Menuju konten utama

Jejak Ahok di Pertamina: Kartu Kredit hingga Bongkar Borok Korporat

Gebrakan Ahok atau BTP yang meminta agar fasilitas kartu kredit bagi direksi dan komisaris Pertamina dicabut menuai polemik.

Jejak Ahok di Pertamina: Kartu Kredit hingga Bongkar Borok Korporat
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati (kanan) berbincang dengan Komisaris Utama Basuki Tjahaja Purnama (kiri) saat pembukaan Pertamina Energy Forum 2019 di Jakarta, Selasa (26/11/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nz

tirto.id - Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok kembali membuat langkah yang menuai polemik. Kali ini, Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) ini mempersoalkan fasilitas mewah jajaran direksi dan komisaris, yaitu kartu kredit dengan limit hingga Rp30 miliar. Ia mengusulkan fasilitas itu dicabut agar Pertamina bisa lebih hemat.

“Kalau berani memakai, ya harus berani buka [laporan belanja]” kata dia kepada wartawan, Kamis (17/6/2021).

Gebrakan Ahok agar menghapus fasilitas kartu kredit ini tentu bukan tanpa alasan. Sebab, metode pembayaran tagihan kartu kredit dilakukan dengan cara autodebit langsung dari kas perusahaan. Sederhananya, apa pun transaksinya, berapa besar nominalnya, tak peduli itu untuk urusan korporasi atau pribadi, setiap transaksi langsung dibayar secara automatis oleh perusahaan.

Di sisi lain, kata Ahok, jajaran pejabat Pertamina tidak ingin membuka laporan soal pemakaian kartu kredit itu. Karena itu, kata dia, sebaiknya fasilitas itu dicabut.

“CC [credit card] itu yang direksi auto debit dari bank setiap ada tagihannya. Tidak jelas. Makanya kalau enggak mau lapor dan jelaskan, iya tutup saja,” kata dia.

Sengkarut kartu kredit perusahaan itu akhirnya dibawa dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina, Senin (14/6/2021). Hasilnya, disepakati fasilitas kartu kredit perusahaan yang dipegang para pejabat ditarik. Keputusan itu dikukuhkan dengan surat Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini.

Ahok membenarkan isi surat resmi tersebut. Lewat langkah pencabutan fasilitas itu, Ahok yakin ada banyak penghematan yang bisa diperoleh perusahaan. Ahok pun sempat memberikan hitungan, seberapa berapa anggaran perusahaan yang bisa dihemat jika kartu kredit korporat dicabut.

“Jika satu direktur dapat Rp200 juta/bulan dan pemakaian CC [kartu kredit] sampai Rp17 miliar/ setahun. Hitung saja jika seluruh grup direksi dan komisaris. Karena umumnya selalu mentok plafon pemakaian tiap bulan. Data tidak pernah diberikan dan tidak dibuka ke Dewan Komisaris,” kata Ahok.

Penghematan juga akan berlanjut pada penghapusan uang representatif. Uang ini adalah tunjangan di luar gaji yang keberadaannya bahkan tidak masuk laporan ke Dewan Komisaris.

Tirto berusaha mengonfirmasi soal ini kepada jajaran direksi Pertamina. Reporter Tirto menghubungi Pjs. SVP Corporate Communication & Investor Relations, Fajriah Usman dan Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini sejak Kamis (17/6/2021). Namun, hingga artikel ini rilis, belum mendapat respons, baik kontak via WhatsApp maupun telepon.

Langkah penghematan memang sangat mendesak dilakukan Pertamina. Apalagi, perusahaan minyak dan gas (migas) pelat merah ini tengah mengalami tekanan keuangan yang tercermin dari tergerusnya laba sepanjang 2020.

Mengutip laporan keuangan yang dipublikasikan di situs resmi perusahaan, terlihat pada pada 2020 laba bersih Pertamina adalah sebesar US$1,05 miliar atau Rp15,3 triliun (14.572/US$). Bila dibandingkan dengan catatan tahun 2019, angka tersebut terpantau turun lebih dari 50 persen, tepatnya 58,4 persen. Pada 2019 Pertamina masih mampu mencetak laba bersih mencapai US$ 2,35 miliar atau Rp 35,8 triliun.

Langkah Ahok Menuai Kritik

Staf Khusus III Menteri BUMN Arya Sinulingga menjelaskan, fasilitas kartu kredit memang diberikan pada pejabat Pertamina sebagai penunjang kerja, bukan untuk keperluan pribadi. Namun, Arya membahkan pernyataan Ahok soal Komisaris Utama Pertamina menerima fasilitas kartu kredit korporat dengan limit hingga Rp30 miliar. Ia menyebut Kementerian BUMN tidak memberikan fasilitas semewah itu.

“Hasil pantauan kami limitnya tidak ada yang sampai Rp30 miliar. Limit atasnya Rp50-100 juta dan pemakaian hanya untuk kepentingan perusahaan. Saya juga cek ke Pertamina, menurut mereka tidak ada limit kartu kredit mencapai Rp30 miliar baik untuk direksi dan komisaris,” kata dia saat dikonfirmasi reporter Tirto lewat keterangan tertulis, Kamis (17/6/2021).

Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade mengatakan isu internal mengenai pemakaian kartu kredit korporat di Pertamina, sebaiknya diselesaikan di internal perseroan. Isu kartu kredit dengan limit fantastis pun tidak berdasar, kata Andre.

“Pak Ahok itu menebar informasi bohong yang luar biasa, dia bilang CC-nya limit Rp30 miliar. Menurut Kementerian BUMN, saya telepon Pak Pahala [Komisaris Pertamina/Wakil Menteri BUMN] kartu kredit Pak Ahok itu limitnya Rp75 juta, mungkin Rp30 miliar itu tagihan seluruhnya, tagihan kartu kredit seluruh pejabat di Pertamina,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (18/6/2021).

Andre menyayangkan sikap Ahok yang membuat situasi bisnis perseroan tidak kondusif. Fokus utama Pertamina saat ini seharusnya adalah pembenahan kilang dan perbaikan kinerja perseroan. Andre pun mengingatkan, janji Ahok dua tahun lalu saat ditunjuk jadi Komisaris Utama Pertamina yaitu akan memberantas mafia migas belum juga tampak progresnya.

“Pak Ahok itu dibayar mahal belasan miliar per tahun oleh negara bukan untuk ngurus hal kecil ecek-ecek, dia janji mau brantas mafia migas, mana? Coba dia sebutin mafia migas yang sudah diberantas, gak ada,” kata dia.

Selain target yang belum tampak progresnya, politikus Partai Gerindra ini juga menyayangkan sikap Ahok yang mengorbankan perseroan demi kepentingan pribadi.

“Saya usulkan Pak Ahok karena gak ada pengalaman dan terus bikin gaduh ikut program pelatihan komisaris yang dibentuk Erick Thohir. Dia komisaris loh, selesaikan di internal, bukan teriak-teriak di luar bikin gaduh yang seakan akan membangun pencitraan. Jadi jangan korbankan perseroan demi kepentingan pribadi,” kata Andre.

Hal senada diungkapkan pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi. Ia mengkritisi langkah Ahok yang seharusnya mengurusi permasalahan yang lebih besar. Misalnya percepatan dari perbaikan dua kilang yang terbakar sampai mafia migas.

Menurut dia, kartu kredit korporat dibutuhkan pegawai Pertamina jika sedang bertugas ke luar negeri, jangan sampai permasalahan ini nantinya akan menghambat kerja pegawai di kemudian hari.

“Ini terlalu berlebihan, seharusnya kan bahas perbaikan kilang kapan selesai. Kemudian mungkin hasil penyelidikan dari internal atas kebakaran itu berasal dari apa, pemicunya apa? Bukan permasalahan kartu kredit," kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (18/6/2021).

Ahok Pernah Bongkar Borok Pertamina

Langkah Ahok mengumbar masalah Pertamina ke publik bukan pertama kali terjadi. Pada September 2020, Ahok juga pernah blak-blakan bicara tentang hambatan transformasi internal di Pertamina. Pernyataan yang ia sampaikan dalam dialog bersama WNI di Amerika Serikat di kanal Youtube Amerika Bersatu saat itu pun memicu kontroversi.

Salah satunya tentang permintaan agar Kementerian BUMN, induk Pertamina, dibubarkan saja. Ahok beralasan besarnya bidang cakupan bisnis sulit terpantau menteri. Sebagai gantinya dibentuklah super holding.

“Keputusan RUPS menentukan KPI (key performance indicator) di Kementerian BUMN. Harusnya Kementerian BUMN dibubarkan. Kita harus membangun semacam Temasek (BUMN Singapura). Semacam Indonesia Incorporations,” kata Ahok.

“Ini BUMN sudah beranak, cucu, cicit, canggah, seenaknya itu di bawah. Bagi bonus seenaknya. Kami enggak bisa kontrol lagi karena enggak punya orang,” katanya. Seorang Presiden pun, menurutnya, tak dapat mengontrol BUMN.

Kendala sumber daya manusia lain di Pertamina adalah ‘status quo’. Ia menyadari kehadirannya akan mengganggu orang-orang yang sudah nyaman. Ia memberi contoh, ada yang memancing amarahnya untuk lapor polisi atas sebuah ucapan tak patut dari pegawai. Namun, Ahok berusaha tetap ‘dingin’.

Untuk duduk sebagai direksi dan mulus menjalankan usaha, Ahok juga mendapati ada lobi-lobi dengan kementerian. “Jadi direksi-direksi semua lobinya ke menteri, kan yang menentukan menteri. Dan menurut saya, ada komisaris-komisaris ini titipan dari kementerian-kementerian,” katanya.

Ahok mengendus adanya kepentingan dari dewan eksekutif untuk mencari komisi atau “fee” dari aksi korporasi. Antara lain ketika membeli ladang minyak di luar negeri atau membeli LNG dengan harga mahal ketika harga pasar tengah menukik.

“Kalau menilai mereka (direksi) itu, ada tiga kemungkinan. Dia punya conflict interest. Ikut main. Ada dapat komisi, dapat fee. Kedua, dia enggak ikut main tapi juga takut mengganggu bawahnya, takut terjungkal dari posisi. Ini kan kursi nyaman,” imbuhnya.

Saat itu, Arya Sinulingga menanggapi pernyataan-pernyataan Ahok dengan mengatakan sebaiknya ia bicara di dalam. “Kami berikan ruang untuk direksi dan komisaris melakukan komunikasi dengan baik,” kata dia.

Soal pernyataan terkait lobi-lobi direksi ke kementerian dan ada komisaris titipan, Arya mengatakan, “soal komisaris di BUMN ya semua berasal dari Kementerian BUMN, termasuk Pak Ahok juga dari kita.”

Sementara VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan perseroan terus berupaya agar tiap langkah yang diambil merupakan keputusan yang bijak dan profesional seturut kemampuan perusahaan.

“Hal-hal yang bersifat corporate action dilakukan manajemen dalam rangka pertumbuhan perusahaan dan juga memastikan ketahanan energi nasional. Tentu saja akan mempertimbangkan internal resources dan dilakukan secara prudent dan profesional,” ucap Fajriyah, Rabu (16/9/2020).

Baca juga artikel terkait KARTU KREDIT atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz