Menuju konten utama
29 November 2019

Jeihan Sukmantoro: Pelukis Edan, Penyair Mbeling

Sedikitnya, perlu sembilan pameran sebelum mata hitam diakui sebagai capaian terluhur seorang Jeihan.

Jeihan Sukmantoro: Pelukis Edan, Penyair Mbeling
Jeihan Sukmantoro. tirto.id/Sabit

tirto.id - Di negeri ini, pernah ada suatu masa di mana orang kaya belum layak disebut orang kaya sebelum mengoleksi lukisan Jeihan, pelukis nyentrik yang identik dengan lukisan-lukisan si mata hitam.

Tren lukisan Jeihan menjadi tolak ukur kekayaan seseorang dimulai pada perayaan 40 tahun kemerdekaan Indonesia, tepatnya ketika bersama S. Sudjojono, Bapak Seni Rupa Modern Indonesia, lelaki kurus jangkung itu menggelar pameran “Temunya 2 Ekspresionis Besar” di Istana Ballroom Hotel Sari Pasific, Jakarta, 4-11 Agustus 1985.

Kala itu, Jeihan si pelukis muda membandrol lukisannya di luar akal sehat, yakni antara 5 ribu hingga 50 ribu dolar AS. Jika sekarang angka tersebut tampak biasa, sebagai gambaran, saat itu karya paling mahal pelukis old master sekelas Affandi sekalipun tak lebih dari 2 ribu dolar AS saja.

Dalam Jeihan: Maestro Ambang Nyata dan Maya (KPG, 2007), Mikke Susanto menerangkan bahwa enam lukisan Sudjojono yang laku pada pameran tersebut perolehannya mencapai Rp12 juta. Adapun dua lukisan Jeihan yang terjual masing-masing dihargai 35 juta dan Rp50 juta. Ketika Sudjojono menyaksikan fakta tersebut, seturut kesaksian Jeihan, ia pingsan berjam-jam.

“Aku mengalahkan Sudjojono. Aku mengalahkan Sudjojono.” Demikian pernyataan Jeihan, dengan nada girang, saat saya mendengarnya bicara sekira 2013 silam.

Jeihan lahir di Ngampel, Boyolali, dekat Solo, 26 September 1938. Sejak kecil, kehidupan ‘sahabat sampai kiamat’ penyair Sapardi Djoko Damono ini kerap diliputi macam-macam penyakit, hoki, sekaligus berbagai hal yang tak masuk akal dan paradoksal.

Pada usia empat tahun, misal, ketika kebanyakan anak seumurannya masih dilimpahi kasih sayang orangtua, Jeihan malah diasuh oleh saudara ibunya. Tujuannya mulia, sebetulnya, yakni agar Jeihan mendapat pengasuhan dan pendidikan yang lebih baik. Tapi, Jeihan malah jatuh dari tangga. Salah satu tulang lehernya patah dan mendesak otak kecilnya. Dokter yang merawat Jeihan menyarankan agar otak si anak ‘diistirahatkan’ sampai usianya 14 tahun.

Pada usia enam tahun, sakit Jeihan memuncak. Kepalanya kerap dirundung sakit luar biasa, bergemuruh, seolah diinjak-injak kaki-kaki kuda yang menderap. Pengalaman itu, percaya atau tidak, membuat Jeihan meyakini dirinya pernah hidup pada abad ke-18, tepatnya pada zaman Geger Kertasura, sebagai salah seorang pembesar keraton Kartasura yang setia membela Raja Pakubuwono II, namun malah dianggap berkhianat dengan memihak pemberontak.

“Kalau ada yang dihukum pendhem, dikubur berdiri dengan kepala nongol di atas tanah ditendang kuda dan digilas kereta, itulah saya,” kata Jeihan, sebagaimana dicatat Jakob Sumardjo dalam Jeihan: Ambang Waras dan Gila (Jeihan Institute, 2007).

Karena sakitnya berkepanjangan, Jeihan diruwat. Ia diberi nama tambahan, Slamet, dan kerap diajak mengemis di pasar dengan pergelangan dilingkari gelang telon—tiga gelang dari perak (putih), tembaga (merah), dan kawat (hitam)—agar penyakitnya sembuh total.

Jakob Sumardjo berpendapat, ritual semacam itu lumrah dilakukan mengingat pada upacara-upacara di keraton Jawa, orang-orang cebol, manusia bule, orang kere dan gelandangan lazim dilibatkan dalam kirab berskala edan-edanan.

“Pengemis dan orang gila dihormati di kalangan pedagang pasar. Orang gila itu transenden, begitu pula pengemis. Dengan memberi pada yang trasenden, pedagang akan memperoleh berkah atau keberuntungan,” tulis Jakob.

Sebagai anak berdarah biru—dari pihak ayah trah Jeihan sampai pada Pakubuwana X—Jeihan tak mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat. Secara formal, bahasa yang pertama kali dipelajari Jeihan adalah bahasa visual. Ia belajar menggambar di Himpunan Budaya Surakarta (HBS), yang didirikan oleh Dr. R. Moerdowo pada 1950. Kelak, sanggar ini menjadi semacam kawah candradimuka bagi W.S. Rendra, Remy Sylado, Harmoko, dan Fuad Hasan—dua nama terakhir tercatat pernah menjadi menteri di era Soeharto.

Di samping menggambar, Jeihan kecil juga belajar membaca dan menulis huruf Latin serta huruf Jawa. Ia langsung masuk SMP dengan lebih dulu mengikuti ujian persamaan di sebuah SMP Kristen. Ajaibnya, dari 80 peserta yang mengikuti ujian persamaan itu—kebanyakan dari mereka adalah orang dewasa yang telah bekerja dan masuk dinas tentara, beberapa di antaranya bahkan masih menenteng pistol ke sekolah—hanya 5 orang yang dinyatakan lolos, termasuk Jeihan si anak autis.

Ya, Jeihan mengakui dirinya autis. Ia punya dunia sendiri, asyik dengan pikiran sendiri, bicara dalam tempo cepat, dan pembawaannya meledak-ledak. Sejak SMP, Jeihan juga sudah mulai memberontak. Ia rutin bolos dari sekolah, menganggap guru-gurunya bodoh, tapi aktif memimpin kegiatan ekstrakurikuler, terutama teater dan melukis.

Saat Sapardi Djoko Damono mulai mengirimkan puisi ke majalah dinding SMA Negeri Margoyudan (kini SMAN 3 Solo), Jeihan adalah pemimpin redaksinya. Tak jarang, Jeihan mengusili karibnya itu dengan mengubah nama Sapardi menjadi Supardi. Supardi Djoko Damono.

Di SMA, kenakalan Jeihan menjadi-jadi. Di samping mulai mendandani dirinya dengan celana jins ketat berhiaskan kancing metal dari atas sampai ujung kaki, lalu bersepeda keliling kota dengan sepeda jengki, remaja yang dikenal sebagai crossboy kota Solo itu masih rajin bolos sekolah. Akibatnya, Jeihan kena skors. Alih-alih jera atau putus asa, selama menjalani masa skorsing, pelajar yang disukai teman-teman perempuannya itu malah aktif melukis hingga berhasil menggelar pameran perdana (1958).

Menjelang ujian akhir, Jeihan kembali sekolah. Paryatmo, kepala sekolahnya, memberi peringatan keras bahwa lulus atau tidak lulus Jeihan mesti keluar dari SMA Margoyudan. Hasilnya, sejarah mencatat, Jeihan lulus dan melanjutkan pendidikan tinggi ke jurusan Seni Rupa ITB.

“Jeihan, jin apa yang membantu kamu lulus?” tanya Pak Paryatmo, guru yang kemudian sering membangga-banggakan muridnya yang edan itu.

Sampai tahun 1960-an, teman-teman dekat Jeihan masih mengenal Jeihan dengan nama Jeihan Slamet. Adapun nama belakang tambahan yang melekat padanya hingga wafat, Sukmantoro, didapat dari Soekiman, bapak kosnya di Bandung.

“Bapak Soekiman rupanya tergerak oleh tingkah laku Jeihan yang ugal-ugalan dan pemberontak ini. Mengingat Jeihan dari Solo dan masih punya kaitan pula dengan keluarga Pakubuwanan, maka Bapak Soekirman memberi nama baru Jeihan, yakni Sukmantoro yang mirip dan senada dengan nama anaknya sendiri, Toni Sumartono,” terang Jakob Sumardjo (hal. 120).

Setelah menyandang nama Sukmantoro, artinya medium sukma, Jeihan diajar kembali salat dan mengaji. Meski begitu, tetap saja sosok pemberontak dalam dirinya tak kunjung jinak. Meski menaruh hormat terhadap beberapa dosennya, antara lain Syafei Sumardja, Achmad Sadali, Srihadi Soedarsono, Soedjoko, dan Moctar Apin, tak jarang Jeihan mendebat dan mengejek mereka dengan ungkapan mandek karena “terlalu banyak mengajak berziarah ke masa lalu daripada piknik ke masa depan.”

Jeihan juga pernah berselisih dengan beberapa dosen karena menggelar pameran keduanya atas biaya sendiri, warsa 1962. Sekalipun pameran di Balai Wartawan Bandung itu mendapat apresiasi dari pelukis Popo Iskandar, Jeihan tetap dianggap bersalah karena peraturan saat itu mengharuskan kegiatan pameran mahasiswa mendapat izin lebih dulu dari pihak lembaga.

Puncaknya, Jeihan memutuskan cabut dari ITB lantaran tidak lulus ujian menggambar yang diampu Srihadi Soedarsono, pelukis besar sesama orang Solo. Pilihan itu terbilang berlebihan, sebetulnya, mengingat mahasiswa yang tidak lulus bukan Jeihan seorang, tapi semua teman sekelasnya. Jeihan memang pribadi yang amat percaya diri, perasa, pemaaf sekaligus pendendam, dan akan tersinggung jika hal sekecil apa pun berjalan tidak sesuai harapannya.

Saat memutuskan keluar dari ITB, ia hanya berseloroh: “Masak, jago tidak lulus!”

Perasaan kesal Jeihan terhadap Srihadi sirna ketika pada tahun 1999 keduanya bertemu di Padang Arafah dan sama-sama tengah menunaikan ibadah haji bersama keluarga masing-masing.

"Di situ Jeihan yakin bahwa pertemuan di luar dugaan ini adalah peringatan Allah kepada dirinya. Bahwa Jeihan tidak bisa terus menerus berkelahi untuk menjadi jago. Di atas jago masih ada jago," tulis Jakob Sumardjo (hal. 166).

Hasrat Jeihan untuk terus berkelahi dan menjadi jago paling tampak saat Jeihan nekat menjual lukisannya di atas harga lukisan S. Soedjojono. Alkisah, sebelum “Temunya 2 Ekspresionis Besar” digelar, keluarga Jeihan dan keluarga Soedjojono dijamu panitia, Citi Bank, di sebuah room hotel. Jeihan yang mengagumi sosok dan karya Pak Djon memulai ramah tamah melalui anak kecil yang dibawa Soedjojono.

“Ini anak Bapak?”

“Masak, sekecil ini anak saya. Cucu saya!” tukas Soedjojono.

Respon semacam itulah yang kemudian bikin Jeihan tersinggung sehingga membuatnya melakukan pembalasan dengan membandrol harga lukisannya gila-gilaan. Bahkan, sekalipun tema pameran itu "pertemuan", di mata Jeihan pameran tersebut tak ubahnya "pertarungan", tepatnya pertarungan "David melawan Goliath".

Meski begitu, melejitnya nama Jeihan setelah pameran tersebut sedikit banyak dipengaruhi juga oleh aturan Orde Baru. “Karena pameran itu disiarkan televisi, hanya Bapak yang boleh disorot kamera, Pak Djon tidak, lantaran keterlibatannya dengan PKI di masa lalu,” kata Atasi Amin, anak sulung Jeihan.

Lepas dari itu, tingginya harga lukisan Jeihan tak bisa lepas dari keyakinannya terhadap perkataan sendiri. “Jika ada pelukis gila, di seberang sana ada pula pembeli gila.”

Pusat Kesenian, Puisi mBeling, dan Hitam

Sebelum memiliki tanah luas di Pasirlayung, Padasuka, Kabupaten Bandung, Jeihan hidup melarat. Dalam salah satu puisinya, Keluarga Berencana 2, ia menulis:

Ata

Adi

Aga

Astaga

Anakku sudah tiga!

Biar saja

1973

Atasi ingat, saat masih tinggal di kawasan Jalan Kurdi, keluarga Jeihan kerap dikirimi makanan oleh keluarga Saini K.M. Menariknya, kala itu Saini juga bukan orang berpunya. Kebaikan Saini terhadap Jeihan membuat pelukis yang rajin masuk rumah sakit ini menaruh hormat dalam-dalam terhadap penyair sekaligus guru besar Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) tersebut.

Lain di Jalan Kurdi lain pula pengalaman Jeihan di Cicadas. Suatu ketika, Jeihan ditodong preman kelaparan. Ketimbang memberinya uang, Jeihan malah bilang bahwa perutnya sama-sama keroncongan. Berhari-hari kemudian, si preman mencari Jeihan dan memberinya makanan.

Rumah Jeihan di Gang Masjid 1 No 11 A, Cicadas, adalah tempat mangkal para seniman Bandung 1970-an, selain gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) di Jalan Naripan. Nama-nama seperti Remy Sylado, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Wing Kardjo, dan Ramadhan K.H. sering bertandang ke rumah itu. Bahkan pernah suatu ketika tamu-tamu itu menyebabkan istri dan anak-anak Jeihan mesti diungsikan ke rumah tetangga.

“Ya, waktu itu rumah kami dikuasai seniman,” terang Ata, sapaan Atasi Amin, diiringi tawa.

Di Gang Masjid, Jeihan mulai menjadikan tetangga-tetangganya sebagai model lukisan-lukisannya. Di sana pula Jeihan mencetuskan gagasan mengenai puisi mBeling. Gagasan itu, di samping merupakan reaksi atas Gerakan Kaum Urakan yang diinisiasi Rendra di Yogyakarta pada 1971, adalah perlawanan terhadap puisi-puisi adiluhung di majalah Horison.

“Soal puisi mBeling memang ada saling klaim antara Bapak dengan Om Remy. Bapak menyebut ide itu muncul darinya, karena Bapak yang menuliskan kredo puisi mBeling, sementara Om Remy berargumen dialah yang memprakarsai gagasan itu karena merupakan orang pertama yang memuatkan puisi-puisi mBeling di majalah Aktuil,” papar Ata, yang juga menulis puisi-puisi dengan corak main-main.

Tahun lalu, saat menggelar pameran “Hari-hari di Cicadas” di Museum Macan, Jakarta, 26 Maret-27 Juli 2019, Jeihan bertemu dengan Remy. Menurut Ata, disaksikan Sapardi Djoko Damono dan pengamat seni rupa Bambang Bujono, kedua orang itu masih saja memperdebatkan siapa di antara mereka yang lebih layak disebut sebagai pelopor puisi mBeling.

“Hasilnya memang tidak final, tapi setelah keduanya berdebat, Bapak dan Remy ketawa-ketawa lagi. Mereka juga foto bersama,” sambung Ata.

Sedikitnya, perlu sembilan pameran sebelum mata hitam diakui sebagai capaian terluhur seorang Jeihan. Sebelum harga lukisannya melejit, lukisan-lukisan Jeihan kerap diremehkan, bahkan disebut lukisan hantu terutama karena figur-figur di dalamnya yang bermata gelap terkesan melayang-layang akibat tidak adanya latar yang jelas, yang merujuk pada waktu dan tempat tertentu.

Saat menggelar pameran tunggal di Wisma Metropolotan II Jakarta (1987), kritikus seni rupa Sanento Yuliman—sosok yang disebut Jeihan sebagai mahasiswa cerdas ITB selain dirinya—menyebut lukisan-lukisan Jeihan memberi istirahat dan ketenteraman, sebab sang pelukis telah membersihkan orang-orangnya, model-modelnya, dari kepahitan dan ketegangan.

“Mereka tampak santai: duduk, berbaring, atau sekadar berdiri seenaknya. Blabar, garis batas luar, tubuh mereka meliuk lembut. Wajah tenang, tulus, dan netral. Pandangan mata—jendela jiwa yang lazimnya memancarkan kepribadian dan dorongan individu, kalau bukan keagresifan—direndam,” tulis Sanento, dalam resensinya di Tempo.

Jais Darga, seorang art dealer internasional yang sempat punya galeri di Paris, mengakui bahwa karirnya sebagai pialang lukisan bermula dari menjual lukisan-lukisan Jeihan. Jais, remaja mahiwal asal Cirateun, sebuah kampung di utara kota Bandung, mendapat lukisan Jeihan dari pelukisnya langsung seharga Rp500 ribu. Kepada temannya yang asal Perancis, ia menjual lukisan itu seharga Rp750 ribu.

“Lukisan Jeihan yang dibeli oleh Jeck Bekker, entah kenapa, masih selalu kupikirkan. Sebenarnya aku menyukai lukisan itu, tapi kurasa keuntungan yang kuterima sebanyak Rp250 ribu juga tak kalah menariknya. Lagi pula, bukankah Jeihan tidak akan berhenti melukis dan akan banyak lagi karyanya yang bagus yang bisa kubeli untuk kembali kujual dan mendapat keuntungan?” kata Jais, sebagaimana dicatat Ahda Imran dalam novel autobiografi Jais Darga Namaku (KPG, 2018).

Infografik Mozaik Jeihan Slamet Sukmantoro

Infografik Mozaik Jeihan Slamet Sukmantoro. tirto.id/Rangga

Hari-hari Terakhir

Jeihan memang terus melukis bahkan hingga menjelang akhir hayatnya. Sekira Juli 2019, saat tubuhnya cuma bisa berbaring akibat kanker getah bening, Jeihan masih sempat menyelesaikan satu lukisan pesanan kliennya di atas ranjang. Galih Persiana, wartawan IDN Times yang menuliskan kondisi Jeihan saat keluar masuk RS Boromeus, menjadi orang terakhir yang dilukis sang maestro. “Bapak membuatkan dia sketsa,” kata Ata.

Jika kepada Jakob Sumardjo, tetangga Jeihan di Pasir Layung, sang pelukis menyebut dirinya sempat hidup pada abad ke-18, kepada Endang Komar, sosok yang kerap membantunya menyiapkan kebutuhan melukis sejak 1970-an, Jeihan malah menyebutkan tanggal kematiannya.

“Sejak dulu, Pak Jeihan sering bilang ingin meninggal seperti ayah saya, hari Jumat. Dan sebelum mengembuskan napas terakhirnya, beliau juga sempat merangkul saya dan mengatakan bahwa dirinya akan mangkat sesuai nomor rumah.”

Tentu saja Endang menyikapi pernyataan itu sebagai racauan belaka. Tapi saat Jeihan wafat pada Jumat, 29 November 2019, tepat hari ini setahun lalu, bulu kuduknya meremang.

“Dua sembilan adalah nomor rumah di Cigadung, dan 11 adalah nomor rumah di Cicadas,” sambung Endang.

Sekira lima tahun lalu, kepada Faisal Kamandobat, penyair sekaligus perupa asal Cilacap, Jeihan pernah mengatakan bahwa dirinya sudah siap menghadapi ajal.

“Aku terkenal sudah pernah. Kaya juga sudah pernah. Tinggal mati yang belum, dan aku siap.” Ungkapan itu disampaikan Jeihan sambil menunjuk-nunjuk batu nisan hasil tatahannya sendiri yang diletakkan di samping mesjid Al-Jeihan Nurul Iman, sebuah mesjid di belakang studio Jeihan, Pasirlayung, Padasuka. Sedangkan di Gang Masjid, Cicadas, Jeihan lebih dulu membangun mesjid Al-Jeihan Nurul Falah.

Hingga sekarang, kedua mesjid itu masih aktif dan dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan masyarakat.

Baca juga artikel terkait PELUKIS atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Humaniora
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Windu Jusuf