Menuju konten utama

Jejak Kekerasan FPI & Tarik-Ulur Izin dari Pemerintah

Setelah 21 tahun bercokol, eksistensi FPI di Indonesia mendapat ancaman nyata. Rizieq Shihab adalah kunci.

Jejak Kekerasan FPI & Tarik-Ulur Izin dari Pemerintah
Massa FPI di Tangerang, Rabu (21/2/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pada 2017 Rizieq Shihab meninggalkan Indonesia gara-gara masalah hukum dan belum kembali hingga sekarang. Kini Front Pembela Islam (FPI) yang didirikannya mulai terancam eksistensinya.

Pemerintah mensyaratkan satu hal di luar aturan tentang organisasi kemasyarakatan terhadap FPI. Organisasi itu harus menandatangani surat pernyataan dan mengaku setia kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar bisa tetap aktivitas di Indonesia.

Musabab keluarnya syarat itu adalah Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) FPI yang menuliskan visi dan misi “penerapan Syariat Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafaah Islaamiyyah.” Ini membuat Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian khawatir dengan tindakan FPI di masa depan bila Surat Keterangan Terdaftar (SKT) diterbitkan.

“Kata-kata mengenai penerapan Islam secara kaffah ini teori teologinya bagus, tapi kemarin sempat muncul istilah dari FPI mengatakan NKRI bersyariah. Apa ini maksudnya akan diberlakukan prinsip syariah yang ada di Aceh?” kata Tito di Gedung DPR/MPR, Kamis (28/11/2019).

Istilah NKRI bersyariah juga sempat dikeluarkan Rizieq pada September 2018. Saat mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019, akun twitter @RizieqSyihabFPI mengunggah poster bertuliskan "Mau NKRI Bersyariah? Mau Indonesia Berkah? Mau Negara & Bangsa selamat?" bersanding dengan gambar Prabowo-Sandi.

Tito khawatir jika konsep yang diterapkan FPI akan seperti di Aceh yang merupakan daerah khusus. Kelompok minoritas di Indonesia bisa jadi tidak terima dan terusik. Kata-kata khilafah juga menjadi masalah karena berpeluang membangun sistem negara dan melakukan penegakan hukum sendiri. Apalagi ada frasa “penegakan hisbah”.

“Penegakan hisbah, nah ini yang kendalanya amar ma’ruf nahi munkar ini kadang-kadang dilakukan di lapangan dengan cara melakukan penegakan hukum sendiri,” ujar Tito lagi.

Apa yang dilakukan pemerintah dengan mengkaji SKT FPI sebenarnya tidak biasa jika dibandingkan dengan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan pada 2017. FPI berbeda dengan HTI, salah satunya adalah tidak adanya ideologi Pancasila dalam AD/ART FPI. Toh, FPI masih bisa terselamatkan dengan membuat surat di atas meterai bersumpah setia kepada Pancasila dan NKRI.

Sedangkan HTI yang mengakui Pancasila dalam AD/ART-nya tidak mendapat kesempatan sama. Pemerintah menilai pada praktiknya HTI melanggar AD/ART dan memang berniat mendirikan khilafah.

Tuduhan pelanggaran AD/ART ini juga terjadi pada FPI. Bedanya, beberapa kelompok masyarakat khawatir FPI akan bertentangan dengan surat kesetiaan yang telah mereka tanda tangani. Bisa jadi surat itu hanya kecohan agar FPI mendapatkan SKT.

"Dalam organisasi, komitmen tersebut tak cukup hanya dipegang oleh individu pimpinan organisasi dengan menuangkannya di atas kertas. Namun harus terkonfirmasi dari ujaran, sikap dan perbuatan," tutur Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU Robikin Emhas, Sabtu (30/11/2019) dalam pernyataan tertulis.

Omongan Tito yang menyatakan “kadang-kadang” FPI main hukum sendiri bisa jadi sekadar eufemisme. Karena bukan “kadang-kadang”, tapi “setiap tahun” FPI main hukum sendiri dengan berbagai dalih.

FPI Sudah Lemah?

Dalam buku yang disunting oleh dosen Universitas Deakin, Shahram Akbarzadeh, berjudul Routledge Handbook of Political Islam (2012), Robert W. Hefner menulis kebanyakan personel Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (PAM Swakarsa) bergabung dengan FPI setelah Sidang Istimewa MPR November 1998. Tugas terakhir yang diemban PAM Swakarsa adalah menjaga keamanan sidang dari demonstrasi mahasiswa.

Bentrokan antara mahasiswa dan PAM Swakarsa beserta pasukan keamanan lainnya tak terhindarkan. Setidaknya 17 orang—sebagian besar mahasiswa—meninggal dalam peristiwa itu. Setelahnya, tragedi Semanggi I menandai perjalanan panjang FPI.

“PAM Swakarsa dibubarkan setelah SI selesai, tapi bagian intinya, FPI, tetap hidup. FPI akan memulai petualangan politik paling ambisius pada periode pasca-Soeharto,” tulis Hefner.

FPI didirikan Rizieq Shihab pada Agustus 1998. Gerakan FPI di tangan Rizieq saat itu seperti tentara bayaran. Ketika sebagian besar gerakan rakyat dan mahasiswa bersuara melawan Soeharto dan rezimnya, Rizieq justru mendapat permintaan dari loyalis Soeharto untuk menandingi gerakan mahasiswa tersebut. Meski saat itu Rizieq belum punya basis massa yang terlalu banyak, dia menguasai lusinan pesantren dan menjadi bagian dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Setelah Soeharto lengser, Rizieq kemudian membela B.J. Habibie yang juga diprotes mahasiswa. Wiranto yang saat itu Panglima ABRI mendukung Rizieq membentuk paramiliter dengan kekuatan sekitar 50.000 orang yang kemudian diberi nama PAM Swakarsa.

“September sampai November 1998, Rizieq menjadi islamis Jakarta yang paling menonjol yang bekerja sama dengan Wiranto,” catat Hefner lagi.

Di bawah kepemimpinan Rizieq, FPI berjaya. Namun sejarah kekerasan ikut menyertainya. Pada November 1998 FPI terlibat bentrok dengan preman Ambon di Jakarta. Kericuhan ini merupakan debut pertama FPI dan membuat orang-orang Ambon pulang kampung. Menurut sosiolog George Junus Aditjondro, konflik ini mengawali peristiwa berdarah yang lebih besar.

“Pembunuhan terhadap para preman Ambon Muslim dan Kristen itu mengakibatkan kedua kelompok itu bertekad melakukan balas dendam terhadap satu sama lain di kampung halaman mereka di Maluku,” tulis George dalam artikel bertajuk "Orang-orang di Jakarta di Balik Tragedi Maluku".

Itu hanya satu peristiwa. Hingga saat ini, rekam jejak FPI di bidang kekerasan dan penggerudukan barangkali sudah melebihi jumlah kunjungan luar negeri Jokowi. Paling tidak ada lima kedutaan besar dan enam kantor media massa yang pernah didatangi FPI. Sebagian kedubes dilempari telur dan sebagian kantor media ciut nyalinya.

Sejumlah pihak sudah geram dengan tingkah FPI ini. Di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, permintaan untuk membubarkan FPI berkali-kali datang. Pada 2008 elemen anak muda Nahdlatul Ulama mendesak SBY untuk membubarkan FPI. Desakan mereka gagal dan tidak ditanggapi serius oleh SBY.

Pada 2011 SBY menyatakan akan membubarkan ormas yang melakukan kekerasan. Pernyataan itu direspons FPI dengan ancaman. Bersama beberapa ormas lain, FPI mengancam hendak menggulingkan SBY. Dua tahun kemudian giliran Pengurus Besar NU yang meminta FPI dibubarkan. Lagi-lagi, SBY bergeming. Tak ada yang mampu merealisasikan pembubaran FPI.

Penggerudukan oleh FPI, termasuk penyisiran tempat hiburan malam dan warung makan selama bulan puasa juga hari raya umat agama lain, selalu menjadi perkara. Entah berapa kali diskusi terkait FPI telah dibuka di ruang pubik, tapi selalu berujung jalan buntu.

Pemerintahan SBY beralasan pihaknya tidak bisa membubarkan FPI karena saat itu FPI belum berbentuk ormas sesuai catatan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kementerian Dalam Negeri. Mereka hanyalah komunitas, sehingga tidak bisa ditindak.

"Organisasinya itu hanya forum, belum terdaftar sebagai ormas, itu hanya forum kumpul-kumpul. Tetapi siapapun yang melakukan main hakim sendiri, melanggar hukum, silakan dihukum. Yang saya dengar yang jelas FPI belum terdaftar sebagai ormas di Kesbangpol," ujar Sekretaris Kabinet SBY, Dipo Alam, seperti dikutip Merdeka pada 2014.

Pernyataan Dipo secara tak langsung mengartikan FPI sebenarnya ormas ilegal. Uniknya, pemerintah justru tak bisa melarang kegiatan ormas yang ilegal.

Pada 2017 desakan membubarkan FPI juga sebenarnya telah muncul. Namun pemerintah dan Menko Polhukam Wiranto kala itu selalu mengelak. Akhirnya tuntutan itu menguap begitu saja. Kiwari, wacana pembubaran FPI menjadi serius seiring absennya Rizieq di Indonesia.

Wiranto yang kabarnya dekat dengan Rizieq pun tak lagi menempati posisi strategis di kabinet Jokowi. Bila tak mendapatkan SKT, bisa jadi atribut dan aktivitas FPI akan dilarang. Pemerintah sendiri telah mengulur pemberian SKT selama berbulan-bulan, walau semestinya hanya butuh 15 hari untuk menerbitkan surat tersebut. Ini membuktikan kelemahan sekaligus kekuatan pemerintah untuk melakukan tawar-menawar politik dengan FPI.

Rizieq adalah Kunci

Di masa kepresidenan SBY, Rizieq pernah mendapat vonis penjara 1 tahun 6 bulan. Pada masa Jokowi berkuasa, Rizieq memilih pergi ke luar negeri dan tak kembali hingga sekarang. Kepergian Rizieq bersamaan dengan banyaknya laporan pidana terhadap dirinya yang terdaftar di kepolisian—salah satunya di Polda Metro Jaya terkait dengan dugaan perbincangan pornografi.

Pengajar Murdoch University, Ian Douglas Wilson, mencatat bahwa selain mendirikan FPI Rizeq juga berperan membesarkannya. Di luar kedekatannya dengan Wiranto dan Habibie, Rizieq juga menjalin kedekatan dengan Hamzah Haz, wakil presiden Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan.

Di bulan Agustus 1999 Rizieq mengklaim punya pasukan tempur hingga 3 juta orang dan total anggota 13 juta orang. Wilson mencatat, seiring terkenalnya Rizieq, pengikutnya juga makin bertambah. Pada 2005 ada 100.000 anggota FPI di 26 provinsi seluruh Indonesia.

Infografik Front Pembela Islam

Infografik Front Pembela Islam

Pertama kali Rizieq berhasil “ditaklukkan” adalah di masa kepresidenan Megawati. Pada 2002 dia ditangkap dan dibawa ke persidangan. Muasalnya, Rizieq dianggap pemerintah menghasut kerusuhan di kawasan hiburan malam Glodok, Jakarta, Oktober 2002.

Vonis akhirnya dijatuhkan dan Rizieq mendekam di penjara 7 bulan lamanya sampai dengan November 2003. Kendati demikian, Wilson mencatat, Rizieq bukanlah sosok yang biasa saja. Tuntutan maksimal sebenarnya ada di angka 7 tahun.

“Ketika mendakwa Rizieq, negara masih mencoba berdamai. Ini terlihat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mereduksi tuntutan maksimal 7 tahun menjadi 7 bulan hanya dengan dasar 'pernyataan Rizieq semata-mata untuk meningkatkan moralitas masyarakat',” toreh Wilson dalam "Continuity and Change: The Changing Contours of Organized Violence in Post–New Order Indonesia" (PDF, 2006).

Pernyataan Rizieq salah satunya adalah: "Gubernurnya budek, DPRD-nya congek, polisinya mandul."

Rizieq juga tak penuh berada dalam tahanan. Dia sempat keluar penjara dan menjadi tahanan rumah. Beberapa waktu kemudian dia pergi ke Amerika Serikat untuk bergabung dengan gerakan jihad internasional. Pada April 2003 barulah dia kembali ke Indonesia dan menjalani sisa masa tahanannya.

FPI juga tak menutupi kedekatan Rizieq dengan elite politik. Menurut Rizieq, seperti dikutip dalam artikel Wilson, “FPI tidak keberatan digunakan oleh pihak lain. Kami akan menggunakan pihak lain untuk meningkatkan moralitas dan memberantas kemaksiatan.”

Bebasnya Rizieq juga digambarkan oleh Zachary Abuza dalam Political Islam and Violence in Indonesia (2007) sebagai buah tangan pertemanannya dengan politikus elite di parlemen dan institusi pemerintahan.

Setelah Rizieq kabur ke Arab pada 2017, performa FPI memang tak lagi segemerlap dahulu. Sepanjang 2018-2019, pamor FPI tersaingi oleh Persaudaraan Alumni 212. Dalam periode ini yang ramai adalah masalah reuni akbar 212 ataupun ijtima ulama. Nama FPI hampir meredup dari peredaran jika tak ada prahara perpanjangan izin ormas.

Absennya Rizieq bisa jadi salah satu penyebab melempemnya FPI. Tanpa Rizieq, FPI kini tak lagi sama. Tapi jika merujuk ke tahun-tahun yang lalu, seperti dicatat Wilson, setelah Rizieq mendapat hukuman penjara dan bebas, gerakan FPI bukannya redup, tapi menjadi lebih terorganisasi.

“Sebaliknya yang terjadi. FPI memperketat jajarannya, memusatkan kendali atas unit-unit komponennya dan meningkatkan disiplin serta pelatihan rekrutmen dari sekelompok orang-orang yang tak bisa diatur dengan tampilan religius, menjadi pasukan paramiliter yang lebih disiplin dan termotivasi secara ideologis,” catat Wilson.

Salah satu loyalis Rizieq, saat diwawancara Ian Wilson dalam tulisan lain berjudul "As Long As It's Halal: Islamic Preman in Jakarta" yang termuat di buku Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (2008), menyatakan dengan tandas tentang junjungannya itu:

“Habib Rizieq sangat dicintai oleh Tuhan. Dia tidak punya uang untuk mencapai tujuannya. Dia tidak rumit, gaya hidupnya yang sederhana mencerminkan karakteristik Nabi Muhammad; santai, tapi tegas, bersiap untuk membela dan berkorban untuk yang ia anggap benar.”

Tapi "juru selamat" FPI itu tak juga hadir—terpisah jarak tak kurang dari 8.400 kilometer jauhnya.

Baca juga artikel terkait FPI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan