Menuju konten utama

Jejak Mak Itam dan Sejarah Kereta Api di Ranah Minang

Pemerintah dan perusahaan kereta api mencoba menghidupkan kembali perkeretaapian di Sumatra Barat yang telah lama redup.

Jejak Mak Itam dan Sejarah Kereta Api di Ranah Minang
Header Mozaik KA Sawahlunto. tirto.id/Tino

tirto.id - Menjelang akhir Desember 2022, Menteri BUMN Erick Thohir meresmikan pengoperasian kembali kereta api wisata Sawahlunto di Stasiun Kampung Teleng, Sawahlunto, Sumatra Barat. Kereta api ini ditarik oleh lokomotif uap E1060 yang terkenal dengan sebutan Mak Itam.

Di masa kolonial Belanda, Sawahlunto merupakan kota yang terkenal sebagai penghasil batu bara. Dalam jurnal berjudul "History of Coal Mine Ombilin Sawahlunto During the Reign of The Ducth 1892-1942" disebutkan, orang Belanda menyebut Sawahlunto dengan Lunto Kloof atau Lembah Lunto.

Dahulu, Sawahlunto hanyalah sebuah desa kecil yang terpencil dan terletak di tengah hutan belantara yang luas. Sebagian besar penduduknya menanam padi dan berladang di lahan yang serba terbatas.

Karena sebagian besar permukaan tanahnya tidak cocok untuk lahan pertanian, Sawahlunto dianggap sebagai daerah yang tidak potensial. Anggapan ini berubah setelah seorang geolog Belanda. Ir. W. H. Van De Greeve menemukan kandungan batu bara pada tahun 1868.

Menurut S.A. Reitsma dalam Gedenkboek der Staatsspoor-en Tramwegen in Nederlandsch-Indie: 1875-1925, keberadaan kandungan batu bara di Ombilin mendorong Pemerintah Hindia Belanda membangun jaringan kereta api di Sumatra Barat.

Untuk membangun jalur kereta api ini, dibentuk satu perusahaan di bawah perusahaan kereta api negara Staatsspoorwegen (SS), yakni Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust (SSS). Jalur yang menghubungkan Pulau Air-Padang Panjang pada tahun 1891 menjadi jalur pertama yang berhasil dibuka.

Secara keseluruhan, perusahaan kereta api negara membangun rel sepanjang 265 kilometer untuk menghubungkan Padang dan Sawahlunto, serta beberapa kota utama di Sumatra Barat seperti Bukittinggi, Padang Panjang, Solok, Pariaman, dll.

Beberapa jalur ini melewati daerah dengan elevasi kemiringan cukup besar. Untuk mengatasinya, lokomotif dilengkapi dengan rel bergerigi. Rel jenis ini dibuat di jalur antara Kayu Tanam-Padang Panjang dan Padang Panjang-Batu Tabal. Rel bergerigi ini mirip dengan rel yang ada di jalur Ambarawa-Bedono di Pulau Jawa.

Untuk mendukung eksploitasi batu bara, Staatsspoorwegen membangun stasiun dan pelabuhan Emmahaven di Padang yang kiwari bernama Pelabuhan Teluk Bayur. Ini menjadi tempat merapatnya kapal-kapal yang akan mengangkut batu bara dari Ombilin.

Jalur antara Stasiun Muara Kelaban dan Stasiun Muaro merupakan jalur terakhir yang dibangun oleh Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust tahun 1924. Di masa pendudukan Jepang, Stasiun Muaro dijadikan titik awal pembangunan jalur kereta api menuju Pekanbaru, Riau.

Setelah berhasil merebut Hindia Belanda pada 1942, Jepang mempunyai ide untuk membangun jalur maut. Mereka menggunakan tenaga para tahanan perang untuk membangun jalur yang melewati hutan, rawa-rawa, sungai, dan pergunungan.

Selain untuk mengeksploitasi sumber daya di pedalaman Sumatra, jalur ini juga dipakai Jepang untuk memindahkan pasukan dari pantai barat ke pantai timur Sumatra dan sebaliknya.

Cara ini dianggap lebih cepat dan efisien dibandingkan memindahkan pasukan melalui laut. Beberapa saat setelah diresmikan, jalur ini sempat dipakai untuk mengangkut pasukan dan tahanan perang sebelum akhirnya dilupakan.

Menggali Potensi Baru

Redupnya aktivitas kereta api di Sumatra Barat didorong oleh kemunduran penambangan batu bara Ombilin pada tahun 2000-an. Beberapa usaha untuk menghidupkannya kembali sempat dilakukan. Salah satunya kereta wisata dengan nama KA Danau Singkarak sempat coba diaktifkan tahun 2009.

Kereta api yang menghubungkan Padang Panjang dan Sawahlunto ini melewati beberapa titik dengan pemandangan terbaik. Sayangnya, pengoperasian kereta api ini harus berhenti pada 2014 karena sepi peminat.

Di sisi lain, kejayaan tambang batu bara Ombilin menyisakan peninggalan bersejarah di Sawahlunto. Pemerintah berusaha menjadikan kota ini sebagai pusat warisan budaya dan tujuan wisata di Sumatra Barat.

Maka itu, perusahaan kereta api bekerja sama dengan Pemerintah Kota Sawahlunto memanfaatkan Stasiun Sawahlunto sebagai museum. Upaya ini untuk melestarikan keberadaan stasiun yang berada di ketinggian 262 meter di atas permukaan laut.

Museum tersebut diresmikan tanggal 17 Desember 2005 oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Salah satu koleksi Museum Sawahlunto yang terkenal adalah Lokomotif Uap bergigi E1060.

Infografik Mozaik KA Sawahlunto

Infografik Mozaik KA Sawahlunto. tirto.id/Tino

Peninggalan aktivitas pertambangan membuat Sawahlunto ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 6 Juli 2019.

Organisasi PBB yang bergerak di bidang pendidikan dan budaya ini menilai tambang Ombilin sebagai peninggalan teknologi pertambangan di akhir abad ke-19 yang masih terpelihara dengan baik.

Saat ini, kereta api yang masih beroperasi di Sumatra Barat adalah KA Sibinuang, KA Bus Rel Lembah Anai, dan KA Minangkabau Ekspress.

KA Sibinuang mulai beroperasi tahun 2008, menghubungkan Stasiun Padang dengan Stasiun Naras dengan jarak 60 kilometer. Kereta api ini menghabiskan waktu tempuh rata-rata 1 jam 57 menit.

Sementara Bus Rel Lembah Anai dan KA Minangkabau Ekspress merupakan kereta api yang beroperasi untuk memudahkan transportasi dari dan ke Bandara Internasional Minangkabau. KA Bus Rel Lembah Anai menghubungkan bandara dengan Kayu Tanam.

Setiap hari, KA Bus Rel Lembah Anai beroperasi sebanyak 3 kali perjalanan pulang pergi. Sedangkan KA Minangkabau Ekspress melayani jalur antara Pulau Aie dengan bandara. KA yang melewati Stasiun Padang ini mempunyai frekuensi sebanyak 6 kali perjalanan pulang pergi.

Meredupnya produksi batu bara di pedalaman Sumatra Barat mengubah fokus angkutan kereta api dari angkutan barang menjadi angkutan jasa. Juga angkutan yang menggali potensi wisata sejarah dan budaya.

Baca juga artikel terkait SAWAHLUNTO atau tulisan lainnya dari Hevi Riyanto

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Hevi Riyanto
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi