Menuju konten utama

Jaminan Tenaga Kerja ala Menaker: Dikritik Buruh, Ditolak Pengusaha

Ketua KPBI Ilham Syah menilai usulan dua jaminan sosial, yaitu JKP dan JPS hanya akal-akalan Menaker Hanif Dhakiri untuk memuluskan rencana pemerintah merevisi UU Ketenagakerjaan.

Jaminan Tenaga Kerja ala Menaker: Dikritik Buruh, Ditolak Pengusaha
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri (kedua kanan) meninjau stan usai membuka acara Bursa Kerja Nasional XIX 2019, di Bekasi, Jawa Barat, Kamis (4/4/2019). ANTARA FOTO/Risky Andrianto.

tirto.id - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri mengusulkan dua jaminan sosial tambahan guna melindungi masyarakat dari pasar tenaga kerja yang makin fleksibel. Rencana program yang telah disampaikan ke Presiden Joko Widodo itu pertama kali ia ungkap saat berbicara dalam sebuah seminar di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Jumat (9/8/2019) pekan lalu.

Hanif bilang, sejauh ini pemerintah hanya memiliki lima jaminan sosial yang iurannya ditanggung masyarakat, yakni jaminan kesehatan oleh BPJS, BPJS Ketenagakerjaan, jaminan keselamatan dan asuransi kecelakaan oleh Jasa Raharja, jaminan hari tua serta pensiun oleh Taspen.

Padahal, menurut Hanif, pemerintah harus pula menjamin terserapnya masyarakat di pasar tenaga kerja serta meringankan beban mereka yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan.

Dua program itu adalah jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) dan jaminan pelatihan dan sertifikasi (JPS). Nantinya, kata Hanif, JKP bakal menjamin masyarakat yang di-PHK oleh perusahaan agar tetap mendapatkan pemasukan selama masa menganggur.

Sementara JPS, akan memberikan jaminan pelatihan dan sertifikasi bagi calon tenaga kerja baru yang tengah dalam masa persiapan masuk ke dunia kerja. Semacam kartu pra-kerja yang juga ingin diinisiasi oleh Jokowi.

“Dua ini bisa jadi instrumen negara untuk melindungi warganya di tengah disrupsi ekonomi yang membuat pasar tenaga kerja makin dinamis. Ada pekerjaan yang mati, ada yang muncul. Sehingga korban-korban PHK tetap bisa kami lindungi,” ujar Hanif.

Bagi Hanif, jaminan sosial itu penting untuk memberikan kepastian kepada masyarakat agar mereka dapat bekerja dan mendapatkan perlindungan atas pekerjaannya. Lebih-lebih kepada mereka yang terancam PHK saat perusahaan melakukan efisiensi atau dalam kondisi bangkrut.

Soalnya, meski punya kewajiban menyediakan lapangan kerja, pemerintah tak bisa menjamin masyarakat dapat bekerja dalam satu perusahaan terus menerus.

“Jadi kalau kita menerima fleksibilitas pasar, bukan berarti pemerintah tidak melindungi warga negaranya. Saya sebagai pemerintah enggak bisa jamin Anda bekerja dengan satu entitas bisnis tertentu terus-menerus sampai Anda mati. Walaupun negara punya kewajiban, saya kira enggak bisa,” kata dia.

Meski demikian, usulan yang kini tengah dibahas bersama oleh instansi pemerintah lain di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian itu belum sepenuhnya final. Karena masih wacana, Hanif mahfum jika kemudian ada polemik muncul ke permukaan.

Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), misalnya, tampak mengernyitkan dahi saat usulan itu diumbar oleh Hanif. Sebagai pengusaha, ia merasa patut untuk keberatan sebab jaminan sosial dapat diartikan pula sebagai tambahan pengeluaran.

Perusahaan, kata pria kelahiran Solo itu, tak mungkin menyunat gaji pegawainya untuk tagihan lain di luar yang sudah ada, seperti BPJS dan Pajak Penghasilan Karyawan (PPh) 21.

Lagi pula, menurut Hariyadi, tak ada angka pasti soal berapa jumlah penganggur serta jumlah tenaga kerja yang telah terserap. Ketidakjelasan data itu bisa dilihat dari perbedaan antara angka kemiskinan dan pengangguran dengan kuota penerimaan batuan iuran (PBI) BPJS yang ditanggung APBN.

Karena itu, kata dia, pengusaha justru lebih fokus dari sisi penciptaan lapangan kerja dengan mengekspansi bisnisnya ke beberapa daerah.

“Kalau kita lihat datanya, BPS itu bilang yang miskin 25 juta atau 9,1 persen. Tapi kalau kita lihat data penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan (kategori miskin), itu 96,8 juta orang,” kata Hariyadi.

Alasan Hariyadi memang masuk akal. Sebab, berdasarkan perbandingan data yang dilakukan Tirto ketidakcocokan antara jumlah penduduk miskin yang dirilis BPS dengan kuota PBI tahun ini memang muncul.

Dalam APBN 2019, misalnya, pemerintah menambah anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi warga miskin dari Rp25,5 triliun menjadi Rp26,7 triliun lantaran bertambahnya kuota PBI dari 92,4 juta menjadi 96,8 juta orang.

Artinya, dari 215 juta jiwa peserta BPJS Kesehatan, 45,02 persen di antaranya dianggap miskin dan berhak mendapatkan bantuan iuran sebesar Rp23.000/orang per bulan untuk mendapatkan layanan kelas III.

Sementara pada Maret lalu, berdasarkan catatan BPS, angka kemiskinan menurun dari 9,66 persen (September 2018) menjadi 9,41 persen atau setara 25,14 juta penduduk.

“Kalau boleh dua usulan (jaminan sosial) itu ditunggu dulu. Kita fokus menyelesaikan yang tadi begitu banyak orang miskin tidak bekerja," kata Hariyadi.

Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilham Syah, menganggap bahwa usulan tersebut hanya akal-akalan Hanif untuk memuluskan rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003.

Pasalnya, kata Ilham, poin tentang pesangon dalam beleid tersebut dianggap memberatkan bagi pengusaha.

“Karena maunya Hanif itu kompensasi dihilangkan. Enggak ada lagi pesangon. Jadi ada semacam asuransi sosial, tiap bulan dia iuran. Kalau di PHK nanti dia dapat semacam pesangon itu,” kata Ilham.

Problemnya, kata Ilham, jika itu dijadikan sebagai jaring pengaman sosial bagi para buruh, maka tak ada yang bisa menjamin bahwa tiap perusahaan akan menyertakan asuransi tersebut terhadap karyawannya. Terlebih, selama kontrol kementerian terhadap hal-hal tersebut sangat lemah.

Karena itu, Ilham dan serikatnya menolak usulan yang kini tengah digodok tersebut. Sebab, selain karena melancarkan agenda revisi terhadap UU Ketenagakerjaan yang selama ini mereka tolak, konsep dua jaminan sosial itu juga belum jelas.

“Konsepnya enggak jelas, bagaimana hitungannya? Kalau selama ini, kan, berdasarkan masa kerja. Buruh bekerja satu tahun, dia dapat satu bulan upah. Kalau 19 tahun dia dapat 19 tahun upah. Kalau seandainya asuransi gimana?” kata Ilham mempertanyakan.

Baca juga artikel terkait UU KETENAGAKERJAAN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz