Menuju konten utama
12 Juli 1536

Jalan Terjal Desiderius Erasmus Mereformasi Gereja di Eropa

Desiderius Erasmus adalah cendekiawan yang menggagas reformasi gereja sebelum Martin Luther. Perjalanan intelektualnya amat berliku.

Jalan Terjal Desiderius Erasmus Mereformasi Gereja di Eropa
Desiderius Erasmus. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Desiderius Erasmus dikagumi sebagai tokoh reformasi gereja sekaligus ahli teologi dan salah satu sarjana paling cerdas di era Renaisans. Seluruh dunia mengenalnya sebagai editor pertama naskah Perjanjian Baru yang kemudian banyak digunakan sebagai rujukan para reformis gereja sejak abad ke-15.

Lahir di lingkungan keagamaan tak membuat Erasmus menutup mata terhadap kejanggalan doktrin gereja warisan abad pertengahan. Sebaliknya, Erasmus lebih suka melakukan petualangan intelektual seraya menentang monopoli pengetahuan yang dilakukan Gereja Katolik.

Kisah kelahiran Desiderius Erasmus tidak pernah terdokumentasi dengan baik. Para sejarawan menyebutnya lahir di Rotterdam, tetapi ada pula yang menyebut Gouda. Tanggal kelahirannya pun rancu. Banyak yang mencatat 27 Oktober 1466 sebagai hari kelahirannya. Lainnya menyebut 26 atau 28 Oktober 1466.

Satu hal yang pasti, para ahli bersepakat mengenai tanggal kematian cendekiawan Renaisans yang pernah terlibat perselisihan dengan Martin Luther ini. Mereka menyebut Erasmus meninggal akibat penyakit disentri yang menyerangnya saat berkunjung ke Basel, Swiss, pada 12 Juli 1536, tepat hari ini 483 tahun lalu.

Kabur dari Kehidupan Biara

Perjalanan hidup Erasmus bisa dikatakan sangat terjal. Nasibnya ketika masih kanak-kanak tidaklah mujur. Erasmus lahir sebagai anak haram dari seorang pendeta sehingga keikutsertaannya dalam kehidupan biara seolah-olah sudah diatur.

Setelah kedua orang tuanya meninggal akibat wabah penyakit pada 1483, Erasmus dan kakak laki-lakinya dikirim ke sebuah sekolah biara yang sangat konservatif dan terkenal keras. Bukannya menjadi alim, Erasmus malah tumbuh menjadi seorang pembangkang.

Kendati menikmati momen pendekatan diri kepada Tuhan, Erasmus menolak aturan keras dan metode ketat para guru agama waktu itu. Di saat bersamaan, dia juga mulai mendambakan praktik kekristenan di luar jalur tradisional.

Tanpa memiliki pilihan kedua, Erasmus mengambil sumpah di biara St. Augustine pada 1488. Empat tahun kemudian, dia naik menjadi pendeta di tempat yang sama.

Lagi-lagi menjadi pendeta tak membuat Erasmus patuh. Dia jarang terlibat dalam kegiatan keagamaan dan lebih suka mencuri-curi kesempatan untuk menulis puisi, belajar filsafat, dan membaca buku-buku klasik berbahasa Latin.

“Sedikit demi sedikit mulai tumbuh dalam diri Erasmus harapan untuk menggapai kebebasan, serta perasaan protes terhadap kemiskinan ilmu pengetahuan dan keburukan tingkah laku senior-seniornya di biara yang disebutnya sebagai orang barbar,” tulis Lucien Febvre dalam The Problem of Unbelief in the Sixteenth Century: The Religion of Rabelais (1982: 310).

Berdasaran catatan Richard L. DeMolen, keleluasaan norma yang berlaku di St. Agustine memberikan sedikit ruang kepada Erasmus. Ini memungkinkannya untuk melaksanakan tugas-tugas sekuler, ketimbang kegiatan misionaris yang dibencinya. Selama kurang lebih lima tahun, Erasmus lebih suka mengajar di sekolah-sekolah dan terlibat dalam institusi-institusi non-keagamaan lainnya.

Kehidupan Erasmus baru benar-benar berubah tatkala berjumpa dengan uskup dari Cambray bernama Henry de Bergen. Sang uskup terkesan dengan kemampuan bahasa Latin Erasmus dan menawarinya pekerjaan sebagai sekretaris pada 1493.

Selang dua tahun, Bergen memberikannya beasiswa untuk belajar teologi di Universitas Paris. Namun, ketimbang menimba ilmu demi kepentingan biara, Erasmus memilih menggunakan kesempatan itu untuk “kabur” dari kehidupan biara yang selama ini dianggapnya menyesakkan.

Belajar Mengembara

Paris membukakan wawasan yang lebih luas kepada Erasmus. Tak butuh waktu lama sampai dirinya benar-benar dikelilingi para cendekiawan yang berpikiran terbuka, sebagaimana yang selama ini diidam-idamkannya.

Erasmus memang tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi saat hendak menulis puisi dan memublikasikan tulisan-tulisan akademis. Namun ternyata hal itu belum bisa memuaskan hati Erasmus. Ia ingin sekali memiliki kehidupan bebas dengan bertukar ilmu pengetahuan dengan sesama pemikir di seluruh daratan Eropa.

Encyclopedia Britannica menyebut Erasmus sebagai sarjana yang suka mengembara. Dengan bantuan murid-muridnya di Paris, pada 1499, Erasmus berhasil mendapatkan uang pensiun untuk membiayai perjalanannya ke Inggris. Maka dimulailah kehidupan baru Erasmus sebagai sarjana independen.

Di Inggris, Erasmus menemukan minat baru atas bantuan tokoh-tokoh humanisme terkenal seperti John Colet dan Thomas More. Di sana pulalah Erasmus mulai tertarik kepada studi keagamaan sekaligus menjadi penganut humanisme yang setia. Di sela waktu, dia giat memperdalam kemampuan bahasa Yunani kuno yang kemudian dipergunakannya untuk menerjemahkan naskah kitab Perjanjian Baru.

Berkat kemampuannya berbahasa Latin dan Yunani, Erasmus bisa membandingkan banyak terjemahan Alkitab berbahasa Latin dengan naskah-naskah Perjanjian Baru yang berasal dari Yunani. Atas bantuan John Colet, Erasmus kemudian mendedikasikan diri menjadi editor pertama naskah Perjanjian Baru dan beberapa kesusastraan klasik lainnya selama periode Renaisans.

Selain Inggris, Erasmus juga pernah bertandang ke Jerman, Belgia, Italia, dan Swiss. Dalam kurun kurang lebih 10 tahun, aktivitas akademisnya terbagi-bagi di tiga negara yaitu Belanda, Perancis, dan Inggris.

Martin Luther dan Reformasi Gereja

Keinginan Erasmus untuk mengubah sistem gereja Katolik dilandasi rasa prihatinnya melihat praktik penjualan surat pengampunan dosa. Menurutnya, gereja hanya memanfaatkan kemiskinan wawasan yang terstruktur di kalangan umat.

Erasmus berpendapat gereja tidak seharusnya memonopoli isi Alkitab dan segala bentuk kesusastraan klasik. Ia kemudian mengusulkan agar gereja Katolik melakukan perubahan mendasar dengan mulai menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa rakyat.

“Saya dengan keras menentang mereka yang melarang orang biasa membaca Kitab Suci atau yang melarang menerjemahkannya ke dalam bahasa sehari-hari,” tulis Erasmus dalam bagian pengantar Perjanjian Baru.

Usulan Erasmus malah menuai kecurigaan kalangan Gereja Katolik. Mereka dengan giat mulai menghujaninya dengan berbagai macam hinaan dan memberikan label sebagai seorang pengecut dan pelaku bidah. Di sebagian wilayah Eropa, buku-bukunya dibakar dan sempat masuk ke dalam daftar bacaan terlarang.

Erasmus tidak berpangku tangan, ia justru semakin sengit melawan. Melalui tulisan tahun 1494/1495 yang bertajuk Antibarbari, Erasmus mengemukakan kekuatan edukasi untuk memperbaiki sifat manusia dan karakteristik mereka yang disebutnya masih memiliki sifat barbar.

David L. Larsen dalam The Company of the Preachers (1998: 150) menyebut tulisan Erasmus itu punya peran besar membentuk pemikiran Martin Luther. Tokoh Reformasi Gereja Protestan itu disebutkan banyak membaca karya Erasmus sebelum akhirnya menerbitkan karya terpentingnya yang berjudul "Ninety-five Theses" pada 1517.

Meskipun begitu, Luther dan para pengikutknya memilih mencampakan Erasmus. Mereka menghakimi Erasmus akibat keteguhannya menolak unsur radikalisme yang diusung para pemimpin kelompok Reformasi dalam menuntut perubahan.

Infografik Mozaik Desiderius Erasmus

Infografik Mozaik Desiderius Erasmus. tirto.id/Nauval

Berdasarkan tulisan Rebecca Newberger Goldstein dalam New York Times, pemikiran Erasmus memang memiliki banyak kesamaan dengan Martin Luther. Mereka sama-sama menolak segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan pihak gereja serta segala takhayul aneh yang didukungnya. Namun sayang, keduanya tidak akur.

“Desiderius Erasmus dan Martin Luther, meskipun mereka tidak pernah bertemu secara langsung, tetapi mampu mengartikulasikan penilaian satu sama lain. […] mereka mungkin adalah sekutu alami, tetapi sebaliknya mereka menjadi musuh yang keras kepala,” tulis Goldstein.

Sejarawan Gereja Protestan Philip Schaff mencatat bahwa akibat serangkaian pertentangan tersebut Erasmus tidak diakui baik di Katolik maupun Protestan. Bahkan, ia sempat diberi label ateis dan dianggap musuh semua agama oleh penganut Lutheranisme.

Catatan Schaff yang dihimpun Dave Armstrong ke dalam Protestantism: Critical Reflections of an Ecumenical Catholic (2013) tersebut juga menyebut pada akhirnya Luther menarik segala kecamannya dan mengakui hasil kerja Erasmus melalui sepucuk surat pada 1524.

“Seluruh dunia harus memberikan kesaksian tentang keberhasilan Anda menumbuhkan pemahaman yang benar tentang Alkitab; dan karunia Tuhan ini telah ditampilkan dengan indah dan luar biasa di dalam dirimu, memanggil rasa terima kasih kami,” tulis Luther kepada Erasmus.

Baca juga artikel terkait KATOLIK atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Humaniora
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Ivan Aulia Ahsan