Menuju konten utama

Jangan Sampai Kita Dengar Lagi Pasien Meninggal Kekurangan Oksigen

Krisis pasokan oksigen berdampak hilangnya nyawa penderita Covid-19. Penyebabnya: puncak beruntun kasus Covid-19 tak diprediksi pemerintah.

Jangan Sampai Kita Dengar Lagi Pasien Meninggal Kekurangan Oksigen
Pekerja menurunkan tabung oksigen kosong dari truk untuk diisi ulang, Pulo Gadung, Jakarta Timur (7/7/21). Rumah sakit mengalami kekurangan suplai oksigen beramaan dengan naiknya angka kasus Covid-19 sebulan terakhir. (tirto/Bhagavad Sambadha)

tirto.id - Gelisah. Tatap mata Syahrul bergantian secara simultan: antara pekerja yang tengah menurunkan tabung oksigen di depannya dan jam yang menempel di tangannya. Dia memanggil koleganya, lalu menanyakan sejauh mana tabung oksigen sudah diproses. Jawaban rekannya masih serupa dengan dua jam yang lalu.

“Masih belum bisa diambil ternyata,” katanya, saat saya temui pekan lalu. “Ternyata masih harus sabar.”

Sebagai tenaga kesehatan di RS Pengayoman, Cipinang, Jakarta Timur, Syahrul diburu waktu. Dia tak boleh terlambat. Konsekuensinya besar, ia hampir mengalaminya dua malam sebelumnya.

Persediaan oksigen, baik tabung dan central, di Rumah Sakit (RS) Umum Pengayoman sempat menipis. Padahal, beberapa pasien Covid-19 yang bergejala berat masih memerlukan suplai oksigen. Sebagai catatan, satu orang pasien bergejala berat, bisa butuh sekira delapan tabung oksigen, berukuran 1 m3 atau 1.5 m3, agar tetap bertahan hidup.

Pengelola RS pun sempat memutar otak. Sembari menunggu pasokan tabung yang baru, mereka menggunakan tabung oksigen dari pasien yang bergejala rendah terlebih dahulu, guna menopang kebutuhan mereka yang kondisinya lebih buruk.

Namun. opsi itu tak bisa berlangsung lama. Syahrul yang berada di lokasi pengisian oksigen berkali-kali menerima telepon dari petugas RS. Dia diminta untuk sedikit lebih cepat. Nasib pasien bergantung ke Syahrul.

“Kalau lebih dari jam 12 [malam] tabung oksigen tidak bisa datang, pasien kemungkinan besar meninggal dunia,” tuturnya yang sudah mengantre sejak sekitar pukul 07.00.

Beruntung, sekitar 40 tabung sudah terisi sebelum melewati batas waktu yang ditentukan. Meski dia harus mengantre sekitar 12 jam, sampai sekira pukul 19.00. Hanya selisih 6 jam dari tenggat waktu.

“Kalau dipikir-pikir, rasanya, kayak enggak mungkin saja. Tetapi, Allah masih membantu,” ucapnya.

Jika bisa memilih, Syahrul jelas ingin proses pengisian tabung oksigen dilakukan secara cepat, tanpa harus antre, melihat situasi genting yang sedang dihadapi. Masalahnya, keinginan tersebut terbentur mekanisme di lapangan.

Proses pengisian tabung oksigen memerlukan waktu kurang lebih 40 menit, untuk satu paket yang berisi empat tabung. Kebutuhan rumah sakit, ambil contoh Pengayoman, rata-rata 40 tabung. Maka total waktu yang dibutuhkan agar semua bisa terisi ialah sekitar 6 jam.

Kendalanya tak berhenti sampai di situ. Selain waktu pengisian yang tak sebentar, antreannya pun sangat panjang. Terlebih antrean itu sebagian limpahan dari hari-hari sebelumnya.

“Pusing kalau dipikir-pikir. Ini lama sekali nunggunya. Habis buat antre dan ngisi oksigen,” keluh Syahrul.

Pemprov DKI Jakarta sebetulnya tak tinggal diam. Mereka menggandeng PT Krakatau Steel Tbk, untuk penyediaan layanan isi ulang tabung oksigen, bertempat di Monas, Jakarta Pusat. Layanan ini terbuka bagi RS umum maupun swasta, dengan harapan kebutuhan pasokan tabung oksigen terpenuhi.

Akan tetapi, menurut Syahrul, yang selama ini berjibaku di lapangan, langkah tersebut tak cukup. Pemerintah, kata Syahrul, harus lebih aktif lagi membuka posko pelayanan. Di sisi lain juga harus mengendalikan pasokan tabung oksigen di pasaran dan memberi informasi sejelas mungkin kepada publik.

“Jangan sampai kita harus dengar lagi pasien yang meninggal karena kekurangan oksigen,” tegasnya. “Jangan sampai.”

Seperti Mencari Emas

Sudah lima hari berturut-turut, Agus Gumilang, warga Klender, Jakarta Timur memburu tabung oksigen. Itu untuk kebutuhan ibunya yang divonis positif Covid-19 dan memiliki penyakit penyerta: jantung.

“Nyari tabung oksigen kayak nyari emas,” kata Agus, saat saya temui pekan lalu.

Dia mengaku sudah mendatangi ke berbagai toko di daerah Jakarta Timur. Tetapi tak ada hasil. Begitu juga saat dia mencarinya melalui jaringan komunikasi WhatsApp dan telepon.

“Bingung,” keluhnya.

“Kontak ke sana dan ke sini. Tetapi, tetap saja kosong,” sambungnya.

Sedangkan Sandi, sedikit lebih beruntung. Dia mendapatkan tabung oksigen dengan cara pinjam ke tetangganya. Namun ia menemui masalah selanjutnya, harus antre untuk mengisi ulang. Saat saya temui, ia sudah mengantre selama empat jam di pusat pengisian milik PT Aneka Gas Industri Tbk, di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur.

Tempat itu berjarak 25 kilometer dari rumahnya. Tetapi ini, kata Sandi, adalah satu-satunya harapan yang tersisa. Dia sudah tiga hari pontang-panting mencari di daerah Bekasi, namun hasilnya nihil.

“Saya enggak punya pilihan. Daripada enggak dapat sama sekali, lebih baik nungguin saja, meski bakal lama nantinya,” ungkap Sandi, pasrah.

Tabung oksigen menjadi prioritas yang mesti Sandi penuhi, lantaran kondisi kesehatan ayahnya kian menurun karena terpapar Covid-19.

Dia sudah berusaha mencari rumah sakit untuk merawat ayahnya. Namun gagal terjadi usai dia mendatangi lima rumah sakit yang ternyata penuh. Akhirnya, ia memutuskan untuk merawat sendiri ayahnya, dengan segala keterbatasannya.

Dipicu Lonjakan Kasus Covid-19

Kebutuhan tabung oksigen bagi rumah sakit menjadi perkara yang krusial. Ini tak bisa dilepaskan dari kenaikan jumlah kasus positif Covid-19. Hal itu diungkapkan Lia Partakusuma, sekretaris jenderal Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi).

“Yogyakarta dan Jawa Tengah itu keterisian rumah sakit sudah 80 persen lebih. Sudah pasti ada RS yang butuh oksigen lebih dari 3 kali lipat dari kebutuhan awal, tergantung pasien berat yang datang,” terangnya melalui sambungan telepon, pekan lalu.

Krisis pasokan oksigen ini, kata Lia, disebabkan tumpukan pasien yang mengantre mendapatkan akses perawatan RS.

“[Di] Jawa Tengah beberapa rumah sakit menyampaikan mereka kekurangan tabung oksigen,” ia melanjutkan seraya menyebut daerah seperti Brebes, Purwokerto, Salatiga, Surakarta, Klaten, hingga Kota Semarang sebagai contoh.

Perbincangan mengenai tabung oksigen meroket dalam beberapa pekan belakangan, seiring dengan melonjaknya kasus Covid-19. Pemerintah masih silang sengkarut dalam memaknai kondisi di lapangan. Direktur Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin, Fridy Juwono, misalnya, mengakui bahwa terjadi kelangkaan di beberapa wilayah di Jakarta. Penyebabnya: tingginya permintaan.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, telah menyediakan tiga opsi penyelamatan. Pertama, membuka keran impor, berjumlah sekira 600 sampai 700 tabung setiap hari. Kedua, memenuhi kebutuhan oksigen konsentrator di rumah sakit maupun untuk warga yang diambil dari negara lain. Ketiga, mengambil kelebihan suplai dari sektor industri.

Poin yang terakhir dipertegas oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut B. Pandjaitan, yang mengatakan pemerintah resmi meminta seluruh pengusaha industri oksigen, mengalokasikan produksi oksigen-nya ke sektor kesehatan.

“Sekarang kita arahkan 100 persen oksigen yang dari industri untuk membantu dulu kesehatan,” ucapnya, awal Juli silam. Sebelumnya, alokasi oksigen dalam konteks penanganan Covid-19 sebesar 90 persen, sedangkan sisanya—10 persen—tetap berada di sektor industri.

Pada Kamis (15/7/2021) lalu, dalam konferensi pers, Luhut menjelaskan, ada bantuan tabung maupun konsentrator oksigen dari Singapura, Uni Emirat Arab, dan Cina.

Tipisnya ketersediaan tabung oksigen, awalnya terasa ganjil. Sebab Mei kemarin pemerintah masih bisa mengirim bantuan ribuan tabung ke India, yang tengah dilumat gelombang pandemi. Total ada 3.500 tabung yang dikirim, berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian.

Kekurangan tabung oksigen punya dampak yang serius. Kejadian di RS Umum Pusat Dokter Sardjito, Yogyakarta, mungkin bisa memperlihatkan hal tersebut. Sebanyak puluhan pasien Covid-19 diduga meninggal dalam kurun waktu semalam karena kehabisan oksigen.

Kabar ini bikin geger, akan tetapi lekas ditampik oleh Direktur RS Umum Pusat Dokter Sardjito, Rukmono Siswishanto, yang mengatakan bahwa pasien yang meninggal kondisinya sudah memburuk—alih-alih tidak memperoleh bantuan oksigen.

Pada akhirnya Budi Gunawan Sadikin memutasi jabatan Rukmono Siswishanto ke RSJ Prof Dokter Soerojo, Magelang, Jawa Tengah. Sedangkan Luhut mengatakan, tindakan RS Umum Pusat Dokter Sardjito "konyol". Sebab 18 jam sebelum stok habis, mereka baru ajukan permintaan tabung oksigen.

Masalah tak sebatas itu. Kekurangan oksigen di pasaran membikin munculnya praktik-praktik culas seperti penimbunan. Polda Metro Jaya, ambil contoh, telah meringkus tiga kelompok penimbun tabung oksigen di area Jakarta sejauh ini.

Kemudian, di Sidoarjo, Polda Jatim menangkap dua orang atas dugaan penimbunan tabung oksigen dan menjualnya di atas HET (Harga Eceran Tertinggi)—seharga Rp750 ribu ukuran satu meter kubik. Harga jual yang dipatok, lewat Facebook dan WhatsApp, yakni Rp1.350.000 per satu meter kubik. Ada kurang lebih 129 tabung yang ditimbun pelaku. Keuntungan yang diambil, berdasarkan keterangan kepolisian, mencapai Rp650 ribu per tabung.

Baca juga artikel terkait KRISIS OKSIGEN MEDIS atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Dieqy Hasbi Widhana