Menuju konten utama

"Jangan Sampai Presiden Turut Andil dalam Pembusukan MK"

Arief Hidayat dinilai tidak layak kembali menjabat sebagai hakim MK karena telah menerima dua sanksi pelanggaran etik.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat didampingi hakim Konstitusi Anwar Usman menjawab pertanyaan wartawan seusai menemui Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Presiden, Selasa (13/3/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta bersikap sensitif dengan laporan masyarakat tentang dugaan pelanggaran etik yang dilakukan calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat. Caranya, dengan menunda pelantikan Arief untuk kembali menjadi hakim MK yang dijadwalkan berlangsung Selasa (27/3) siang ini di Istana Negara.

“Jangan sampai Presiden Jokowi turut andil dalam pembusukan MK dengan melantik Hakim Konstitusi yang sudah terbukti 2 (dua) kali melanggar kode etik,” kata Ketua YLBHI Asfinawati dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Selasa (27/3).

Asfina mengatakan Arief sebenarnya telah enam kali dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik dan perilaku tidak patut sebagai hakim MK. Dewan Etik Konstitusi akhirnya memutuskan Arief melakukan dua pelanggaran etik. Meski sanksi etik untuk Arief bersifat ringan yakni berupa teguran lisan dan tertulis, namun menurut Asfina hal itu tetap tidak dapat ditoleransi.

“Perbuatan hakim konstitusi yang mengirimkan katabelece dan melakukan pertemuan secara tidak patut dengan politisi DPR RI jelas tidak dapat ditoleransi,” ujar Asfina.

Desakan publik agar Arief mundur dari jabatannya sebagai hakim konstitusi sudah lama digaungkan masyarakat. Asfina mengatakan jejak desakan itu tampak dari petisi dari di laman change.org yang sampai 26 Maret 2018 telah didukung 15.383 penandatangan petisi.

Selain itu, permintaan agar Arief mundur sebagai hakim konstitusi juga datang dari puluhan guru besar di berbagai universitas. Mereka menilai mundurnya Arief merupakan cara menyelamatkan marwah MK. Selain itu, ada laporan pelanggaran kode etik terhadap Arief yang sedang dalam proses pemeriksaan Dewan Etik. “Sudah sepatutnya Presiden Joko Widodo mengambil langkah tegas dengan tidak melantik seorang Hakim Konstitusi yang memiliki cacat legitimasi seperti Arief Hidayat,” kata Asfina.

Pada awal April 2018 mendatang MK dijadwalkan memilih ketua MK. Asfina mengingatkan Jokowi tidak boleh tinggal tinggal diam. Menurutnya pelantikan oleh Jokowi akan kembali membuka peluang Arief terpilih menjadi Ketua MK. Sebab bukan tidak mungkin saat kembali menjadi ketua MK Arief akan memafaatkan posisinya yang strategis untuk manuver-manuver politik.

“Yang ke depannya akan sangat merugikan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga,” ujar Asfina. “Jangan sampai MK kembali diketuai oleh figur bermasalah seperti Arief Hidayat.”

Berlawanan dengan Demokrasi

Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa menilai presiden tidak bersikap sensitif dan anti demokrasi jika tetap melantik Arief Hidayat.

“Presiden ini menganggap masyarakat sipil ini cuma teriak hao hao aja,” kata Desmond kepada Tirto. “Kritik saya Jokowi berlawanan dengan Demokrasi.”

Desmon mengatakan karena suara penolakan terhadap Arief kembali menjadi hakim MK telah disampaikan berbagai elemen masyarakat sudah sepatutnya Jokowi memperhatikan. “Kalau dianggap masyarakat sipil ini dianggap sebagai bagian gerakan perbaikan, tangkap juga mereka maunya apa,” kata politikus Gerindra ini.

Terhadap desakan-desakan tersebut, Arief mengisyaratkan dewan etik tidak pernah memintanya mundur. "Tanya dewan etiknya saya melanggar apa? Apakah saya harus mundur atau tidak, tanya Dewan Etik."

Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti juga meminta Jokowi menunda pelantikan Arief Hidayat.

"Kalau memang bisa ditunda dan bisa ada pembicaraan dengan DPR terkait hal ini, akan lebih baik," kata Bivitri kepada Tirto.

Di luar dua pelanggaran etik yang telah dilakukan Arief, Bivitri mengatakan Arief juga dilaporkan Persatuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) pada 19 Februari 2018. PBHI melaporkan Arief dengan dugaan pelanggaran etik atas sebuah percakapan di sebuah grup aplikasi whatsapp akademisi tentang perluasan RUU KUHP di pasal perzinaan. Namun, laporan tersebut sampai saat ini masih belum ditindaklanjuti oleh Dewan Etik MK.

Catatan Tirto pada 13 Februari 2018, 54 guru besar dan profesor di Indonesia mengirimkan surat tuntutan ke MK agar Arief Hidayat mundur dari jabatannya karena melanggar kode etik. Pada 21 Februari 2018, tuntutan yang sama juga disampaikan 300 civitas academica se-Yogyakarta melalui aksi yang dimotori mantan Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas.

Sementara, kata Bivitri, jika Arief Hidayat mendapat tiga sanksi ringan, maka Dewan Etik MK bisa menjatuhkan sanksi berat. "Jadi kalau Pak Jokowi lebih sensitif memperhatikan isu ini, harusnya paling tidak ada penundaan dulu sampai ada kejelasan soal-soal pelanggaran etik oleh Pak Arief," kata Bivitri.

Tidak hanya itu, Bivitri juga berharap DPR dapat bersepakat dengan Jokowi agar melakukan fit and proper test ulang terhadap Arief. Karena, menurutnya, secara undang-undang hal itu masih bisa terjadi dengan kesepakatan politik kedua pihak tersebut.

Bivitri menyatakan Presiden Jokowi harus belajar dari kasus Patrialis Akbar yang sempat ditolak masyarakat sipil karena tersangkut sanksi etik dan pada akhirnya benar-benar terjerat kasus korupsi. "Nah, saya enggak tahu ya Pak Arief nanti ini seperti apa," kata Bivitri.

Desakan yang sama juga disampaikan Koalisi Pemantau Peradilan agar pelantikan Arief Hidayat dibatalkan. Mereka juga meminta kepada para Hakim MK lainnya agar tidak memilih yang bersangkutan sebagai Ketua MK lagi, April nanti.

Anggota Komisi III Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu menyatakan tuntutan Bivitri dan elemen masyarakat sipil lainnya tidak bisa direalisasikan. Karena, menurutnya, Arief Hidayat telah diputuskan menjadi Hakim MK dalam rapat paripurna DPR.

“Keputusan itu sudah final and binded. Tidak dapat diganggu gugat,” kata Masinton kepada Tirto.

Mantan wakil ketua Pansus Hak Angket KPK ini menyatakan keputusan Presiden Jokowi melantik Arief Hidayat sudah tepat dan tidak melanggar undang-undang. Sehingga, menurutnya, tidak ada alasan pelantikan mesti ditunda atau dibatalkan.

"Kalau masyarakat sipil itu merasa Arief tidak layak, harusnya disampaikan waktu fit and proper test. Sebelum paripurna. Tapi kau lihat sendiri, kan, tidak ada mereka," kata Masinton.

Dalam kesempatan ini Masinton membantah terjadi lobi-lobi antara Pansus Hak Angket dengan Arief Hidayat sebelum fit and proper test Arief dilakukan DPR. "Tidak benar itu. Tidak ada lobi-lobi. Pak Arief lolos karena layak," kata Masinton.

Pada April 2016, Arief Hidayat pernah dijatuhi sanksi etik berupa teguran oleh Dewan Etik MK. Hal ini lantaran, Arief Hidayat dianggap melanggar etika dengan membuat surat titipan atau katabelece.

Dalam katabelece itu, terdapat pesan kepada Widyo Pramono agar bisa menempatkan salah seorang kerabatnya dengan bunyi pesan “mohon titip dan dibina, dijadikan anak Bapak”. Kerabat yang dititipkan saat itu bertugas di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur, dengan pangkat Jaksa Pratama/Penata Muda IIIC.

Dewan Etik MK kembali menjatuhkan sanksi kepada Arief Hidayat pada 11 Januari 2018. Ia dinilai terbukti melakukan pelanggaran etik ringan karena melakukan pertemuan atau lobi-lobi dengan sejumlah anggota Komisi III DPR, di Hotel Midyana Plaza, sebelum melakukan fit and proper test di DPR, Desember lalu.

Lobi-lobi tersebut diungkap ke publik oleh Desmond. Menurutnya, saat itu terjadi tawar menawar antara sejumlah oknum anggota Komisi III yang tergabung dalam Pansus Hak Angket KPK dengan Arief Hidayat. Arief melobi anggota Komisi III yang bertemu dengannya agar meloloskan dirinya dalam fit and proper test Ketua MK. Alasannya, apabila Saldi Isra yang terpilih bisa lebih pro ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Fraksi Gerindra menjadi satu-satunya fraksi di Komisi III yang meminta fit and proper test ditunda. Akibatnya, proses fit and proper test sempat buntu, meski akhirnya tetap dilaksanakan dengan keputusan meloloskan Arief Hidayat sebagai Hakim MK.

Arief Hidayat sempat membantah lobi-lobi tersebut dengan berdalih hanya melakukan pertemuan untuk membicarakan jadwal fit and proper test. Pasalnya, ia berhalangan melakukan fit and proper test yang sedianya dilakukan pada 27 November 2017 karena pergi ke Uzbekistan. Sehingga, ia meminta agar ditunda sampai Desember 2017.

Baca juga artikel terkait PELANTIKAN HAKIM KONSTITUSI atau tulisan lainnya dari Muhammad Akbar Wijaya

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Muhammad Akbar Wijaya
Editor: Muhammad Akbar Wijaya