Menuju konten utama

Jejak Karbon Indonesia Naik 140%, Memperparah Krisis Iklim & Polusi

Konsumsi energi Indonesia meningkat hingga 62,55 persen dari 1990 hingga 2014.

Jejak Karbon Indonesia Naik 140%, Memperparah Krisis Iklim & Polusi
Kabut polusi udara menyelimuti kawasan Jakarta, Selasa (8/10/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/ama.

tirto.id - Dalam kurun 1990-2015, emisi karbon dari kegiatan konsumsi Indonesia meningkat 140 persen, menurut penelitian Confronting Carbon Inequality oleh Oxfam International.

Konsumsi energi Indonesia meningkat hingga 62,55 persen dari 1990 hingga 2014 dengan peningkatan penggunaan listrik hingga 10 kali lipat dalam waktu 20 tahun terakhir.

Di seluruh Asia, emisi karbon telah meningkat hingga dua kali lipat. Sebagian besar karbon diemisikan oleh sepuluh persen orang terkaya, menyebabkan kelompok masyarakat rentan dan tertinggal kian terjebak dalam krisis iklim, padahal, kelompok rentan dan termajinalkan menghasilkan jejak karbon paling sedikit.

Salah satu contohnya, sepuluh persen populasi terkaya di Asia Tenggara yang tinggal di negara seperti Filipina melepas sepertiga emisi karbon di negaranya, sementara 20 persen populasi masyarakat termiskin hanya melepas enam persen total emisi di tahun 2015.

Dalam periode yang sama, suhu Bumi—dan tentu Asia di dalamnya—mengalami peningkatan. Terlebih lagi, Asia yang menjadi titik rawan bencana alam dan pengungsian akibat bencana.

Kelompok miskin dan termarjinalkan telah merasakan getahnya: menjadi korban terdampak krisis iklim dan bencana alam akibat cuaca ekstrem di Indonesia, bencana angin topan di Filipinai serta kekeringan di Sungai Mekong.

Aliansi organisasi masyarakat sipil untuk transisi energi se-Asia Tenggara (The Southeast Asia Energy Transition CSO Network) telah merilis data terkait ketimpangan dan ketidakberlanjutan emisi karbon di Filipina yang didapat dari riset bersama Oxfam International dan Stockholm Environment Institute.

Data juga diambil dari Global Carbon Atlas dan Indonesia menjadi salah satu negara yang disebutkan dalam riset tersebut. Riset ini diluncurkan bersamaan dengan momen Sidang Umum PBB di mana para pemimpin dunia berkumpul untuk berdiskusi mengenai tantangan global seperti krisis iklim.

Riset ini menganalisis bagaimana emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan konsumsi masyarakat yang datang dari berbagai kelas—baik dari konsumsi makanan, listrik, hingga penerbangan—telah melepas karbon ke atmosfer.

Emisi karbon ini menyebabkan peningkatan suhu Bumi yang mengakibatkan kian banyaknya bencana alam dan berdampak pada kelompok miskin dan termarjinalkan.

Selama pandemi, emisi karbon global sempat mengalami penurunan karena regulasi lockdown yang dilakukan di hampir seluruh dunia. Namun, angka emisi karbon global akan cenderung kembali meningkat setelah pemerintah di banyak negara mulai melonggarkan aturan lockdown dan Asia kembali menjalani bisnisnya seperti sedia kala.

“Seruan ketidakadilan dalam emisi karbon juga berarti seruan terhadap ketimpangan ekonomi. Keduanya saling berkaitan. Pemerintah harus segera sadar bahwa menghadapi ketimpangan juga berarti harus menyelesaikan masalah di sektor energi,” kata Siddharth Sreenivas selaku Koordinator Kampanye Keadilan Pangan dan Iklim Oxfam di Asia, dalam keterangan pers yang diterima Tirto, Senin (28/9/2020).

Koordinator Gerakan Masyarakat Asia untuk Utang dan Pembangunan (Asian People’s Movement), Lidy Nacpil menyebutkan, "Kita butuh perubahan dalam cara kita menghasilkan serta mengonsumsi energi. Negara serta para pemimpinnya harus berkomitmen dalam membangun energi terbarukan. Hal tersebut baik secara ekonomi bagi kita, negara, dan tentunya bagi planet kita. Ini akan berdampak baik bagi kita, termasuk bagi perempuan, kelompok adat, serta mereka yang kerap termarjinalkan. Kita harus berkomitmen untuk membangun sistem energi yang lebih demokratis dan berkeadilan."

Jika Asia Tenggara—salah satu wilayah yang berkembang begitu cepat sedunia—gagal untuk berkontribusi, maka peningkatan suhu Bumi hingga 1,5 derajat Celsius dapat terjadi di 2030.

Memangkas emisi karbon dari 10 persen populasi terkaya di Asia serta menghentikan investasi di bahan bakar fosil akan menjadi langkah penting untuk menjaga Bumi.

Ketimpangan emisi karbon berdampak begitu besar bagi umat manusia; karbon yang diemisikan oleh hanya sepuluh persen orang terkaya di dunia saja mampu meningkatkan suhu Bumi hingga ke titik terpanasnya pada 2033, bahkan jika emisi karbon dari kelompok masyarakat lain telah dihentikan.

“Sebagai jaringan organisasi masyarakat sipil Asia Tenggara untuk transisi energi, kami mendorong pemerintah untuk mengatasi ketimpangan serta krisis iklim dengan cara mulai beralih ke energi terbarukan. Kami mendorong adanya sistem ekonomi yang berkeadilan serta mengutamakan kebutuhan kelompok miskin, perempuan, serta marjinal,” jelas Lidy.

“Perlu ada pengawasan serta pengecekan terhadap emisi karbon berlebihan yang dilakukan oleh para orang kaya—termasuk aturan pajak yang lebih tinggi terhadap fasilitas kemewahan yang berpotensi melepas karbon lebih tinggi, seperti penerbangan dan SUV. Pendapatan negara harus segera dialokasikan untuk pelayanan publik. Energi dengan emisi karbon rendah akan membentuk banyak lapangan pekerjaan baru serta menuntaskan kemiskinan,” kata Siddharth.

Baca juga artikel terkait EMISI KARBON atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Agung DH