Menuju konten utama

Jaminan Kehilangan Pekerjaan: Baik, tapi Perlu Perbaikan

Lewat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), korban PHK bisa mendapat uang tunai sebesar 45% dari upah selama tiga bulan, dan 25% pada tiga bulan berikutnya.

Ilustrasi orang mengajukan resign pekerjaan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Suatu siang awal Januari 2021, Faisal mendapat surel dari tempatnya bekerja, sebuah media rintisan yang berkantor di Jakarta Pusat. Dia deg-degan. Teman-temannya juga mendapat surat serupa beberapa bulan belakangan. Ketika surel dibuka, benar saja, isinya seperti yang dibayangkan Faisal sejak jauh-jauh hari.

“Kantor mengirim surat PHK, dan kompensasi satu kali gaji,” ujar Faisal, pemuda jatmika yang baru bekerja di tempat itu tiga bulan.

Usai membaca surelnya, Faisal menemui HRD. Alasan yang dikemukakan HRD, kantor mengalami kesulitan keuangan imbas dari pandemi. Faisal maklum, kemudian membawa barang-barangnya di kantor dengan wajah digelayuti mendung.

Dalam soal pemutusan hubungan kerja, Faisal tidak sendirian. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, hingga Juli 2020, ada 3,6 juta orang yang kena pemutusan hubungan kerja. Dampaknya: angka pengangguran meningkat, begitu pula angka kemiskinan naik 1,5 persen secara nasional.

Pemerintah juga tidak tinggal diam. Ada berbagai jenis subsidi dan bantuan yang digelontorkan dengan harapan dapat menjadi jaring pengaman sementara. Mulai dari bansos sembako, bantuan sosial berupa uang tunai yang diberikan selama tiga bulan, bantuan infrastruktur ekonomi kreatif, hingga yang terbaru: Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Namun, belum banyak orang mengetahui bantuan ini. Presiden Joko Widodo baru meneken Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan pada 2 Februari 2021. Sampai sekarang, sosialisasi yang minim membuat kebijakan tersebut belum ramai diketahui.

Menurut Direktur Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Retno Pratiwi, JKP bertujuan mempertahankan derajat kehidupan seseorang. "Jangan sampai derajat hidupnya turun walau kehilangan pekerjaan."

JKP adalah program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek). Ia menjadi program jaminan sosial baru, menambah jaminan sosial seperti jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian. Agar seorang buruh menjadi peserta program ini, pihak pemberi kerja harus mendaftarkannya terlebih dahulu.

Meski demikian, menurut Pasal 46E Ayat 1, pekerja tetap harus membayar iuran JKP dengan jumlah 0,46 persen dari upah bulanan. Dari jumlah itu, 0,22 persen-nya akan ditanggung oleh pemerintah. Sebagai modal awal, pemerintah sudah menyuntikkan dana Rp6 triliun yang bersumber dari APBN.

Lalu apa yang bisa diterima oleh pekerja?

Jika kena PHK, pekerja bisa mendapat uang tunai sebesar 45 persen dari upah selama tiga bulan, dan 25 persen pada tiga bulan berikutnya. Selain mendapat uang tunai selama enam bulan, pekerja juga mendapat akses informasi pasar kerja, juga akses pelatihan kerja. Namun, pekerja atau buruh bisa mendapat manfaat ini jika sudah membayar iuran setidaknya 12 bulan dalam 24 bulan dan sudah membayar iuran enam bulan secara berturut-turut sebelum kena PHK.

Di Asia, beberapa negara sudah punya skema bantuan serupa. Thailand, misalkan. Mereka punya program asuransi pengangguran bagi pekerja formal sejak 2004. Sedangkan di Vietnam, setiap perusahaan yang punya 10 atau lebih karyawan diminta berpartisipasi dalam asuransi pengangguran. Imbauan ini jadi kewajiban bagi perusahaan yang punya lebih dari 200 karyawan.

Di Malaysia, bantuan semacam ini ada sejak 1 Januari 2018. Menurut data LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (2020), skema di Negeri Jiran ini dikelola oleh Social Security Organization (SOSCO). Mereka yang menganggur bisa mendapat tunjangan mencari kerja sebanyak 80 persen dari gaji terakhir selama maksimal 6 bulan, juga ada tunjangan pelatihan. Untuk bisa mendapat manfaat tersebut, para pekerja harus membayar iuran 12 bulan selama 24 bulan kepesertaan. Indonesia sendiri secara terang-terangan akan mengadopsi sistem yang dipakai oleh Malaysia.

Infografik Advertorial TURC

Infografik Advertorial JKP? Apaan Tuh?!. tirto.id/Fakhri

Niat Baik dan Perlu Perbaikan

Niat baik tak selamanya akan memberi hasil baik pula. Ini yang terjadi pada JKP. Ada beberapa kritik sekaligus masukan agar program itu bisa berjalan lebih baik. Trade Union Rights Centre (TURC), pusat studi dan advokasi perburuhan, menyoroti sejumlah isu kunci yang patut dicermati.

“Beberapa isu kunci yang disorot oleh TURC antara lain terkait syarat kepesertaan dan eligibiltas. Selain itu, ada isu manfaat program yang akan sangat berpengaruh pada inklusivitas cakupan pekerja secara luas. Juga, kemudahan pekerja dalam mengakses manfaat program JKP agar dapat sejalan dengan tujuan awal pemerintah,” ujar Direktur TURC, Andriko Otang.

Isu pertama adalah jumlah pekerja yang terdaftar. Menurut laporan tahunan BP Jamsostek (2019), baru sekitar 55 juta pekerja yang jadi anggota, dari total jumlah pekerja 137 juta orang. Dari jumlah tersebut, yang aktif alias rutin membayar iuran lebih sedikit lagi, yakni sekitar 34 juta orang saja. Sedangkan dari sumber Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) per September 2020, disebut bahwa peserta Jaminan Pensiun hanya 12,5 juta orang, Jaminan Hari Tua sebanyak 15,7 juta orang, dan yang ikut Jaminan Kecelakaan Kerja serta Jaminan Kematian hanya 30,1 juta orang.

Perkara jumlah pekerja ini masih ditambah lagi dengan perbandingan jumlah pekerja formal dan informal. Saat ini, berdasar data Badan Pusat Statistik (2019), lebih dari 74 juta orang Indonesia bekerja di sektor informal. Sayangnya, pekerja informal yang terdaftar Jamsostek hanya di bawah 3 juta. Sedangkan menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), hanya ada 38,5 persen pekerja formal (Pekerja Penerima Upah) dan 0,2 persen pekerja informal (Pekerja Bukan Penerima Upah) yang menjadi peserta BP Jamsostek pada 2019. Ini artinya, hanya sebagian kecil buruh yang bisa mendapat manfaat program ini, terutama buruh di sektor informal.

Melihat data ini, kajian TURC tentang JKP menyatakan bahwa manfaat JKP tidak akan menjangkau banyak pekerja, bahkan sulit dirasakan manfaatnya di kalangan pekerja informal karena tingkat kepesertaan pekerja kelompok ini masih rendah.

Padahal, JKP amat penting bagi pekerja, terutama di sektor informal, mengingat kelompok ini adalah pihak yang paling terdampak jika kondisi krisis melanda. Setahun terakhir, para pekerja informal, mulai dari pekerja event hingga pekerja sektor pariwisata, mengalami penurunan pendapatan secara drastis, bahkan kehilangan pekerjaan. BPS juga menyebut masyarakat miskin dan pekerja sektor informal sebagai kelompok yang paling terdampak pandemi.

Isu kedua adalah soal iuran. Pasal 19 ayat (3) menyebutkan bahwa orang yang bisa menerima manfaat JKP adalah mereka dengan masa iuran 12 bulan dan sudah membayar minimal 6 bulan berturut-turut sebelum PHK. Ini juga rawan bermasalah, karena banyak perusahaan kurang disiplin memenuhi hak pekerja, dan jelas berdampak pada hal-hal lain, semisal kehilangan masa kepesertaan, hingga potensi menunggak.

“Ada banyak kasus perusahaan yang tidak disiplin dalam membayar iuran. Ini tentu berdampak ke para buruh yang tidak akan bisa mendapat manfaat program JKP. Maka, kami minta pemerintah mengkaji ulang PP 37 ini karena nihilnya azas keadilan, agar ketidakdisiplinan dan kelalaian dalam membayar iuran ini tidak diikuti oleh perusahaan-perusahaan lain," kata Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, Elly Rosita Silaban.

Dalam kajiannya, TURC merekomendasikan pemerintah agar mengkaji ulang eligibilitas kepesertaan program JKP, karena kepesertaan dalam program ini sangat bergantung pada pemberi kerja.

Soal lain yang juga patut diperbaiki adalah tentang jumlah manfaat. Dari simulasi perhitungan TURC berbasis Upah Minimum Provinsi 2021, jumlah yang didapat seorang pekerja bisa dibilang masih relatif kecil. Di DKI Jakarta yang punya UMP Rp4,4 juta, misalnya, pekerja akan mendapat Rp1,9 juta pada bulan 1-3, dan Rp1,1 juta pada bulan 4-6. Selama enam bulan, total manfaat uang tunai yang didapat adalah Rp9,7 juta.

Di daerah dengan UMP lebih rendah, jelas, yang akan diterima juga jauh lebih rendah. Di DI Yogyakarta, dengan UMP Rp1,7 juta, total manfaat yang didapat adalah Rp794 ribu pada bulan 1-3, dan Rp441 ribu pada bulan 4-6. Dengan kata lain, total bantuan yang diterima korban PHK selama enam bulan ada di kisaran Rp3,7 juta.

Jika ditengok lebih dalam dengan pendekatan per kapita per bulan, angka manfaat uang tunai JKP akan terlihat jauh lebih kecil. Sebagai pembanding, BPS menyebut bahwa batas garis kemiskinan adalah Rp458.947/kapita. Jika perhitungan manfaat uang tunai JKP hanya memberi 45 persen upah (bulan 1-3), maka hanya pekerja (berkeluarga dengan satu anak) di tujuh provinsi yang masih memperoleh manfaat di atas garis kemiskinan.

Sedangkan pada bulan 4-6, yang hanya mendapat 25 persen dari upah per bulan, maka pekerja berkeluarga dengan satu anak di seluruh provinsi akan mendapat manfaat di bawah garis kemiskinan. Ini rentan melahirkan kelompok miskin baru. Saat ini saja, catat BPS, sudah ada 2,7 juta warga miskin baru yang muncul karena pandemi.

TURC juga memberi masukan lain, terutama kepada para pekerja muda. Menurut lembaga non-profit yang berbasis di Jakarta ini, pekerja muda adalah golongan yang harus lebih kritis dalam melihat kontrak kerja, termasuk jaminan sosial di dalamnya. Sebab kini ada manfaat lain berupa JKP. Menurut TURC, banyak pekerja tidak memperhatikan secara detail poin-poin di kontrak kerja.

“Jadi kalau mereka dapat kontrak kerja, pastikan pemberi kerja mendaftarkan pada lima jaminan sosial, termasuk JKP, pada awal mula masa kerja,” tutur Andriko.

Kritik dan masukan yang disampaikan oleh TURC, juga sejumlah lembaga perburuhan yang lain, sebenarnya menandai satu hal: perlu banyak perbaikan agar program JKP ini berjalan makin baik. Masukan untuk isu kepesertaan dapat membuat JKP menjangkau lebih banyak lagi orang, termasuk pekerja informal yang selama ini diabaikan.

Seyogianya, pemerintah membuka ruang bagi masyarakat untuk tetap bisa memberi masukan dan saran bagi program-program yang menyangkut hajat hidup, termasuk JKP.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis
-->