Menuju konten utama

Jatuh Bangun Dinasti Djojohadikusumo dalam Politik Indonesia 

Keluarga Djojohadikusumo punya riwayat panjang dalam panggung politik Indonesia. Keterlibatan cabang atas keluarga mereka bisa dilacak hingga Perang Jawa.

Jatuh Bangun Dinasti Djojohadikusumo dalam Politik Indonesia 
Prabowo Subianto berfoto bersama keluarga Soemitro Djojohadikusumo. Tampak pula Ari Kuncoro, Dorojatun Kuntjoro Jakti, dan Faisal Basri usai menjadi pembicara kunci pada bedah buku di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (18/9/2017). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Sigar adalah marga besar di Langowan, kota distrik yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan dari Manado, Sulawesi Utara. Saat ini Langowan termasuk dalam Kabupaten Minahasa. Tidak begitu jauh dari Sentrum Tugu Johann Gottlieb Schwarz Langowan, terdapat kompleks pemakaman keluarga besar Sigar. Di tengah kompleks itu ada sebuah makam atas nama Benyamin Thomas Sigar alias Tawaijln Sigar.

Benjamin Thomas Sigar tergabung dalam pasukan Tulungan yang terlibat di akhir Perang Jawa (1825-1830). Dipercaya oleh orang-orang tua, Kapiten Benjamin Thomas Sigar adalah salah satu orang yang menangkap Pangeran Diponegoro.

Menurut dua sejarawan Minahasa, Roger Allan Kembuan dan Bode Tolumewo, Benjamin Thomas Sigar masih penganut Alifuru (agama asli Minahasa sebelum masuknya Kristen) dan di zamannya menjabat sebagai hokum tua (kepala desa) dan hokum besar (Kepala Distrik, setara camat). Orang yang menduduki jabatan itu biasanya punya istri lebih dari satu. Tak seperti laki-laki Minahasa Kristen masa kini, yang hanya boleh punya satu istri. Belakangan, Benjamin Thomas Sigar diberi pangkat mayor tituler oleh pemerintah kolonial.

Berdasarkan penelusuran jurnalis senior sekaligus sejarawan Minahasa yang tinggal di Tomohon, Adrianus Kojongian, seperti dicatat dalam blog pribadinya, Benjamin Thomas Sigar kemudian punya anak bernama Laurens Roeland Sigar—yang pernah jadi hokum besar juga di Langowan dari 1870 hingga 1884.

Laurens Roeland Sigar kemudian punya anak bernama Phillip Roeland Sigar—yang pernah jadi klerk (juru tulis) di Bogor. Phillip Roeland Sigar kawin dengan perempuan bermarga Alling dan menurunkan Phillip Fredrik Laurens Sigar, yang lahir pada 17 Mei 1885. Keluarga Alling adalah keluarga pegawai di Karesidenan Manado.

Seperti kakeknya, Phillip Fredrik Laurens Sigar pernah jadi hokum besar dan punya pangkat mayor titular juga. Intinya, kakek dan buyut Phillip Fredrik Laurens Sigar adalah orang-orang terpandang di Langowan.

Masih menurut Adrianus Kojongian, Phillip Fredrik Laurens Sigar memulai karir dengan magang di kantor Karesidenan Manado dan pernah jadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Manado dan Volksraad (Dewan Rakyat). Dari perkawinannya dengan Cornelie Emilie Maengkom—anak dari Hokum Besar Tondano-Touliang Jan Edward Maengkom—Phillip Sigar melahirkan 9 anak, salah satunya Dora Merie Sigar (1921-2008). Setelah 30-an tahun mengabdi kepada pemerintah kolonial, pada 1933, Phillip Sigar hijrah ke Belanda bersama keluarganya.

Di Belanda, Dora mengenyam pendidikan lumayan tinggi untuk ukuran perempuan di zamannya. Di negeri kincir angin itu pula Dora menemukan jodohnya. Ia seorang laki-laki Jawa yang sukses lulus sebagai doktor ilmu ekonomi dari Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam. Laki-laki itu bernama Soemitro Djojohadikusumo. Jika dikait-kaitkan dengan Perang Jawa, mereka berdua punya sejarah keluarga yang berlawanan.

Setelah menikah dengan Dora Sigar, Soemitro punya empat anak: Biantiningsih Miderawati Djiwandono, Marjani Ekowati le Maistre, Prabowo Subianto Djojohadikusumo, dan Hashim Sujono Djojohadikusumo. Soemitro dan Dora yang berasal dari dari latar budaya dan keyakinan berbeda itu tentu melahirkan keturunan yang beragam. Setidaknya Hashim adalah penganut Kristen dan Prabowo seorang Muslim.

Seperti Dora, Soemitro juga bukan keturunan orang sembarangan. Cabang atas silsilahnya sampai ke Tumenggung Kertanegara alias Tumenggung Banyakwide, salah satu priyayi pengikut Pangeran Diponegoro. Ayah Soemitro adalah Margono Djojohadikusumo, kelahiran desa Bodas Karangjati, Kabupaten Purbalingga, hari Rebo Legi 16 Mei 1894.

Bermula dari Margono

Jika Soemitro menempuh pendidikan hingga level doktor ekonomi, maka sang ayah setidaknya pernah belajar di sekolah dasar elite Europeesche Lagere School (ELS) Banyumas, dari 1900 hingga 1907. Margono lalu melanjutkan pendidikan di sekolah calon pegawai negeri Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Dua sekolah itu tidak menerima rakyat jelata sembarangan. Di zaman kolonial, Margono pernah bekerja sebagai inspektur di De Algemene Volkscrediet Bank (AVB) alias bank perkreditan rakyat.

Seperti diungkap dalam Seratus Tahun Margono Djojohadikoesoemo (1994), sedari muda, Margono suka mengamati perkembangan politik. Dia pembaca surat kabar De Expres dan waktu E.F.E. Douwes Dekker berceramah di Purworejo, Margono muda yang dinas di Cilacap menyempatkan diri hadir (hlm. 33).

Margono terlibat juga dalam Partai Indonesia Raya (Parindra). Selain di Cilacap, Margono juga pernah dinas di Purworejo. Sekitar 1915, Margono Djojohadikusumo kawin dengan Siti Katoemi Wirodihardjo.

“Margono berumur 21 tahun saat menikahi Siti Katoemi Wirodihardjo, gadis belia berusia 14 tahun di Purworejo,” tulis Aristides Katoppo dalam Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000: 4).

Dari perkawinan ini kemudian lahirlah banyak anak. Di antaranya adalah Soemitro, yang lahir pada 29 Mei 1917 di Kebumen. Dua anak laki-laki lainnya, Soebianto dan Soejono, ikut gugur dalam Peristiwa Lengkong bersama Daan Mogot.

Setelah Indonesia merdeka, Margono dikenal sebagai pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) dan pernah jadi ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Semasa hidup, Margono pernah menulis memoar berjudul Kenang-kenangan Dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis yang terbit pada 1969.

infografik dinasti djojohadikusumo

Soemitro Ambil Peran

Di masa kemerdekaan pula Soemitro yang lama di Eropa kembali ke tanah air. Dia memilih bersetia kepada Republik Indonesia. Di era Sukarno, Soemitro pernah jadi Menteri Keuangan (1952-1953) dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (1950-1951). Jika Margono punya sejarah dengan Parindra, maka Soemitro erat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang dipimpin Sutan Sjahrir.

Pada 1950-an, Soemitro dan keluarganya harus jadi pelarian ke luar negeri. Menurut catatan Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengengang yang Wafat (2003), Margono juga ikut menyingkir ke luar negeri (hlm. 173).

Setelah Sukarno dilengserkan dan Soeharto naik jadi penguasa, barulah keluarga Djojohadikusumo bisa pulang dengan tenang ke Indonesia. Pemerintah Orde Baru bahkan mengangkat Soemitro sebagai Menteri Riset (1973-1978). Di masa-masa awal Orde Baru itu, Prabowo masuk ke dunia militer dan berhasil jadi perwira pasukan khusus ABRI. Sementara Hashim yang lulusan luar negeri akhirnya jadi pengusaha.

Dua bersaudara Hashim dan Prabowo kemudian mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pada 6 Februari 2008. Dua suku kata terakhir dalam akronim nama partai itu mirip dengan dua suku kata terakhir dari partai tempat kakek mereka dulu bergabung.

Dalam partai yang menempati peringkat ke-3 di Pemilu 2014 itu, Prabowo, yang telah diberhentikan sebagai anggota militer sejak 1998, menjadi Ketua Dewan Pembina. Hashim, pemimpin grup usaha Arsari, menjadi Wakil Ketua Dewan Pembina.

Aktivitas politik klan Djojohadikusumo terus berlanjut hingga generasi di bawah Hashim dan Prabowo. Salah satu anak Hashim yang ikut serta di Gerindra adalah Aryo Djojohadikusumo. Sementara anak Prabowo dan Titik Soeharto, Ragowo Hedi Prasetyo Djojohadikusumo alias Didit, tidak terlibat dalam politik dan menjadi desainer di Paris.

Seperti pendahulunya, cobaan hidup juga dialami Aryo dalam berpolitik. Jika kakeknya pernah jadi pelarian dan pamannya kerap jadi bulan-bulanan isu pelanggaran HAM, maka nama Aryo dikaitkan dengan video porno yang belakangan beredar.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan