Menuju konten utama

Jalur Kereta Api Mati Cirebon-Kadipaten

Beginilah kisah tentang sebuah jalur kereta api yang sempat hidup di masa lalu dan sekarang telah mati: Cirebon-Kadipaten.

Jalur Kereta Api Mati Cirebon-Kadipaten
Header Mozaik Jalur Kereta Cirebon-Kadipaten. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pembangunan jalur kereta api ke Priangan dilakukan oleh perusahaan swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Perusahaan kereta api pertama di Hindia Belanda ini menyelesaikan jalur Batavia-Bogor di tahun 1873.

Tanah Priangan yang kaya akan hasil bumi membuat perusahaan negara Staatsspoorwegen (SS) melanjutkan jalur yang dibangun oleh NISM. Antara 1879-1884, SS berhasil membangun jalur Bogor-Cicalengka. Di tahun 1887 sampai 1893, SS melanjutkan pembangunan jalur Priangan sepanjang 176 km dari Cicalengka menuju Kasugihan.

Rintisan jalur menuju Priangan dilakukan pula oleh perusahaan kereta api swasta lain, Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS). Di tahun 1901, mereka membuka jalur yang menghubungkan kota pelabuhan Cirebon dengan Kadipaten. Sebelumnya, perusahaan ini membuka jalur yang menghubungkan Semarang dengan Cirebon, tahun 1899.

Sejak lama, Kadipaten terkenal dengan pelabuhan sungai di Karangsambung. Pelabuhan di tepi sungai Ci Manuk ini menjadi pelabuhan untuk mengangkut hasil alam di Priangan, khususnya dari Priangan Timur. Sejak dulu, Karangsambung menjadi tempat yang menghubungkan kerajaan Pakuan di Bogor sekarang, dengan Cirebon dan Galuh.

Menurut sejarawan Soejono dan Leirissa, dari Karangsambung, ada rute ke arah timur yang berakhir di Cirebon. Ada pula rute ke arah selatan yang mengarah ke Sindangkasih, Talaga, dan berakhir di Galuh atau Kawali.

Senada dengan pendapat di atas, sejarawan A. Sobana Hardjasaputra dalam laporan khusus Tempo tahun 2019 mengungkapkan bahwa Pelabuhan Karangsambung telah ada sejak sejak zaman kerajaan Sunda-Galuh.

Fenomena pengangkutan kopi ke Karangsambung direkam Franz Wilhelm Junghuhn. Dalam bukunya Schetsen, ontworpen op eene nieuwe reis over Java, voor topographische en natuurkundige navorschingen, aan het einde van het jaar 1844, Junghuhn melihat fenomena kegiatan pengangkutan kopi dari Garut ke Karangsambung dan sebaliknya di tahun 1844.

Catatan ini menggambarkan bahwa antara Garut dan Karangsambung sudah terhubung untuk kegiatan angkutan kopi yang cukup ramai sampai pertengahan abad ke-19.

Menjelang akhir abad 19, pola pengangkutan ini berubah seiring berkembangnya Pelabuhan Cilacap dan hadirnya kereta api di Priangan. Kopi-kopi dari Priangan bagian timur dan Cirebon bagian selatan kemudian sempat dikirimkan menuju Cilacap melewati Kota Banjar dan Sungai Ci Tanduy.

Pola pengangkutan kopi ini kembali berubah ketika kereta api memasuki Cicalengka pada tahun 1884. Kopi-kopi tidak lagi didistribusikan ke pelabuhan di Cilacap, melainkan ke Stasiun Cicalengka untuk diangkut ke Batavia.

Surat kabar Bataviaasch Handelsblad melaporkan, gudang-gudang kopi di Karangsambung ditutup pada pertengahan tahun 1884. Hal ini disebabkan aktivitas bongkar muat kopi sudah tidak melalui pergudangan di sana.

Menurunnya aktivitas kopi di Karangsambung diganti oleh naiknya produksi tebu dan gula di Karesidenan Cirebon. Keberadaan komoditas ini menjadi pendorong utama pembuatan jalur kereta api yang menghubungkan Cirebon dan Kadipaten.

Jalur kereta api Cirebon-Kadipaten merupakan bagian dari jalur kereta api yang dibangun perusahaan SCS. Olivier Johannes Raap dalam buku Sepoer Oeap Djawa menulis, jalur kereta api yang dibangun SCS ini disebut sebagai suikerlijn atau jalur gula.

Jalur kereta api yang menghubungkan Semarang dan Kadipaten ini melayani 27 pabrik gula yang berada di sepanjang jaringan relnya pada 1905.

Secara bertahap, SCS membangun jalur antara Semarang dan Cirebon di antara tahun 1897 dan 1899. Jalur ini diperpanjang untuk menghubungkan Cirebon dan Kadipaten, yang diresmikan pada 29 Desember 1901.

Sebanyak 18 stasiun berada di jalur ini, yakni: Kadipaten, Cideres, Kasokandel, Baturuyuk, Jatiwangi, Cibolerang, Palasah, Bongas, Prapatan, Ciwaringin, Kedungbunder, Palimanan, Jamblangpasar, Jamblang, Plumbon, Pasalaran, Tengahtani, dan Kedawung, sebelum kereta memasuki kota Cirebon.

Dalam laporan penelitian arkeologi jalur kereta api Cirebon-Kadipaten, Iwan Hermawan menyebut setidaknya terdapat enam pabrik gula dan satu pabrik alkohol yang berada di jalur sepanjang 48 km ini.

Pabrik-pabrik tersebut adalah Pabrik Gula Soerawinangoen, Pabrik Gula Plumbon, Pabrik Gula Gempol, Pabrik Gula Paroengdjaja, Pabrik Gula Djatiwangi, Pabrik Gula Kadipaten, dan Pabrik Alkohol dan Spiritus Palimanan.

Dalam salah satu sambutan di acara peresmian jalur Cirebon-Kadipaten, pihak SCS tidak ingin kereta api di jalur tersebut hanya bergantung pada angkutan barang, tetapi juga pada angkutan penumpang--karena jalur ini melewati daerah-daerah dengan penduduk yang padat.

Selain itu, keberadaan jalur ini diharapkan menjadi langkah pertama untuk menghubungkan Cirebon dengan jalur di Priangan yang dimiliki SS.

Nyatanya, keinginan untuk menghubungkan Cirebon dengan Priangan secara langsung tidak pernah terlaksana. Wacana pembangunan jalur yang menghubungkan Malangbong-Kadipaten urung terlaksana. Begitu pula dengan pembangunan jalur antara Rancaekek-Sumedang-Kadipaten, yang berujung di Citali saja dan relnya terlanjur dipreteli Jepang di tahun 1940-an.

Setelah Indonesia merdeka, Belanda sempat ingin menguasai kembali aset-aset kereta api melalui Staatsspoorwegen/Verenigde Spoorwegbedrijf (SS/VS). Perusahaan ini merupakan leburan dari perusahaan kereta api negara dan perusahaan swasta, termasuk SCS.

Aset-aset ini akhirnya dikuasai oleh Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) pasca-Konferensi Meja bundar (KMB). Nama DKARI kemudian berubah menjadi Djawatan Kereta Api (DKA).

Kondisi perkeretaapian Indonesia yang tidak terlalu baik membuat jalur Cirebon dan Kadipaten menjadi tidak terurus. Dalam tulisannya di buku Perjalanan Penganten: Sebuah Kisah, Ajip Rosidi bercerita tentang kondisi kereta api Cirebon-Kadipaten di akhir tahun 1950-an.

Kereta api dirasa berjalan terlalu lambat karena beban gerbong yang terlalu tinggi dibanding kekuatan lokomotifnya yang kecil. Jarak sekitar 40 km antara Cirebon dan Jatiwangi ditempuh dalam waktu 4 jam.

Ajip juga menulis, kondisi tersebut sangat berbeda dengan kondisi jalur Cirebon-Kadipaten di masa sebelumnya. Ada beberapa rangkaian kereta api yang melayani jalur ini dan rangkaian kereta penumpang dan barang tersebut selalu datang dan pergi tepat waktu.

Infografik Mozaik Jalur Kereta Cirebon Kadipaten

Infografik Mozaik Jalur Kereta Cirebon-Kadipaten. tirto.id/Fuad

Di tahun 1950-an, kondisinya sudah berubah. Hanya dua rangkaian kereta api yang beroperasi, itu pun sering terlambat satu dua jam. Di zaman Belanda, ada delapan rangkaian kereta api yang melayani jalur antara Kadipaten–Cirebon dengan rata-rata waktu tempuh antara kedua kota selama 2,5 jam.

Seperti jalur-jalur simpangan lain di Jawa Barat, jalur Cirebon-Kadipaten ditutup di tahun 1970-an. Selain karena tidak menjadi prioritas, jalur simpangan seperti jalur Cirebon-Kadipaten ini tidak terlalu menguntungkan dan kalah bersaing dengan angkutan darat lain.

Di masa sekarang, jalur ini sebenarnya mempunyai keunggulan secara budaya. Pertama, jalur ini melalui Stasiun Pasalaran, yang berada di Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon. Di Kecamatan yang sama, terdapat kampung Trusmi, yakni kawasan yang terkenal sebagai pusat industri batik dan wisata kuliner Cirebon. Di sana ada sekitar 3.000 pengrajin batik yang mendapat keahliannya secara turun-temurun.

Kedua, jalur kereta api ini melewati stasiun Jamblang, daerah yang terkenal sebagai asal dari makanan khas Cirebon, nasi jamblang. Selain terkenal dengan nasi jamblangnya, kecamatan yang berjarak 10 km dari Cirebon ini mempunyai kawasan kota tua yang dapat dijadikan tujuan wisata.

Baca juga artikel terkait JALUR KERETA API atau tulisan lainnya dari Hevi Riyanto

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Hevi Riyanto
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Rio Apinino