Menuju konten utama

Jejak Gus Sholah: Arsitek, Kyai, Aktivis Kemanusiaan, dan Penulis

Gus Sholah adalah generasi ketiga pendiri NU yang berkiprah di ranah profesional. Baru memulai langkah politik setelah Soeharto jatuh.

Jejak Gus Sholah: Arsitek, Kyai, Aktivis Kemanusiaan, dan Penulis
KH Salahuddin Wahid. ANTARA News/HO

tirto.id - Kabar duka itu datang pada Minggu malam, 2 Februari 2020. Irfan Wahid melalui akun twitternya mengabarkan bahwa sang ayah, KH Solahudin Wahid, telah wafat pada pukul 20.55 WIB. Gus Sholah, demikian beliau biasa disebut, meninggal setelah dirawat beberapa hari di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta Barat.

“Mohon dimaafkan seluruh kesalahan. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu," tulis Irfan di akun twitternya.

Gus Sholah yang juga adik kandung dari Gus Dur merupakan tokoh Islam nasional yang pernah menduduki jabatan strategis di Indonesia. Ia pernah jadi Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI di awal periode reformasi 1998. Gus Solah juga pernah jadi calon wakil presiden pada 2004 mendampingi Wiranto.

Di luar politik, Gus Solah adalah mengasuh pesantren Tebuireng di Jombang Jawa Timur dan merupakan salah satu sesepuh di ormas Islam besar Nahdlatul Ulama.

Di kalangan Nahdliyin beliau adalah representasi santri “modern” dari generasi ketiga para pendiri NU. Beliau hanya sebentar mengakrabi pesantren, menempuh pendidikan di sekolah umum, dan kemudian berkiprah secara profesional. Dalam banyak hal Gus Sholah menempuh jalan yang sangat berbeda dibanding sang kakak.

Gus Sholah lahir di Jombang pada 11 September 1942, ketika Jepang tengah menduduki Indonesia. Masa kecil, juga pendidikan Islam pertamanya, dihabiskan di dua pesantren binaan kedua kakeknya. Pertama di Pesantren Denanyar di bawah asuhan KH Bisri Syansuri. Pada tahun 1947 Hadratus Syekh Kiai Hasyim Asy’ari wafat, lalu karena ayahnya, KH. Wahid Hasyim harus menggantikan beliau, Salahuddin pindah ke Tebuireng.

Pada awal 1950, ayahnya diangkat menjadi Menteri Agama, ia pun ikut pindah ke Jakarta. Saat itu usianya baru menginjak umur delapan tahun. Sejak itu, Gus Solah tidak pernah lagi secara formal bersinggungan dengan lingkungan pesantren.

“Saya di Jombang memang tidak lama, karena setelah tahun 1950, saya harus pindah ke Jakarta bersama ayahanda yang saat itu menjabat menteri agama. Otomatis secara pendidikan saya memang menghabiskan pendidikan di umum, meski di sore harinya biasanya tetap ada kegiatan mengaji untuk mengisi ilmu agama,” ujar Gus Sholah sebagaimana dikutip Radar Jombang.

Meroket Setelah Reformasi 1998

Selepas lulus SMA pada 1962, Gus Sholah melanjutkan kuliah ke ITB dan mengambil jurusan arsitektur. Di masa ini, beliau kian aktif dalam kegiatan sosial di luar bangku kuliah. Gus Sholah menjadi anggota pengurus Senat Mahasiswa Arsitektur ITB, Bendahara Dewan Mahasiswa ITB, dan juga Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat ITB (1964-1966).

Dengan pengalaman organisasi itu, sebenarnya ia punya bekal yang cukup untuk berkecimpung dalam politik praktis. Ia bisa juga lebih aktif dalam NU atau mengurus pesantren. Bagaimanapun juga, ia termasuk dzurriyah KH Hasyim Asy’ari, sang pendiri NU. Tapi Gus Sholah tidak mengambil kesempatan itu dan memilih berkarier sebagai arsitek selepas lulus kuliah.

Itu sebabnya sosok Gus Sholah tak pernah disebut dalam perkembangan politik atau lebih spesifik lagi di lingkungan NU selama era Orde Baru. Ia berbeda dari abangnya yang sangat aktif dan bahkan tampil di muka sebagai oposan Soeharto. Gus Sholah baru menapaki jalan politik setelah Soeharto tumbang pada 1998.

Ia tercatat pernah menjadi anggota MPR dalam periode singkat 1998-1999. Menjelang Pemilu 1999, Gus Sholah terlibat lebih intens lagi dalam politik. Saat itu sejumlah tokoh NU terlihat berlomba-lomba bikin partai. Ada PKB yang dikomando oleh Gus Dur dan Mathori Abdul Jalil, juga Partai Nahdlatul Ummat (PNU) dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI).

Gus Sholah tidak memilih PNU, SUNI, atau bahkan PKB—meski kakak kandung sendiri yang mendirikannya. Gus Sholah memilih bersama sang paman, KH Yusuf Hasyim, membidani berdirinya Partai Kebangkitan Umat (PKU). Dalam soal politik Gus Sholah rupanya punya aspirasi tersendiri bahwa Islam masih perlu diperjuangkan secara formal dalam bernegara.

"Kalau kami punya keyakinan bahwa syariat Islam boleh menjadi bagian dari UU, asalkan itu sesuai kebutuhan dan diterima oleh seluruh masyarakat lewat proses demokrasi," ujar Gus Sholah sebagaimana dikutip Kompas (19 Maret 1999).

Maka itu, wajar jika ia tidak memilih PKB yang sedari awal memang tidak berasas Islam. Pilihan itu juga bisa dibaca sebagai bentuk kritik Gus Sholah kepada PBNU. Pasalnya, sebagaimana disebut Kuntowijoyo dalam bunga rampai Mengapa Partai Islam Kalah? (1999, hlm. 89), PBNU secara resmi mengakui PKB sebagai satu-satunya partai yang “sah untuk warga nahdliyin”. Kebijakan NU itu dinilainya tidak demokratis dan lagi pula aspirasi politik warga NU tidaklah tunggal.

Dalam Pemilu 1999 perolehan suara PKU jeblok dan hanya mendapat satu kursi di DPR. Gus Sholah lantas meneruskan aktivismenya dengan bergabung ke dalam struktur PBNU.

Jadi Calon Presiden

Meski bersilang jalan dengan Gus Dur dalam politik, kakak-beradik ini sepaham dalam kemanusiaan. Jika sang kakak menelurkan beberapa kebijakan pluralis semasa jadi presiden, Gus Sholah pernah berkiprah sebagai wakil ketua Komnas HAM periode 2002-2007.

Di lembaga itu, Gus Solah sempat memimpin Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki kasus Kerusuhan Mei 1998 (Januari-September 2003) dan kemudian Ketua Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Berat kasus Mei 1998, Ketua Tim Penyelidikan Kasus Pulau Buru, dan lain sebagainya.

Pada 2003 KPP HAM yang ia pimpin melaporkan adanya dugaan kebijakan terpola saat berlangsungnya kerusuhan 13- 15 Mei 1998 di Jakarta. Tim ini juga menyimpulkan bahwa aparat keamanan (TNI dan Polri) dan aparat sipil yang diduga terlibat saat itu patur dimintai pertanggungjawaban pidana. Karena itu, timnya sempat hendak memeriksa Wiranto meski yang bersangkutan menolak hadir.

Di alam reformasi, laporan itu dianggap bernilai signifikan dalam penegakan HAM di Indonesia. Dan tentu saja, prestasi itu ikut mendongkrak citranya sebagai tokoh nasional. Dalam wawancara yang terbit di koran Kompas (21 Juni 2004) Gus Sholah mengungkapkan, “Kedudukan saya di sana itulah yang kemudian mengangkat posisi saya di dunia politik.”

Namun, belum sampai proses itu tuntas, Gus Sholah justru mengambil langkah yang membuat kecewa banyak pihak: menerima pinangan Golkar untuk maju jadi calon wakil presiden mendampingi Wiranto dalam Pemilu 2004.

Demi menghindari konflik kepentingan, tidak bisa lain, Gus Sholah lalu menyatakan mundur dari keanggotaan Komnas HAM dan PBNU sejak Mei 2004. Citranya jelas sebagai pembela HAM jelas tercoreng. Bahkan di masa itu beredar anekdot yang menjelek-jelekkan namanya.

“Tahukah Anda jika Wiranto baru saja membeli mesin cuci baru. Mereknya Salahuddin," demikian anekdot yang menyebar dan juga diketahui oleh Gus Sholah.

Gus Sholah menjelaskan bahwa ikut serta dalam gelanggang Pemilu bukanlah keputusan pribadinya semata. Kawan-kawannya sesama aktivis demokrasi, aktivis mahasiswa, dan beberapa pengurus NU dan PKB memintanya maju sebagai calon presiden atau wapres alternatif. Pertimbangannya, Gus Sholah adalah sosok yang tepat dan layak untuk membawa aspirasi mereka.

Ia pun sudah pula berkonsultasi dan minta restu kepada Gus Dur. Gus Sholah tak bisa mengabaikan restu Gus Dur karena pada waktu itu Gus Dur masih pula memperjuangkan diri untuk bisa maju sebagai capres PKB. Yang jadi penentu kebulatan pilihan Gus Solah kemudian adalah permintaan langsung dari pengasuh Pondok Pesantren Langitan K.H. Abdullah Faqih.

Gus Dur sebenarnya juga memberi opsi bahwa Gus Sholah sebenarnya bisa maju juga jadi calon presiden. Namun, dengan mempertimbangkan waktu yang terbatas dan kerumitan proses politik, ia memilih realistis saja.

“Suka atau tidak, kita harus melihat kenyataan Partai Golkar adalah pemenang pemilu. Mereka bahkan tidak mengalami penurunan perolehan suara,” tutur Gus Sholah.

Gus Sholah sadar banyak orang kecewa atas langkahnya. Bahkan, sebagian kiai NU pun tak bisa memahami mengapa putra ketiga KH Wahid Hasyim itu mau dipinang Wiranto sementara suara-suara antimiliterisme juga tengah kencang. Gus Sholah tahu hal itu, tapi ia juga tak bisa mengabaikan orang-orang yang menaruh kepercayaan padanya.

Pada akhirnya Gus Sholah meyakini bahwa apa yang ia lakukan dan kesempatan yang ia dapat adalah atas perkenan Tuhan.

“Menurut saya, yang penting apakah kita memilih maju menjadi capres-cawapres semata-mata untuk mencari kekuasaan, atau kita memang ingin memperjuangkan suatu tujuan yang baik atau mulia. Hal itulah yang akan membedakan. Kalau untuk saya, semua ini ditentukan oleh Tuhan,” tutur Gus Sholah.

Kiai Penulis

Kiai yang menulis tidaklah banyak. Di antara yang sedikit itu, Gus Sholah adalah satu yang produktif. Namun begitu, Gus Sholan mengaku baru mulai lebih intens menulis sejak 1998, usai kantor jasa kontraktornya terpaksa ditutup karena krisis.

“Saya benar-benar belajar dari nol menulis, karena saya memang tidak terbiasa dan tidak berbakat, berbeda dengan Gus Dur yang punya bakat sejak kecil,” sebutnya sebagaimana dikutip laman Radar Jombang.

Gus Sholah semakin tekun menulis sejak undur diri dari politik formal sekitar 2006 silam. Ia lantas pulang kampung ke Jombang dan mengasuh Pesantren Tebuireng yang lama ditinggalkannya. Di sela kesibukannya, Gus Sholah selalu menyempatkan membaca koran, bahkan mengklipingnya.

“Setiap hari beliau akan membaca koran dan mengguntingnya untuk dikliping menjadi satu berkas khusus dan diindeks per kasus,” ujar Nyai Farida, istri almarhum.

Kliping-kliping itulah yang kemudian jadi referensi menulis bagi Gus Sholah. Tak sekadar membaca dan mendokumentasikan, Gus Sholah juga merupakan seorang komentator sosial-politik. Dan dari tulisan-tulisannya di media massa kita tahu bahwa Gus Sholah sebenarnya tak pernah menanggalkan komitmennya pada kemanusiaan.

Infografik Salahuddin Wahid

Infografik Salahuddin Wahid. tirto.id/Sabit

Seperti tampak pada kolom bertajuk “Belum (Sepenuhnya) Menjadi Indonesia” yang terbit di Kompas (25 Mei 2012), Gus Sholah jeli menyorot turunnya sentimen kesukuan di Indonesia. Namun begitu, sentimen keagamaan justru muncul sebagai masalah baru. Konflik-konflik baru pun muncul, di antaranya polemik GKI Yasmin di Bogor, warga anggota jemaah Ahmadiyah Indonesia di sejumlah tempat, dan pengikut Syiah di Sampang.

Melihat perkembangan inteloransi yang demikian itu Gus Sholah tak segan mengkritik egoisme keagamaan sejumlah kalangan umat Islam.

“Banyak umat Islam dan tokoh-tokohnya tidak mampu memisahkan atau membedakan antara masalah keagamaan dan masalah kenegaraan. Kasus yang menimpa warga Syiah di Sampang menunjukkan bahwa warga hanya memakai hukum Islam (menurut tafsiran mereka) sebagai dasar tindakan, tanpa mau tahu bahwa warga pengikut Syiah itu warga negara Indonesia yang punya hak untuk hidup,” tulisnya saat itu.

Gus Sholah terus menulis menjelang akhir hayatnya. Sakit bukanlah batas, karena ia tetap meluangkan waktu menulis dengan ponselnya. Satu tulisan terakhir Gus Sholah kembali diterbitkan oleh Kompas (27 Januari 2020). Dalam tulisan berjudul “Refleksi 94 Tahun NU” itu Gus Sholah mengingatkan pengurus dan warga NU agar tak melulu berasyik-masyuk dengan politik.

Alasannya: “Pengalaman sejarah membuktikan bahwa karena organisasi NU memberi perhatian utama pada masalah politik, maka kegiatan organisasi dalam amal usaha (kegiatan pendidikan, sosial, kesehatan, dan ekonomi) terabaikan.”

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Windu Jusuf