Menuju konten utama

Jejak Festival Film Indonesia: Dedikasi Sineas & Keruwetan Politik

Festival Film Indonesia lahir dari kekecewaan karena tak bisa mengikuti Festival Film Asia di Tokyo tahun 1954.

Jejak Festival Film Indonesia: Dedikasi Sineas & Keruwetan Politik
Lukman Sardi, Ketua Komite FFI membuka anugerah insan film terbaik Indonesia yang berlangsung di Gedung Teater Jakarta, TIM, pada Minggu malam (9/12/18). tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Ketika industri film nasional belum genap dua tahun, film Si Pintjang sudah berhasil tampil di ajang Festival Film Internasional di Cekoslovakia pada 1952. Disusul oleh film-film berita buatan Perusahaan Film Negara (PFN) yang hampir setiap tahun dikirim pemerintah ke pelbagai acara internasional.

Si Pintjang memang beruntung. Film beraliran realisme sosialis besutan sutradara Kotot Sukardi itu mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Sukardi yang pada tahun-tahun berikutnya lebih banyak berkarya di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dikenal sebagai sutradara film kesayangan Sukarno.

Perlakuan berbeda terjadi pada Usmar Ismail. Polarisasi politik yang mulai ditunjukkan secara terbuka, meminggirkan sutradara yang condong pada pendidikan film Barat seperti Usmar. Tanpa bantuan pemerintah, ia terpaksa memublikasikan sendiri film-filmnya, baik di dalam maupun ke luar negeri.

Pada akhir tahun 1953, Djamaluddin Malik selaku direktur perusahaan film Persari yang sudah akrab dengan dunia perfilman Filipina, menganjurkan kepada Usmar agar menghadiri konferensi produser film se-Asia di Manila. Usmar yang sebelumnya giat membuat film-film tentang revolusi seperti Darah dan Doa dan Enam Djam di Djogdja, menjadi satu-satunya sutradara Indonesia yang berpartisipasi dalam acara tersebut.

“Saya adalah satu-satunya orang film Indonesia yang turut hadir, hingga saya diberi gelar the only lonely delegate,” kenang Usmar dalam kumpulan tulisan Usmar Ismail Mengupas Film (1983: hlm. 113).

Berdasarkan kisah yang dituturkan Misbach Yusa Biran kepada Ramadhan KH dan Nina Pane dalam memoar Djamaluddin Malik Melekat di Hati Banyak Orang (2006: hlm. 141), sekembalinya sang sutradara dari Manila, Djamal dan Usmar langsung mengadakan rapat di restoran Bioskop Capitol. Keduanya sepakat bahwa Indonesia harus ikut dalam ajang Festival Film Asia (FFA) pertama di Jepang pada Mei 1954.

Lahir dari Penolakan

Saat itu, Indonesia sedang tidak memiliki film yang cukup baik untul bersaing dalam FFA I. Dari sinilah Usmar dan Djamal--yang kemudian dijuluki sebagai dwitunggal perfilman Indonesia--mencetuskan ide untuk melakukan produksi gabungan yang diberi judul Lewat Djam Malam.

Pembuatan Lewat Djam Malam terbilang kilat. Hanya dalam kurun beberapa bulan, naskah buatan Asrul Sani berhasil diterjemahkan ke dalam bentuk visual oleh Usmar Ismail. Djamal sendiri tidak keberatan menanggung beban pengeluaran produksi yang di atas rata-rata demi kesuksesan film tersebut.

Sayangnya, keikutsertaan Lewat Djam Malam dalam FFA I mendapat penolakan dari pemerintah. SM Ardan dalam Setengah Abad Festival Film Indonesia (2004: hlm. 8) sempat menduga di dalam badan produksi film itu terdapat aliran dana dari perusahaan Jepang.

Tidak hanya desas-desus pendanaan, lokasi acara festival yang bertempat di Tokyo pun mulai dipermasalahkan. Hal tersebut seolah memancing kemarahan rakyat Indonesia berkenaan pembayaran pampasan perang Jepang kepada Indonesia.

Menurut Aiko Kurasawa dalam Sisi Gelap Perang Asia (2019: hlm. 190), sejak bulan Januari 1954, pers Indonesia santer membicarakan maksud tersembunyi pemerintah Jepang di balik pampasan perang. Jepang mulai diolok-olok sebagai “penyerbu yang agresif” setelah beredarnya kabar bahwa Menteri Luar Negeri Jepang, Katsuo Okazaki, menganjurkan kepada pengusaha Jepang untuk mengambil bagian dalam pembayaran hutang dalam bentuk investasi.

“Indonesia sangat berhati-hati terhadap ambisi dunia usaha Jepang yang mencoba menggunakan pampasan perang untuk perkembangan ekonomi Jepang,” tulis Kurasawa.

Sampai akhir tahun 1954, urusan tersebut tidak kunjung usai. Djamal yang mulai kesal melihat filmnya terbengkalai, mengeluarkan keterangan pers pada Desember 1954 yang menyebut bahwa Indonesia akan membuat festival film sendiri. Selain sebagai obat sakit hati atas kegagalan ikut dalam FFA, Djamal dan Usmar berniat menyeleksi kembali film Indonesia yang pantas dikirim ke FFA tahun berikutnya di Malaysia.

“Tujuan pokok dari festival ini ada dua, yaitu selain sebagai seleksi bagi film yang akan dikirim ke FFA, juga bertujuan untuk mendorong perbaikan mutu film Indonesia. Kedua tujuan pokok tersebut masih terbayang sebagai landasan pikiran Festival Film Indonesia (FFI) sampai sekarang ini,” tulis Misbach Yusa Biran.

Lagi-lagi seluruh biaya acara ditanggung Djamaluddin Malik. Tidak sedikit yang menganggap pengusaha asal Minang itu sedang linglung. Orang-orang yang berseberangan dengan Djamal mulai saling berbisik, mengatakan bahwa tidak akan ada produser atau artis film yang mau berpartisipasi FFI di tengah kondisi industri film yang masih serba sulit.

Nyatanya, semua anggapan itu keliru. Festival Film Indonesia berhasil menjadi perekat hubungan antara produser-produser film yang merasa tidak mendapat perlindungan dari pemerintah. Meski dikabarkan diwarnai polemik seputar pemilihan film terbaik, FFI pertama berhasil diselenggarakan tepat pada Hari Film Nasional tanggal 30 Maret sampai 5 April 1955.

Menurut catatan SM Ardan, FFI pertama diikuti tidak kurang dari 12 judul film dari total 65 film yang diproduksi pada tahun 1955. Pembukaannya yang berlangsung di Jakarta dimeriahkan oleh pawai artis yang dimulai dari Gedung Olahraga di Lapangan Monas. Dilanjutkan dengan pemutaran film-film pilihan di bioskop Metropole dan Cathay, serta beberapa bioskop di kota-kota besar lain di Jawa dan Sumatra.

Dari Nasional ke Daerah

Karena seluruh pengeluaran ditanggung oleh Djamaluddin Malik, maka FFI tidak bisa diadakan secara rutin setiap tahun. Warsa 1960 merupakan tahun terakhir Djamal menyelenggarakan FFI, sebelum akhirnya perusahaan filmnya bangkrut akibat hutang piutang.

Situasi politik yang semakin memanas, diikuti tutupnya sejumlah perusahaan film besar menimbulkan krisis dalam perfilman nasional. Tahun 1962, angka produksi film dalam negeri merosot dari 37 judul menjadi 12 judul, sehingga berat untuk menghidupkan kembali pekan film sekelas FFI.

Agar dapat memperbaiki kondisi tersebut, pada Agustus 1967 pemerintah Orde Baru mengadakan Pekan Apresiasi Film Nasional yang kerap disebut sebagai FFI ketiga. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa upaya ini merupakan bentuk pengekangan kepada seniman film. Usmar Ismail misalnya, ia menilai campur tangan langsung pemerintah dalam perfilman seharusnya tidak diperlukan.

Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia (1982: hlm. 77) menyebut pekan film Orde Baru itu diselenggarakan untuk menfasilitasi pembangunan dan perbaikan ekonomi di bidang industri film. Kendati terdengar melegakan, namun festival film yang awalnya dibangun secara mandiri oleh insan perfilman ini akhirnya diambil alih oleh pemerintah.

Meskipun pemerintah sangat antusias, festival yang diikuti seminar film itu tidak mencapai hasil yang diinginkan. Perfilman dalam negeri yang masih didominasi tradisi sinema era Sukarno, secara tidak langsung membuat kecewa orang-orang pemerintahan.

Infografik Jejak Festival Film di Indonesia

Infografik Jejak Festival Film di Indonesia. tirto.id/Quita

Akibatnya, acara pekan film kembali terbengkalai. Di pengujung dekade 1960-an, pemerintah hanya sibuk meyakinkan orang-orang film agar mau membuat film-film percontohan untuk mendorong jumlah produksi.

Awal tahun 1970, produksi film mengalami lonjakan yang signifikan. Hal ini kemudian mendorong seksi film Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jakarta, mengadakan pemilihan aktor dan aktris terbaik. Model pemilihannya meniru sistem nominasi Academy Award. Acara yang bertahan hingga medio 1970-an ini diikuti tidak kurang dari 30 judul film setiap tahun.

Melihat kesuksesan pemilihan aktor dan aktris terbaik, ketua Persatuan Karyawan Film dan Televisi Indonesia (KFT), Soemardjono, berencana menghidupkan kembali FFI. Kebetulan, Gubernur Jakarta Ali Sadikin sedang mencari acara penting yang dapat mendukung pembukaan Djakarta Theater. Atas bantuan Ali dan para pengusaha bioskop, FFI berhasil diselenggarakan kembali pada tahun 1973.

Krishna Sen mencatat dalam Kuasa dalam Sinema (2009: hlm. 93) bahwa di tahun-tahun berikutnya, peran dan bantuan gubernur daerah hampir tidak pernah lepas dari struktur organisasi festival film. Lokasi perayaannya pun berubah-ubah, yakni di tiap-tiap ibu kota provinsi sesuai dengan kesediaan para gubernur. Kondisi ini menimbulkan "permainan" di kalangan para pejabat dan gubernur yang ingin meningkatkan pamor masing-masing.

“Beberapa pihak memandang [Festival Film Indonesia] sebagai kampanye publisitas belaka bagi menteri-menteri penerangan dan gubernur-gubernur provinsi,” tulis Sen.

Keterlibatan pemerintah yang terlalu jauh menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi sebagian kalangan film. SM Ardan dalam Setengah Abad Festival Film Indonesia (2004: hlm. 2) menyebutkan bahwa tahun 1981 peran yayasan penyelenggara FFI semakin dicampuri pemerintah. Hal ini mendorong pemerhati film di Kota Bandung untuk membuat pekan film sendiri yang bernama Festival Film Bandung yang pertama kali diadakan pada tahun 1987.

Reformasi 1998 membawa angin segar bagi kebebasan berkreasi dalam industri film. Permulaan periode ini ditandai dengan kemunculan festival film daerah dan festival film independen yang tersebar di berbagai kota. Karakter dan tujuan dari festival itu sangat beragam dengan hasil kurasi konten yang juga berbeda-beda.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh