunegaran juga terkenal karena pemimpin-pemimpinnya yang berpikiran terbuka.

Beberapa Mangkunegara diketahui tidak pernah sungkan mengadopsi pemikiran maupun budaya Barat. Namun di saat yang sama, mereka tetap kukuh berpijak pada budaya Jawa. Satu aspek budaya yang bisa dirujuk sebagai contoh keterbukaan Mangkunegaran adalah kuliner.

Mangkunegara VII (1916-1944), misalnya, dikenal gemar masakan Eropa. Di masa kepemimpinannya, Mangkunegara VII kerap menghelat acara makan besar dengan hidangan Eropa. Suatu hal yang wajar mengingat Mangkunegara VII sebagai penguasa punya kolega dan teman dekat orang kulit putih.

Mereka kurang begitu akrab dengan selera makanan orang Jawa. Untuk memperlancar sosialisasi, adipati bernama kecil Raden Mas Soerjo Soeparto itu tentu mesti membuat penyesuaian. Selain itu, makanan Eropa memiliki nilai prestise yang tinggi di kalangan priyayi zaman itu.

Maka persoalan makan bukan hanya kepuasan secara selera, tapi juga kepuasan sosial. Meja makan pesta dan makanan Barat ibarat panggung untuk menunjukkan prestise sosial.

Jamuan-Jamuan Mangkunegara VII

Di antara sekian banyak kuliner Eropa, Mangkunegara VII secara khusus menggemari menu-menu Perancis. Tengoklah misalnya kala Mangkunegara VII mengadakan perjamuan makan di Karangpandan pada 17 Januari 1929.

Merujuk pada koleksi pustaka Perpustakaan Rekso Pustoko, menu makanan yang dihidangkan dalam jamuan makan semuanya adalah menu Perancis. Meski begitu, beberapa menu mendapat sentuhan bahan pangan lokal.

Di hari itu, cuaca sedang dingin. Demi menghangatkan perut sang adipati pendiri Java Instituut itu dan para tamu, para juru masak menyuguhkan pottage julienne, sejenis sup kental yang dihidangkan dalam sebuah mangkuk.

Lalu, disusul croquette a la Francais sebagai snack. Sebagai menu utama, para koki menyuguhkan goerami a la muniere puree de pomme (gurami dengan saus apel) dan bifteck aux pommes salade (steak dengan salad kentang).

Jamuan malam itu lantas ditutup dengan kue gateau a la Bismark, buah-buahan, dan kopi.

Adipati Mangkunegara VII juga menggelar jamuan besar untuk merayakan 24 tahun (triwindu) pemerintahannya pada 1939. Berbagai rekan, pengusaha perkebunan, dan teman dekat sang Adipati diundang untuk datang ke Puro Mangkunegaran.

Seturut buku menu perayaan Dansavond, Ter Gelegenheid van de Viering van het 24-Jarig Bestuursjubileum (Tri Windhoe) van zijn Hoogheid Pangeran Adipati Ario Mangkoenegoro VII, perayaan itu diadakan pada Jumat malam, 16 Juni 1939.

Jamuan makan malam riuh oleh tamu undangan, ditambah pula pertunjukkan dansa. Soal menu makanan, hidangan ala Perancis masih jadi pilihan utama. Sebagai pembuka, disuguhkan oxtail clair (sop buntut) dan kue tartelette joinville.

Sementara itu, makanan utama yang siap disantap para tamu antara lain grenadin de veau “Zingara” pointes dasperges au beurre pommes rissolees (risoles dengan potongan asparagus dan kentang), galantine de volaille salade melee (galantin ayam dengan salad).

Terakhir, untuk penutup dan hidangan cuci mulut, di meja para tamu disediakan meringue glacee (sejenis es krim).

Selera Mangkunegara VIII

Pada 1944, Mangkunegara VII mangkat dan kemudian digantikan oleh putranya Raden Mas Saroso Notosuparto. Dia dikukuhkan sebagai Mangkunegara VIII pada 19 Juli 1944.

Adipati Mangkunegaran yang satu ini memiliki selera tersendiri dalam santapan sehari-harinya. Majalah SELERA dalam edisi 18 Mei 1953 membeberkan kebiasaan makan Mangkunegara VIII, mulai dari sarapan hingga makan malam, lewat cerita para juru masaknya.

Untuk sarapan, Mangkunegara VIII biasanya menginginkan jadah dan pindang telur. Jadah adalah penganan yang dibikin dari ketan putih yang dicampur dengan kelapa. Rasanya gurih dan mengenyangkan.

Selain dua penganan itu, Mangkunegara VIII juga hobi menikmati roti ditambah jamur syampinyon. Sang Adipati biasanya memulai sarapannya tidak lebih dari jam 09.00 pagi. Karena sangat menikmati makanan, ritual sarapannya biasanya baru rampung sekitar pukul 10.15.

Mangkunegara VII juga menggemari masakan Tionghoa. Untuk lauk pauk, misalnya, dia suka olahan jamur dan capcai. Sedangkan masakan Jawa, beliau suka ayam goreng, sambal goreng kreni, dan sayur asam.

Para abdi sang Adipati juga punya cerita menarik soal cara makan Mangkunegara VIII. Biasanya, Mangkunegara VIII hanya menyendok sedikit nasi lalu menambahkan suwiran daging ayam, baru kemudian memakannya. Begitu pula dengan lauk lainnya.

Untuk makan malam, Mangkunegara VIII terbiasa sejak muda jajan di luar. Favoritnya lagi-lagi adalah masakan Tionghoa, yaitu mie.

Hingga kini, jejak perpaduan budaya kuliner ala Puro Mangkunegaran itu masih tetap terjaga. Bahkan, ia adalah salah satu warisan budaya yang menjadi daya tarik besar bagi pariwisata kota bermotto Spirit of Java ini.

Bagi mereka yang penasaran dengan selera kuliner dinasti Mangkunegara, Puro Mangkunegaran punya paket wisata Royal Dinner yang dihelat di balai Pracimoyoso. Sebagaimana namanya, ia merupakan acara jamuan makan malam ala Mangkunegaran.

Di luar puro, kuliner ala Mangkunegaran juga disajikan oleh restoran Omah Sinten. Restoran yang terletak di seberang Puro Mangkunegaran ini turut menyajikan makanan kersanan—kesukaan—Adipati Mangkunegara IV, yakni garang asem. Lain itu, Omah Sinten juga menyajikan menu raja-raja dari tiga kraton trah Mataram lainnya.

Baca juga artikel terkait SOLO atau tulisan lainnya dari Muhammad Aprianto

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhammad Aprianto
Penulis: Muhammad Aprianto
Editor: Fadrik Aziz Firdausi