Menuju konten utama

"Jangan Sampai Terjadi Perang Harga AMDK"

Air minum dalam kemasan (AMDK) sudah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat perkotaan seperti Jakarta. Kini nyaris sulit dipisahkan dari masyarakat, mengingat kebutuhan air minum layak konsumsi sebagian besar bergantung pada produk ini.

Pengiriman minuman kemasan aqua [Tirto/TF Subarakah]

tirto.id - Ketua Umum Asosisasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN), Rahmat Hidayat mengatakan, lebih dari 65 persen warga di Jabodetabek mengonsumsi AMDK. Bahkan dari 25 miliar liter produksi nasional AMDK, lebih dari 60 persen didistribusikan untuk memenuhi pasar di Jabodetabek.

“Kita ada 60 perusahaan anggota ASPADIN yang beroperasi di Jakarta dan sekitarnya,” kata Rahmat saat dihubungi Mawa Kresna dari tirto.id, Jumat (21/10/2016).

Lalu sejak kapan AMDK muncul di Indonesia dan bagaimana AMDK berhasil merajai pasar di Indonesia? Brikut wawancaranya:

Sejak kapan AMDK muncul di Indonesia?

Mulai dari sejarahnya, tahun 1973 berdiri satu perusahaan AMDK pertama. Pendirinya sering membawa tamu dari luar negeri ke Jakarta. Dan para tamu itu tidak pernah mau minum air minum yang direbus di sini. Mereka maunya air kemasan, yang pada tahun 70-an masih diimpor dan hanya ada di hotel berbintang lima.

Kemudian bapak ini punya visi belajar teknologinya di luar negeri dan mendirikan perusahaan di sini. Awalnya menderita karena tidak ada yang mau membeli. Yang membeli hanya sedikit orang dari luar negeri. Tapi kemudian ada terobosan strategi, maka mulailah tumbuh industrinya. Jadi waktu itu kalangan elite kita minumnya AMDK.

Kemudian ekonomi Indonesia mulai tumbuh. Tumbuhnya ekonomi diikuti tumbuhnya jumlah penduduk. Orang butuh air bersih. Persoalannya, tidak diiringi dengan tumbuhnya air yang layak dikonsumsi oleh publik.

Bagaimana seterusnya?

Pertumbunan ekonomi membuat daya beli masyarakat naik. Artinya, AMDK yang tadinya hanya bisa dibeli oleh kalangan elite, akhirnya kelas menengah pun bisa beli. Ekonomi naik, namun publik utility (air bersih) tidak naik. Akibat kesejahteraan yang naik, akhirnya mereka mengonsumsi AMDK. Saya berani taruhan, orang di Jakarta sudah tidak merebus air lagi seperti saya dulu. Karena di Jakarta air sudah out (tak layak konsumsi), jadi harus konsumsi AMDK.

Jadi lama-lama, orang-orang di kota besar saja yang mikir mereka tidak bisa hidup tanpa AMDK. Padahal AMDK awalnya adalah barang yang ditujukan untuk memenuhi ceruk tadi, orang luar negeri yang tidak bisa minum air rebusan.

Apa yang menyebabkan konsumsi AMDK di Jakarta begitu tinggi?

Sekarang mengapa orang Jakarta banyak mengonsumsi AMDK? Pertama daya dukung alamnya sudah tidak memungkinkan untuk mengambil air tanah untuk dikonsumsi. Apalagi daerah Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Kedua, alternatifnya ada air pipa. Tapi problemnya belum semua terjangkau oleh air pipa, sementara mengonsumsi air sumur sudah tidak terlalu percaya diri. Akhirnya memilih mengonsumsi alternatif AMDK. Itu yang terjadi sekarang.

Apakah fenomena di Jakarta juga terjadi di daerah lain?

Kalau kita bergeser ke luar Jakarta, posisi AMDK bergeser lagi ke posisi seharusnya, yakni air yang diminum secara khusus oleh orang-orang yang punya penghasilan lebih.

Berapa persen warga Jakarta yang mengonsumsi AMDK?

Kami sangat terbatas soal data, jadi belum dapat menemukan secara spesifik, berapa orang atau berapa rumah tangga yang mengonsumsi AMDK sehari-harinya.

Berapa besar pasar AMDK di Jakarta?

Perkiraan untuk daerah Jabodetabek, warganya mengonsumsi 60 persen produksi nasional AMDK.

Dalam setahun memproduksi berapa?

Tahun 2015 produksi nasional 25 miliar liter.

Dari 60 persen pasar di Jabodetabek ada berapa merk?

Ada ratusan merk. Namun yang terdaftar di ASPADIN ada 217 perusahaan. Untuk Jawa dan Bali ada 110 atau di atas 51 persen. Jabodetabek 60 perusahaan, menyebar di daerah Jawa Barat. Ada yang di Bogor, Sukabumi, Cianjur, atau Tangerang.

Bagaimana iklim persaingan usahanya?

Persaingannya paling seru karena ada ratusan pemain. Mungkin merknya lebih dari seribu. Yang jelas luar biasa. Paling enak ke warung tradisional, berbagai merk itu dijejer. Begitu juga di minimarket. Tapi di situlah letak serunya. Loyalitas orang di AMDK itu tidak kuat. Misalnya ada orang pesen merk A dikasih merk B, pasrah saja.

Ada perang harga?

Kita berdoa jangan sampai terjadi perang harga AMDK karena akan membunuh industrinya sendiri. Perang harga itu tidak sehat. Yang pernah terjadi pengalaman di negara tetangga kita, Thailand. Akhirnya banyak yang mati karena mereka perang harga. Perang harga bakal mengorbankan kualitas. Dampak slanjutnya, perusahaan kecil yang darahnya sedikit akan tumbang. Kami sangat tidak berharap terjadi perang harga.

Bagaimana distribusi untuk Jakarta yang jutaan konsumennya?

Kalau dari pengalaman anggota kita, sharing antar anggota, distribusi dari pabrik dikirim ke distributor. Dari distributor nanti dikirim ke agen-agen, kemudian turun ke grosir, kemudian ke penjual eceran. Terjadi perputaran sangat cepat.

AMDK inikan produk yang harganya relatif tidak mahal, karena situasi ekonomi makin baik. Akibat harga tidak mahal, keuntungan di bisnis ini tidak bisa tebal. Karena tidak bisa tebal, komponen biaya terbesar salah satunya adalah logistik. Kalau terlau jauh mengangkut AMDK, bisa-bisa produsennya kerja bakti. Makanya produk pabrik AMDK tersebar, tidak terkonsentrasi. Tidak mungkin melayani seluruh pulau.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti