Menuju konten utama
21 Oktober 2009

Jatuh Bangun Meggy Z Menahan Sakit Hati

Meggy Z dikenal sebagai penyanyi dangdut yang mengisahkan kisah asmara nelangsa.

Ilustrasi Mozaik Meggy Z. tirto.id/Sabit

tirto.id - Orang mungkin mengenal Meggy Z sebagai biduan dangdut yang menye-menye.

Anggapan itu meski bisa dimaklumi, jelas salah besar. Meggy Z mungkin adalah salah satu biduan dangdut paling sangar, meski tak pernah menampakkan kesangaran itu terang-terangan. Jika Rhoma Irama dikenal sangar karena penampilannya, juga akting-akting yang menampilkannya sebagai musisi jago berkelahi, Meggy jadi terasa sangar karena pengalaman hidupnya.

Dalam Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (2012), Meggy mengisahkan sekelumit cerita hidupnya yang mungkin tak banyak diketahui orang. Ketika remaja, Meggy sering nongkrong di Planet Senen, Jakarta Pusat.

Planet Senen di era 50-an hingga 60-an dikenal sebagai kawasan hitam. Tak semua orang mau nongkrong di sana. Sejarawan dan budayawan Betawi, Alwi Shihab, pernah menulis tentang Planet Senen di artikel “Penari Doger di Planet Senen”. Nama Planet, tulis Alwi, dicomot dari persaingan Amerika Serikat dan Uni Soviet yang berebut mengirimkan roket ke luar angkasa. Planet Senen kemudian dapat reputasi miring sebagai pusat pelacuran.

Alwi menggambarkan suasana Planet Senen yang tampak penuh, amat berjarak dari hukum, dan dilingkupi aura birahi yang kental. Para ciabo (istilah zaman itu untuk penyebut pekerja seks) tinggal di bangunan yang terbuat dari kotak sabun dan kardus, di pinggir rel kereta api. Gerbong-gerbong kereta yang sedang parkir, jadi kamar untuk tempat indehoy.

“Pernah terjadi ketika ada yang ngamar, tiba-tiba gerbongnya langsir dan baru berhenti di stasiun KA Jatinegara,” tulis Alwi.

Namun di Planet Senen pula, ada banyak hiburan yang tak melulu jual libido. Alwi menyebut ada penari Doger, alias pertunjukan tandak. Para penari itu, sebut Alwi, kebanyakan berasal dari Klender dan Bekasi. Mereka menor, memakai pupur buatan lokal dan gincu tebal. Para penari itu akan ngibing dengan diiringi gamelan Sunda.

“Tidak kalah erotisnya dengan goyangan Inul, Anisa Bahar, dan Dewi Persik,” kelakar Alwi.

Meggy muda, suka nongkrong di Planet Senen. Dia tampak gemar bergaul dengan kaum-kaum alergi kemapanan di sana. Meggy berteman dengan para seniman, pencopet, perampok, penjudi, dan tentu saja pelacur. Tentu saja yang paling menarik bagi Meggy adalah hiburan seninya. Tak ada kemeriahan dan keglamoran di sana. Hanya panggung yang terbuat dari beberapa lembar papan sederhana. Namun panggung ini egaliter, membuat Meggy terpikat.

“Siapa saja boleh datang dan menyalurkan bakat seninya di situ. Planet Senen itu sumber ilham yang tidak ada habisnya,” kenang Meggy.

Meggy tak asing dengan Jakarta sebab dia memang putra daerah, lahir dengan nama Meggy Zakaria pada 24 Agustus 1945. Tak banyak cerita soal masa kecilnya. Salah satu sumber yang menulis awal kariernya dengan cukup detail adalah buku Dangdut yang ditulis Andrew Weintraub.

Meggy disebut-sebut mengawali karier di dunia tarik suara ketika bergabung dengan Orkes Melayu Chandralela. Ini adalah Orkes Melayu yang didirikan oleh Husein Bawafie pada 1957 atau 1958. Peralatan musiknya terdiri dari gitar, mandolin, akordion, kendang, juga suling. Amat mungkin Meggy kenal Husein ketika nongkrong di Planet Senen.

Pada 1968, Meggy disebut-sebut menulis lagu dangdut pertamanya, “Permohonan”. Menariknya, lagu itu tak dinyanyikannya sendiri, melainkan dinyanyikan oleh Muchsin Alatas pada 1969. Mungkin saat itu Meggy sedikit bimbang memilih berdiri di jalur pencipta lagu, atau sekalian jadi penyanyi.

Era 1970-an, musik-musik Melayu dan India sudah bertransformasi menjadi dangdut. Musik ini kemudian dianggap sebagai musik rakyat, terutama karena basis mayoritas penggemarnya adalah rakyat kelas bawah. Weintraub menyitir beberapa penyebutan media Indonesia terhadap para penggemar dangdut: rakyat kecil, rakyat jelata, rakyat jembel, golongan bawah, kaum marginal, pinggiran, dan kelas menengah bawah.

Pada 1975, O.M Soneta yang dibentuk Oma Irama dua tahun sebelumnya merilis album perdananya, Begadang lewat label Yukawi Indo Music. Sebenarnya bisa dibilang ini bukan album penuh Soneta, melainkan split album, istilah untuk menggambarkan satu album yang diisi oleh dua kelompok musik.

Dalam Begadang, Side A diisi oleh 10 lagu karya Soneta. Sedangkan Side B berisi 10 lagu karya O.M Sagita. Salah satu penyanyi Sagita adalah Megi Z, yang entah kenapa tidak ditulis sebagai Meggy.

Meski dianggap berangkat nyaris bersamaan dalam industri dangdut, Meggy bisa dibilang kalah pamor oleh Rhoma Irama. Sang Ksatria Bergitar itu kariernya lebih cepat menanjak, dan tak hanya di panggung dangdut. Dia bahkan melebar hingga ke dunia film. Sedangkan Meggy namanya tak setenar itu.

Nama Meggy baru mulai populer secara nasional di era 1980-an. Ketika itu Meggy membawakan lagu ciptaan Obbie Messakh, “Lebih Baik Sakit Gigi”, yang lantas lebih dikenal dengan “Sakit Gigi”. Lirik Obbie memang asyik, penuh metafora dan kenelangsaan yang tiada banding. Namun cara Meggy menyanyikannya yang membuat lagu ini terasa lebih mengiris hati. Album yang menampilkan lagu itu pada masanya terjual hingga 300 ribu kopi, angka yang amat besar. Oleh label, Meggy diberi hadiah mobil terbaru masa itu, Mazda 323.

Selalu Apes Dalam Cinta

Meledak dengan lagu nelangsa itu, Meggy kemudian lekat dengan citra pria yang selalu dirundung kemalangan kalau bicara cinta. Lagu-lagu Meggy yang paling populer tak pernah jauh dari air mata, kekalutan hati, juga putus cinta. Sama sekali tak melambangkan karakter pria yang masa mudanya sering melihat mayat tergeletak di pinggir jalan.

Coba simak tembang seperti “Senyum Membawa Luka” (ralat: sebelumnya tertulis Anggur Merah), yang menghadirkan ratapan legendaris: sungguh teganya dirimu, teganya, teganya, teganya. Atau “Benang Biru”, yang dengan jenialnya menganggap cinta adalah lautan dan pria adalah para petualang yang saling bersaing.

“Orang lain yang berlabuh, aku yang tenggelam,” begitu Meggy, mencoba mengasihani diri sendiri.

Tema-tema lirik lagu Meggy memang tak jauh dari itu. Dia sendiri sadar tentang pasar dangdut dan para pendengarnya. Dalam sebuah wawancara yang lantas dimuat di buku Dangdut, Meggy pernah ditanya: seperti apa lagu dangdut yang bagus?

“Yang menjual,” jawabnya.

Weintraub menulis bahwa kebanyakan lagu Meggy memang berkisah tentang hubungan asmara lelaki dan perempuan, yang sering kali penuh penderitaan. Karena lagu itu laris, Meggy dan para sekondannya meneruskan lagu-lagu dengan tema seperti itu, juga cara bernyanyi yang tak berbeda.

Weintraub juga pernah membuat perbedaan antara pop Melayu dan orkes Melayu. Pop Melayu diisi penyanyi-penyanyi seperti Rhoma, Lilis Suryani, Muchsin Alatas, juga Elvy Sukaesih. Selain musik Melayu, mereka juga dianggap terpengaruh musisi pop, seperti Bing Slamet, The Beatles, hingga Tom Jones.

Sedangkan Meggy Z dianggap berangkat dari akar Orkes Melayu, yang terpengaruh musik , Timur Tengah, film India, dan lagu Melayu. Beberapa karakteristik lirikalnya memang berisi tema sakit hati, penderitaan, dan kehidupan sehari-hari.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/10/20/mozaik-infografik-meggy-z-1_ratio-9x16.jpg" width="860" alt="Infografik Mozaik Meggy Z" /

Menariknya, meski Meggy lekat dengan dangdut nelangsa yang dianggap musik kalangan kelas bawah, dia bisa melintasi perbedaan kelas ekonomi. Pendengarnya tak hanya kalangan bawah, tapi juga kalangan atas.

Pada awal 2000, ketika dangdut makin populer di televisi nasional, banyak acara dangdut bermunculan. Salah satunya adalah Asyiknya Digoyang Dangdut yang tayang di RCTI. Mereka dianggap berhasil memproduksi ulang sound dangdut agar bisa “cocok” dengan kelas menengah atas.

RCTI memang menarik Meggy Z dan komposer Toto Ario. Keduanya dianggap bisa menarik penonton di kelas A-B, alias penonton dengan pendapatan sekitar Rp8-10 juta per bulan, sekitar empat hingga lima kali gaji pegawai negeri.

Hampir lima dekade berkarier sebagai penyanyi dangdut, membuat nama Meggy amat lengket di benang pecinta dangdut. Bisa dibilang dia adalah salah satu penyanyi dangdut ikonik, mungkin hanya kalah dengan Rhoma Irama soal popularitas. Bahkan, pada akhirnya, Meggy mengikuti jejak Rhoma, kawan seangkatannya itu, bermain di layar kaca.

Meggy Z, biduan yang berkawan dengan siapa saja itu, meninggal pada 21 Oktober 2009 karena serangan jantung. Usianya 64 tahun. Meggy meninggalkan empat orang istri dan mantan istri dan enam orang anak. Ketika Meggy meninggal, banyak orang merasa kehilangan. Jelas, sebab dia adalah pedangdut yang melintasi waktu. Banyak yang berubah semenjak Meggy memulai karier. Ketika Planet Senen sudah lama tak ada, Meggy masih tetap berdiri dan bernyanyi.

“Meggy Z adalah seorang pejuang dangdut yang memiliki idealisme dalam bermusik. Saya rasa jasa beliau tidak kecil, beliau banyak menciptakan lagu-lagu yang evergreen,” kata Rhoma mengenang kawan seperjuangannya itu.

Baca juga artikel terkait DANGDUT atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Ivan Aulia Ahsan