Menuju konten utama

Jangan Gengsi untuk Menangis

Menangis adalah satu bentuk ekspresi emosi. Ia bisa lahir dari kesedihan yang luar biasa, kelegaan luar biasa, atau kebahagiaan luar biasa. Dalam banyak peradaban, menangis adalah bentuk ekspresi kultural. Ia hadir dalam pemakaman dan juga pernikahan.

Jangan Gengsi untuk Menangis
Keluarga dari penumpang pesawat Air Asia penerbangan QZ 8501 menangis saat melakukan doa bersama di Crisis Center Air Asia di Terminal 2 Bandara Juanda Surabaya di Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/12). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat.

tirto.id - Menangis merupakan sebuah perkara sederhana yang sering kali diperumit oleh gengsi. Berbagai film, dari novel-novel Nicholas Sparks, menunjukkan adegan menangis karena tokoh utama terlalu keras kepala mengakui perasaannya. Di film-film dengan tema jatuh cinta dari pasien penyakit akut, menangis adalah bumbu drama, bisa jadi berlebihan atau pemanis, tergantung bagaimana persepsi seseorang memandangnya. Apakah benar menangis itu rumit?

Dalam majalah American Psychological Association yang ditulis oleh Lorna Collier pada Februari 2014, disebutkan menangis adalah bentuk ekspresi manusia yang punya akar di banyak kebudayaan. Menangis kerap kali dikaitkan sebagai ekspresi emosi dan psikologis. Pada 1980-an pakar kimia biologis William H. Frey, PhD mengemukakan bahwa perempuan rata-rata menangis 5,3 kali lebih sering daripada laki-laki dalam sebulan. Penelitian ini kemudian melahirkan persepsi bahwa perempuan cenderung lebih ekspresif daripada laki-laki.

Riset terbaru dari Lauren Bylsma, PhD, dari University of Pittsburgh yang dimuat dalam Journal of Research in Personality pada 2011 menyebutkan ada alasan mengapa perempuan menangis lebih banyak daripada laki-laki. Tubuh perempuan secara biologis memiliki jumlah hormon proclatin lebih tinggi daripada laki-laki. Hormon ini, menurut Lauren punya kencenderungan mendorong seseorang untuk menangis. Sementara pada laki-laki hormon testosteron mengurangi kecenderungan seseorang menangis.

Ad Vingerhoets, PhD, profesor psikologi di Tilburg University, Belanda, mengemukakan bahwa studi tentang penyebab manusia menangis makin berkembang. Menangis bukan sekedar ekspresi emosi, ia bisa lebih dalam daripada itu. Menurut Vingerhoets yang juga penulis buku Why Only Humans Weep, menyebutkan tangisan manusia lahir dari kondisi kompleks. Ia meneliti tangisan manusia dari waktu ke waktu untuk memahami latar belakang kultural kenapa seseorang bisa menangis, reaksi kimia yang terjadi dalam air mata, dan memeriksa pemicu tangisan. Vingerhoets juga meneliti apakah menangis bersama dapat membentuk ikatan sosial antar sesama.

Studi yang dilakukan pada 35 negara menemukan bagaimana laki-laki dan perempuan berbeda dalam menangis. Di beberapa negara menangis punya makna berbeda dengan persepsi yang mungkin dilihat oleh masyarakat negara lain. Perempuan-perempuan di Chili, Swedia, Amerika Serikat ditemukan menangis lebih banyak daripada perempuan di Ghana, Nigeria, dan Nepal. Riset yang dipimpin oleh Dianne van Hemert, PhD yang dimuat di Cross-Cultural Research menyebut, semakin mapan, kaya, dan stabil sebuah negara maka ekspresi emosi cenderung lebih kaya. Sementara negara yang lebih miskin tidak punya kemewahan itu.

Mandy Oaklander, menulis di Time pada Maret lalu dengan tajuk The Science of Crying. Dalam artikel itu Mandy mengungkapkan bahwa komunitas ilmiah sejauh ini hanya fokus pada sisi psikologis daripada sisi fisiologi mengapa manusia menangis. Ia mengungkapkan sejauh ini tangisan kerap diliputi mitos biblikal dan dongeng ketimbang alasan ilmiah. Di Perjanjian Lama, air mata disebut lahir dari hati yang lemah, sementara bagi Hippocrates, air mata merupakan produk dari pikiran manusia.

Mengutip pernyataan Charles Darwin, 150 tahun lalu yang mengatakan bahwa tangisan tidak punya nilai guna apapun bagi manusia. Pada 1662 ilmuan dari Denmark bernama Niels Stensen menemukan bahwa kelenjar lakrimal yang dimiliki manusia merupakan sumber dari air mata. Stensen mengungkapkan bahwa air mata punya manfaat untuk menjaga agar mata tetap lembab dan melindunginya dari partikel asing yang masuk ke mata. Penemuan ini yang kemudian mendorong peneliti dan ilmuan untuk mencari tahu apa manfaat air mata.

Beberapa teori tentang air mata bisa demikian konyol. Seperti teori bahwa manusia berasal dari kera laut dan air mata membantu kita hidup di air asin. Teori yang menyebutkan bahwa air mata berfungsi untuk membuang kandungan berbahaya dari darah yang keluar saat stres. Kedua teori itu tentu tidak didukung dengan bukti yang kuat. Namun sekali lagi sisi psikologis lebih punya alasan masuk akal daripada sisi fisiologis. Air mata merupakan bentuk ekspresi sosial yang mampu mendekatkan manusia dengan yang lainnya.

Air mata yang keluar saat kita memotong bawang atau kelilipan berbeda kandungan kimianya saat kita menangis karena ditinggal pacar menikah dengan orang lain. Saat menangis karena kondisi emosi yang ekstrem, air mata kita mengandung enzim, lipid, metabolit,elektrolit dan lebih banyak protein. Menurut Jonathan Rottenberg peneliti dan profesor psikologi dari University of South Florida menyebutkan bahwa menangis merupakan sinyal, penanda yang kita berikan kepada orang lain bahwa kita rapuh dan butuh berbagi.

Rapuh adalah kondisi emosional yang wajar. Psikolog mengungkapkan bahwa tidak selamanya manusia harus kuat, saat kondisi tertentu menangis adalah ekspresi yang wajar. Saat menangis salah satu area otak menjadi aktif. Menangis juga menjadi penanda bahwa manusia mampu merasakan penderitaan yang lain dan empati. Dengan menangis seseorang bisa merespons perasaan atau kondisi manusia yang lain, seperti saat melihat bencana alam atau berita duka dari orang terdekat.

Judith Kay Nelson, PhD, seorang psikoterapis dalam bukunya "Seeing Through Tears: Crying and Attachment" menangis kerap dilakukan di dekat orang yang kita anggap dekat. Ia juga menekankan bahwa menangis merupakan emosi yang normal dan sehat, seseorang yang memiliki masalah insecurity dengan dirinya sendiri kerap kali tak mampu menangis dengan wajar. Bagi beberapa orang yang susah menunjukkan emosi dan tertutup, lebih sering suka menyembunyikan perasaannya dan tak lagi mampu menangis karena menganggapnya sebagai tanda kelemahan.

Menangis adalah tanda seseorang sehat dan memiliki kondisi emosional yang stabil. Bagi bayi menangis adalah metode komunikasi, balita menangis saat mereka lapar, buang air, kepanasan, atau bahkan sekedar ingin membuat sibuk orang tuanya hingga kurang tidur. Bagi mereka yang memiliki kondisi emosi tidak stabil, menangis adalah bagian dari proses penyembuhan diri. Namun, belakangan teori ini diragukan karena dua penelitian terbaru menunjukkan hal berbeda. Hanya 30 persen dari responden yang mengikuti tes yang merasa lebih baik usai menangis, 60 persen sisanya merasa tak ada perubahan apa-apa.

Lauren M. Bylsma, Ph.D. dari University of Pittsburgh memiliki pendapat menarik tentang relasi menangis dan kondisi psikologis manusia. Dalam artikel yang dimuat di Journal of Research in Personality 2011, Bylsma berargumen dengan seseorang menangis punya korelasi positif dan pengaruh besar.

Ia mengemukakan jika seseorang menangis bersama orang yang dikenal dekat, seperti pacar, teman, bahkan gebetan, tangisan itu akan membuatnya merasa lebih baik. Menangis bisa membuat kondisi jadi lebih buruk jika itu terjadi di depan orang asing apalagi ditambah dengan dipermalukan.

Bagi beberapa orang menangis adalah kemewahan. Psikolog menemukan ada beberapa jenis orang yang tidak mampu menangis, seperti psikopat, sosiopat atau orang dengan gangguan kesehatan mental. Namun, bukan berarti mereka tidak normal atau tidak sehat. Beberapa orang memang memiliki tubuh yang tidak bisa memproduksi air mata sama sekali. Pasien dengan Sjogren Sindrome misalnya kesulitan untuk memproduksi air mata. Sementara yang lain menganggap bahwa menangis adalah bentuk ketakmampuan mengendalikan diri dan kelemahan. Mereka menganggap menangis adalah sikap cengeng seorang perempuan. Namun, yang pasti menangis punya fungsi kesehatan, jadi menangislah bila memang saatnya menangis.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Suhendra