Menuju konten utama

Jalan Pintas Impor Gula Bikin Petani Nelangsa

Industri dapat mengimpor gula dan garam langsung. Para petani menjerit karena khawatir banyak yang rembes ke pasar.

Jalan Pintas Impor Gula Bikin Petani Nelangsa
Satuan Tugas Ketahanan Pangan Sulawesi Selatan menunjukkan kemasan gula rafinasi ilegal milik UD Benteng Baru, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (22/5). ANTARA FOTO/Dewi Fajriani

tirto.id - Nasib industri gula dan garam dalam negeri tampaknya bakal semakin tak menentu setelah pemerintah memberikan kewenangan impor langsung bagi pelaku usaha tanpa melalui importir terdaftar, dengan catatan harus mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Kebijakan ini disampaikan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dalam diskusi online Jakarta Food Security Summit 5, Kamis (19/11/2020) lalu.

"Pemain dari industri gula yang memang butuh untuk perusahaannya, maupun garam industri, impor langsung saja. Kenapa harus ada birokrasi tambahan?" kata Erick.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menjelaskan, dengan jumlah importir gula yang saat ini hanya 11 saja pemerintah belum mampu mengantisipasi rembesan gula rafinasi. Maka, ketika peluang impor lebih besar, menurutnya kemungkinan gula impor bocor ke pasar konsumsi di pasar tradisional akan jauh lebih banyak.

Dampak buruknya, tentu saja, gula dalam negeri yang disuplai petani lokal semakin banyak pesaing dan mungkin jadi tidak laku. Apalagi gula impor yang bocor harganya lebih terjangkau dengan kualitas lebih bagus.

"Kami ini sudah dipaksa jual gula dengan harga murah. Untuk diketahui, harga pokok yang dijual untuk petani itu sudah ditetapkan Rp9.100 di tahun 2016. Sampai 2020 enggak naik. Harganya sudah tidak menguntungkan," katanya kepada reporter Tirto, Kamis (19/11/2020).

Menurutnya, alih-alih menelurkan kebijakan yang potensial bermasalah seperti ini, pemerintah sebaiknya "selesaikan rente saja, jangan ganggu sistem yang ada." Rente yang ia maksud adalah pihak-pihak yang hanya membuat rantai distribusi tambah panjang saja. Rantai distribusi yang semakin panjang sama dengan harga gula yang kian mahal.

Mengenai ketakutan ini, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan bilang "kalau dia (pengusaha) melanggar atau membocorkan ke market, membuat garam rakyat turun, ya, izinnya dicabut."

Pihak pengusaha pun berpendapat seperti petani. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Industri Pengolahan Makanan dan Peternakan Juan Permata Adoe bilang melepas kebijakan kewenangan impor langsung ke pelaku industri yang menggunakannya bukanlah langkah yang bijak. Alasannya: tak semua perusahaan memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk melakukan impor.

Kalau memang masalahnya ada di "birokrasi tambahan" seperti yang dinyatakan Menteri Erick, maka menurutnya alangkah lebih baik kalau pelaku usaha makanan dan minuman (mamin) ini diberikan akses ke petani tebu atau pabrik gula lokal.

"Alangkah indah pemerintah memberikan peluang untuk memberikan investasi swasta bekerja sama dengan lahan perkebunan rakyat yang selama ini sudah ada, yang selama ini sudah dikontrol oleh BUMN," katanya kepada reporter Tirto, Kamis.

Alasan lain mengapa ia menolak kebijakan ini adalah para pelaku industri mungkin juga tak tertarik karena hanya akan mendapakan pekerjaan tambahan, yaitu mencari sumber pasokan impor dari luar negeri. "Daripada jadi importir mending kerja sama dengan yang sudah ada," katanya.

Tak Tepat Sasaran

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan meski di atas kertas semua mungkin jadi importir, pada akhirnya memang hanya segelintir yang bakal dan bisa melakukannya, yaitu mereka yang "punya infrastruktur" dan "modalnya banyak." Mereka ini bakal menjadi importir untuk pengusaha lain.

Dengan kata lain, "itu hanya memindah pelaku impor aja," katanya kepada reporter Tirto, Kamis.

Meski pasti tidak semua mengimpor, namun tetap saja kemungkinan rembesan gula ke pasar, yang dampak buruknya telah dijelaskan Soemitro Samadikoen, bakal lebih banyak. "Pemerintah akan kewalahan ceknya," katanya menjelaskan salah satu dampak dari kebijakan ini dari sisi pemerintah.

Kemudian, yang paling penting dari itu semua, adalah kebijakan ini "tidak menjawab persoalan gula mahal." Yang harus diselesaikan saat ini adalah panjangnya aktor yang diindikasikan bermain dan membuat harga gula impor jadi mahal. Kebijakan ini hanya akan memperburuk keadaan, katanya.

"Nanti ketika gula tebu panen, gula rakyat panen, tiba-tiba harga anjlok karena ada gula rafinasi keluar ke pasar rakyat. Ini kasihan petani," katanya.

Baca juga artikel terkait IMPOR GULA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino