Menuju konten utama

Jangan Cuma Salahkan Investor, Pasar Modal Juga Harus Berbenah

Manajemen BEI sadar pasar modal Indonesia masih berkembang dan mau lebih banyak investor terlibat. Namun, jika sikapnya malah selalu menyalahkan investor.

Jangan Cuma Salahkan Investor, Pasar Modal Juga Harus Berbenah
Penyandang disabilitas dari Yayasan Difabel Mandiri Indonesia (YDMI) mengamati pergerakan harga saham saat mengikuti Sekolah Pasar Modal bagi DIfabel di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (18/1). Pelatihan pasar modal tersebut untuk mengenalkan investasi melalui jual beli saham bagi kaum difabel karena dapat dilakukan oleh siapapun di semua tempat dengan waktu yang tidak ditentukan, dalam sekolah tersebut para peserta dapat langsung mencoba membeli saham melalui aplikasi di telepon pintar serta komputer. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/pd/17

tirto.id - Kasus salah investasi Jiwasraya dan Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia (Asabri) membuat istilah “saham gorengan” menjadi ramai diperbincangkan.

Istilah ini biasanya merujuk pada saham-saham lapis tiga yang sering disebut sebagai junk stocks atau small-cap stocks. Mereka memiliki volatilitas harga yang sangat tinggi dan sering menjadi incaran para spekulan.

Mantan Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio sampai berang dengan beredarnya istilah itu. Sebab, kata dia, istilah saham gorengan itu mendiskreditkan saham menengah dan baru alias akan listed dan malah terlalu berfokus pada saham besar atau blue chip.

“Tolong sekali jangan gampang bilang saham gorengan. Saya pribadi mengganggap itu tidak ada,” ucap Tito dalam keterangan tertulis yang disebar di grup wartawan, Senin (30/12/2019).

Direktur PT Kustodian Sentral Efek Indonesia Syafruddin juga menyampaikan keresahan serupa. Menurutnya, kerugian investor akibat salah investasi adalah konsekuensi yang lumrah atas ketidakjelian melihat peluang.

Emiten-emiten yang masuk ke BEI, baik yang kapitalisasinya kecil maupun besar, sudah melalui proses dan kriteria yang jelas.

BEI, kata dia, juga sudah menyediakan keterbukaan informasi bagi investor. Dari sana, kata Syafruddin, informasi kondisi perusahaan mulai dari aksi korporasi hingga laporan keuangan bisa diperoleh dengan mudah.

Belum lagi, ada mekanisme unusual market activity (UMA) untuk membantu investor mengidentifikasi aktivitas emiten yang perlu diwaspadai.

Dengan berbagai fasilitas itu, praktis investor yang terjebak pada saham gorengan menurutnya adalah kesalahan investor tersebut.

“Jadi kalau sudah tahu tapi abaikan, tapi tak bisa baca lapor keuangan. Itu harusnya investor sendiri. Kalau ada kelembagaan berinvestasi menyalahi kebijakan investasinya. Kami kan, enggak tahu kebijakannya,” ucap Syafruddin di kompleks parlemen Senayan, Rabu lalu (15/1/2020).

Momentum Perbaikan

Analis Saham dan Pasar Modal, Satrio Utomo menilai pernyataan otoritas pasar modal soal saham-saham gorengan tersebut terlalu defensif.

Jika pasar modal Indonesia mau terus berkembang, kata dia, maka statement yang sampai ke publik harusnya tak cuma menyalahkan investor.

“Sekarang mereka bilang itu apakah fair kalau satu sisi kampanye ‘yok nabung saham’ tapi sudah masuk di dalam rugi malah investor disalahkan,” ucap Satrio saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (15/1/2020).

Memang, kata Satrio, ada kemungkinan kasus salah investasi Jiwasraya-Asabri disebabkan tak terpenuhinya unsur kehati-hatian dalam penempatan aset finansial.

Tapi menurutnya, bursa perlu mempertimbangkan investor lainnya yang benar-benar ingin terjun di isntrumen saham. Sebab kredibilitas pasar modal secara keseluruhan bisa dipertaruhkan jika otoritas bursa tak tegas menumpas aksi goreng-menggoreng saham.

Satrio mencontohkan saat ini payung hukum bagi investasi pasar modal terbatas pada UU No. 8 Tahun 1995 tentang pasar modal. Lalu ada juga Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) dan aturan perdagangan bursa.

Namun, aturan terkait perilaku pengelola dana investor dalam saham sampai tingkah market making yang memoles saham terlepas kondisi keuangan perusahaan yang buruk, belum banyak diatur.

Kalau pun mau mengandalkan penafsiran dari bursa, menurut satrio, regulasinya masih kerap berpihak pada “investor” yang notabene dimaknai sebagai emiten dan orang-orang yang mengelolanya.

Hal ini mencangkup Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku lembaga yang berhak menghukum.

Di samping itu, aturan-aturan yang dikeluarkan otoritas pasar modal juga masih membuka banyak celah tindakan culas.

Misalnya proses market making dilarang saat membuka penawaran pertama alias IPO, tapi saat sudah berjalan hal tersebut tak lagi diatur.

Lantaran itu lah, tak heran jika bursa kerap tak merasa ada masalah saat kasus-kasus seperti Jiwasraya dan Asabri terjadi. Sebab, menurut Satrio, memang tak ada aturan pasar modal yang dilanggar.

“Selama ini UU pasar modal ditafsirkan semaunya oleh mereka yang di otoritas. Bursa-OJK melindungi ‘investor yaitu mereka seperti Benny Tjokro. Kalau setelah ini tidak ada perubahan yang dikhawatirkan kami di pasar modal adalah jangan-jangan ini cuma ganti bandar,” ucap Satrio.

Presiden Joko Widodo saat membuka perdagangan saham di BEI, Kamis (2/1/2020) juga sudah meminta otoritas bursa memberantas aksi jual-beli saham yang tidak benar. Jokowi mengingatkan hal ini menentukan kepercayaan investor di 2020.

Meskipun bersih-bersih ini bisa sedikit mengguncang pasar modal, Jokowi meminta agar berbagai pihak melihat dampaknya secara jangka panjang.

“Manipulasi pasar dan transaksi keuangan yang menjurus pada fraud, pada kriminal harus ditindak dengan tegas. Udah! Ciptakan sistem transaksi yang benar-benar transparan, benar-benar terpercaya, benar-benar valid,” ujar mantan wali kota Solo tersebut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengingatkan BEI untuk melindungi investor. Ia meminta perdagangan bursa bersih dari investor yang gemar melakukan praktik goreng saham, yakni memanipulasi harga dengan memborong saham hingga harga tertinggi kemudian merontokannya dengan melakukan aksi jual besar-besaran dalam waktu singkat.

"Berbagai instrumen akan ketemu dengan kebutuhan masyarakat yang ingin invest dengan aman. Oleh karena itu, memang regulator, policy maker harus kerja sama untuk perbaiki," ucap Sri Mulyani di BEI.

Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo mengatakan, lembaganya saat ini sudah mengidentifikasi 41 emiten yang sahamnya berpotensi jadi incaran spekulan.

Sembari memonitor emiten tersebut, Laksono meminta investor berhati-hati terhadap suatu saham.

Ia menjelaskan BEI sudah memiliki sejumlah instrument seperti UMA sampai suspensi saham hingga anotasi khusus. Ia meminta investor menggunakan perangkat itu untuk mengidentifikasi saham-saham yang dianggap berisiko atau volatile.

“Jadi kami punya rambu-rambu yang apabila diikuti dengan baik bisa memberi guidance bagi investor untuk memilih saham-saham yang ada,” ucap Laksono kepada wartawan saat ditemui di DPR, Rabu (15/1/2020).

Baca juga artikel terkait BURSA EFEK INDONESIA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana