Menuju konten utama

Jalur Kereta Api Bandung-Ciwidey, Menderu ke Bandung Selatan

Bandung-Ciwidey sempat terhubung oleh jalur kereta api selama lebih dari setengah abad. Namun jalur ini akhirnya ditutup pada tahun 1980-an.

Jalur Kereta Api Bandung-Ciwidey, Menderu ke Bandung Selatan
Header Jalur Kereta Bandung-Ciwidey. tirto.id/Ecun

tirto.id - Dibangunnya jalur kereta api yang menghubungkan Bogor dan Cicalengka pada 1880-an membuka kawasan Priangan yang sebelumnya terisolasi.

Kereta api menjadi sarana transportasi utama untuk mengangkut hasil perkebunan, hasil bumi masyarakat, maupun untuk membantu mobilitas penduduk di Priangan.

Masuknya kereta api juga mengubah Kota Bandung yang semula menyandang julukan “een kleine berg dessa” atau desa kecil di pergunungan, menjadi kota yang besar.

Ibu kota Keresidenan Priangan ini mengalami perkembangan yang cepat. Kondisi ini membuat jumlah penduduk kota meningkat secara signifikan. Dalam kurun waktu antara tahun 1889 sampai 1906, pertumbuhan penduduk Bandung mencapai 160 persen.

Potensi Bandung dan sekitarnya mendorong perusahaan-perusahaan kereta api swasta untuk mengajukan ijin membangun jalur kereta api yang menghubungkan Kota Bandung dengan titik-titik permukiman dan pusat-pusat ekonomi yang tersebar di sekitar kota.

Megaproyek Bandung-Ciletuh yang Batal

Salah satu perusahaan yang mengajukan ijin pembangunan jalur kereta api ke Bandung bagian selatan adalah Wijnkoopsbaai Exploratie-Maatschappij (WEM). Perusahaan ini telah meneliti pengaruh lonjakan penduduk terhadap peningkatan harga bahan pokok di Kota Bandung.

Dalam laporannya yang berbentuk buku berjudul “Algemeene Beschrijving van den Elektrische Hoofdspoorweg Bandoeng Zanbaai, Residentie Preanger Regentschappen, Java” bertarikh 1906, WEM menyebutkan bahwa perkembangan Kota Bandung telah membuat harga bahan pokok seperti beras, kentang, jagung, bawang, dan buah-buahan telah meningkat lebih dari dua kali lipat sejak lima tahun terakhir. Kelangkaan bahan pokok ini dipastikan akan terus membuat harga-harga terus naik.

WEM di bawah pimpinan R. A. Eekhout menawarkan sebuah solusi, yakni pembangunan rel antara Bandung ke Ciletuh melewati Ciwidey dan Sagaranten.

Menurut Eekhout, pembangunan jalur ini selain akan mempermudah mobilitas penduduk, juga mempermudah pengangkutan hasil alam yang dibutuhkan masyarakat Bandung, seperti beras dan sayuran dari daerah-daerah subur di selatan Bandung, Cianjur, dan Sukabumi. Selain itu, jalur ini akan mempermudah pengangkutan bahan ekspor seperti teh.

Dalam rencananya, WEM akan membangun sekitar 9 stasiun dan 36 halte. Stasiun yang akan dibangun antara lain di Soreang, Ciwidey, Citambur, Sagaranten, dan Ciletuh. Dalam hitungan WEM, jalur kereta api yang akan dibuat adalah sepanjang 135 km. Namun jika kita ukur menggunakan Google Maps, jalur ini berjarak hampir 200 km.

Rencana besar lainnya adalah menjadikannya sebagai jalur kereta api listrik. Dalam laporannya, WEM akan menyiapkan sembilan air terjun yang akan dipakai sebagai sumber listrik bagi keberadaan jalur kereta api ini, termasuk pembangunan pembangkit listrik di Curug Citambur. Total biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan jalur ini sebesar 30.000.000 gulden atau rata-rata sebesar 130.435 gulden per kilometer.

Mega proyek untuk menghubungkan Bandung dan Ciletuh mendapat persetujuan lewat Keputusan Pemerintah tanggal 4 Maret 1907 No. 42. Akan tetapi, proyek ini gagal terlaksana, karena Eekhout selaku direktur WEM, keburu meninggal pada 14 Februari 1911.

Pembangunan Jalur Bandung-Ciwidey

Rencana Eekhout untuk membangun jaringan kereta api ke Ciwidey akhirnya terlaksana oleh Staatsspoorwegen (SS). Seperti halnya WEM, perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda ini melihat potensi hasil bumi yang sangat besar di daerah Bandung bagian selatan.

Jalur yang akan dibangun SS ini akan mempermudah pengangkutan hasil pertanian masyarakat, pengangkutan teh dari Perkebunan Arjasari, Malabar, Gambung, dan perkebunan dekat Ciwidey.

Staatsspoorwegen membangun jalur sepanjang 40 km dalam dua tahap. Tahap pertama, pembangunan menghubungkan Bandung, Dayeuhkolot, Banjaran, dan Soreang. Pembangunan jalur yang relatif datar ini dilakukan dari tahun 1917 sampai 1921.

Sedangkan pembangunan tahap kedua menghubungkan Soreang dan Ciwidey dari tahun 1922 sampai 1924. Jalur antara kedua stasiun ini menyusuri tepian sungai Ci Widey dan melewati tiga jembatan besar, yakni Jembatan Sadu, Jembatan Ranca Goong, dan Jembatan Cikabuyutan.

Pembangunan jalur ini sempat diwarnai oleh pemogokan para pekerja. Sejarawan Agus Mulyana menduga, pemogokan berkaitan dengan proses pembebasan tanah yang membuat masyarakat setempat kecewa.

Akibat aksi mogok, SS akhirnya mendatangkan para pekerja dari Cirebon. Selain itu, sempat terjadi kecelakaan kerja di salah satu jembatan besar antara Soreang dan Ciwidey yang menyebabkan tewasnya beberapa pekerja.

Secara berurutan, stasiun dan halte yang dilalui jalur Bandung-Ciwidey adalah Bandung, Cibangkonglor, Cibangkong, Buahbatu, Bojongsoang, Dayeuhkolot, Kulalet, Pameungpek, Cikupa, Banjaran, Cangkuang, Citaliktik, Soreang, Sadu, Cukanghaur, Cisondari, dan Ciwidey.

Di sela pembangunan jalur tersebut, SS sempat menyelesaikan jalur antara Dayeuhkolot dan Majalaya pada tahun 1921. Namun jalur yang melewati Ciparay ini dibongkar pada masa pendudukan Jepang.

Satu jalur lain di Bandung selatan yang sempat diwacanakan untuk dibangun adalah jalur antara Banjaran-Pangalengan. Namun, rencana ini tidak sempat telaksana.

Infografik Jalur Kereta Bandung Ciwidey

Infografik Jalur Kereta Bandung-Ciwidey. tirto.id/Ecun

Ditutup Tahun 1980-an

Setelah digunakan lebih dari setengah abad, jalur kereta api Bandung-Ciwidey akhirnya ditutup pada awal tahun 1980-an. Saat itu, penutupan jalur kereta api percabangan seolah menjadi trend di Jawa Barat.

Selain jalur Bandung-Ciwidey, jalur yang ditutup dalam waktu relatif bersamaan adalah jalur Banjar-Pangandaran, dan jalur Cibatu-Garut-Cikajang.

Penutupan jalur kereta api Bandung-Ciwidey banyak dihubungkan dengan kecelakaan kereta api barang yang terjadi di Cukanghaur pada 1972. Peristiwa ini menewaskan kepala stasiun Ciwidey dan seorang masinis.

Sebenarnya ada beberapa faktor yang saling berkaitan dan menjadi penyebab penutupan jalur Bandung-Ciwidey. Faktor paling menonjol adalah kalahnya daya saing kereta api dengan kendaraan jalan raya dan efisiensi pelayanan perusahaan kereta api.

Setelah kemerdekaan, angkutan jalan raya tumbuh cukup pesat dibandingkan kereta api, karena angkutan jenis ini dianggap lebih fleksibel jangkauannya. Bisa lebih mudah mengantarkan barang atau penumpang ke tempat tujuan, sementara kereta api yang hanya bisa menurunkan barang atau penumpang di stasiun.

Keadaan ini mendorong perusahaan kereta api melakukan banyak hal untuk tetap bisa bersaing dan bertahan. Mereka mempertahankan pelayanan terhadap penumpang, terutama di jalur-jalur yang mempunyai tingkat okupansi tinggi dan menutup jalur-jalur yang tidak lagi menguntungkan.

Efisiensi ini juga diakibatkan perubahan pada pusat-pusat ekonomi di Indonesia setelah kemerdekaan. Di masa kolonial, beberapa jalur simpangan dibangun untuk mempermudah pengangkutan hasil perkebunan.

Peran kereta api di jalur simpangan ikut menurun ketika hasil perkebunan tidak lagi menjadi produk utama. Apalagi, pemerintah saat itu melakukan pengetatan dalam anggaran, sehingga perusahaan kereta api menyaring jalur mana saja yang perlu dikembangkan atau dipertahankan.

Melihat faktor di atas, perusahaan kereta api memilih untuk menutup jalur-jalur simpangan di Jawa Barat, termasuk jalur Bandung-Ciwidey.

Baca juga artikel terkait JALUR KERETA API atau tulisan lainnya dari Hevi Riyanto

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Hevi Riyanto
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi