Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Jalan Perlawanan Mantan Pentolan PDRI

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) mengembalikan mandat kepada Pemerintah RI pada 13 Juli 1949. Nantinya, beberapa dari mereka memilih melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah.

Jalan Perlawanan Mantan Pentolan PDRI
Ilustrasi Syafruddin Prawiranegara dan Susanto Tirtoprojo. FOTO/tirto.id

tirto.id - Sebetulnya sah-sah saja jika Syafruddin Prawiranegara berani mengklaim dirinya sebagai Presiden Indonesia. Ia memang pernah menjadi orang nomor satu di negara ini setelah para petinggi pemerintahan RI macam Sukarno, Mohammad Hatta, atau Sutan Sjahrir ditahan Belanda pada akhir 1948.

Syafruddin dan sejumlah tokoh bangsa lainnya membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat, untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih ada. Tindakan darurat itulah yang menyelamatkan negara hingga Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI secara penuh melalui Konferensi Meja Bundar di penghujung tahun 1949.

Namun, Syafruddin enggan menyebut dirinya presiden, dan namanya pun tidak tercatat secara resmi sebagai salah satu Presiden Indonesia. Presiden RI ke-2 setelah Sukarno adalah Soeharto, bukan Syafruddin Prawiranegara meskipun ia punya kabinet beserta susunan menterinya, para panglima militer, juga wilayah-wilayah pemerintahan, selama memimpin PDRI.

Presiden Syafruddin Prawiranegara?

Akmal Nasery Basral (2011) dalam buku berjudul Presiden Prawiranegara: Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia pernah mengulik tentang hal ini. Dituliskan dalam buku tersebut percakapan antara Kamil Koto dengan Syafruddin Prawiranegara. Kamil Koto saat itu ingin bergabung dengan PDRI dan penasaran dengan status Syafruddin selaku pemimpin pemerintahan darurat itu.

"Jadi, Pak Syaf adalah presiden yang menggantikan Bung Karno?" tanya Kamil Koto.

Syafruddin menjawab, “Tidak persis begitu. Saya lebih suka menyebutnya sebagai Ketua PDRI, bukan Presiden PDRI.”

Kamil Koto rupanya belum puas. Ia bertanya sekali lagi, “Jadi, di bawah Pak Syaf sekarang ini ada banyak menteri dan panglima perang?”

“Ya, betul sekali,” balas Syafruddin yang kemudian terdiam sejenak sebelum berbalik bertanya kepada Kamil Koto, ”Apa maksudmu dengan menanyakan ini, Kamil?”

“Maafkan saya yang bodoh ini, Pak Syaf,” ucap Kamil Koto. “Kalau kejadiannya seperti yang Bapak jelaskan itu, maka menurut saya yang tidak mengerti politik ini, Bapak adalah Presiden Syafruddin Prawiranegara.”

Mendengar ucapan lugas dari Kamil Koto itu, Syafruddin Prawiranegara tampak sedikit kaget dan terlihat memikirkan jawabannya. Namun, akhirnya ia memilih mengelak dan mengalihkan topik pembicaraan.

Kamil Koto belum menyerah. Sekali lagi, ia mendesak, “ Jadi betul kesimpulan saya... Pak Presiden?”

Syafruddin mengubah posisi duduknya, memejamkan mata, dan menjawab, “Dalam politik itu sama sekali tidak mudah sekadar untuk mengatakan betul atau salah, Kamil. Kalau memang niatmu sangat kuat untuk membantu perjuangan PDRI ini, semoga suatu saat nanti kau akan temukan jawaban atas pertanyaanmu sendiri.”

Dari PDRI ke PRRI

Kurang lebih 8 tahun setelah mengembalikan mandat pemerintahan kepada pemerintah RI pimpinan Sukarno, nama Syafruddin Prawiranegara muncul lagi. Hampir mirip dengan sewaktu ia memimpin PDRI, kali ini Syafruddin menjadi perdana menteri, tapi bukan pemimpin pemerintahan RI yang sah, melainkan Perdana Menteri PRRI atau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia.

PRRI mengumumkan kabinet tandingan pada 15 Februari 1958 pukul 22.30 WIB dengan menempatkan nama Syafruddin Prawiranegara di posisi tertinggi sebagai perdana menteri (Syamdani, PRRI Pemberontakan Atau Bukan, 2009). PRRI dideklarasikan di Bukittinggi, tempat yang sama saat PDRI dibentuk 10 tahun silam.

Meskipun masih mengakui Sukarno sebagai presiden, namun PRRI sering disebut memberontak karena membentuk kabinet tandingan beserta segenap perlengkapannya. Munculnya PRRI beriringan dengan pembentukan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Indonesia bagian timur, tepatnya di Sulawesi, pada 2 Maret 1957.

PRRI dan Permesta bertujuan sama, yakni menuntut otonomi daerah yang lebih luas demi keadilan yang lebih merata, namun disikapi oleh pemerintah RI dengan tegas. PRRI, juga Permesta, dianggap sebagai gerakan separatis, memisahkan diri dari negara kesatuan, dan akhirnya dituntaskan dengan cara militer alias perang fisik (Marthias Dusky Pandoe, Jernih Melihat Cermat Mencatat, 2010).

Setelah gerakan yang disebut separatis itu ditumpas, pemerintah melalui Surat Keputusan Presiden No. 449/1961 tertanggal 17 Agustus 1961, memberikan amnesti dan abolisi kepada para tokoh PRRI, termasuk Syafruddin Prawiranegara. Bahkan, Syafruddin Prawiranegara kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 7 November 2011.

Infografik Pemerintahan Darurat republik Indonesia

Melawan Demi Keadilan

Selain Syafruddin Prawiranegara, ada pula mantan tokoh PDRI lainnya yang memilih jalan serupa, yakni “melawan” pemerintah yang sah melalui PRRI. Orang itu adalah Sutan Mohammad Rasjid yang menjabat sebagai Menteri Perburuhan dan Sosial di Kabinet PDRI.

Setelah pengembalian mandat PDRI kepada pemerintah pada 1949, Sutan Mohammad Rasjid ditunjuk oleh Presiden Sukarno menjadi Duta Besar RI di Italia. Selain itu, Rasjid juga tercatat sebagai anggota Konstituante, lembaga negara pembuat undang-undang.

Ketika PRRI dideklarasikan pada 1958, Rasjid tentunya mengharapkan hubungan antara pemerintah pusat dengan rekan-rekannya di Sumatera segera membaik. Namun, harapan itu tidak terwujud karena Presiden Sukarno justru menggerakkan kekuatan militer untuk membasmi PRRI (R. Z. Leirissa, PRRI-Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, 1991).

Rasjid yang kecewa atas reaksi keras pemerintah kemudian dengan tegas mengambil keputusan bergabung dengan PRRI (Marah Joenoes, Mr. H. Sutan Mohammad Rasjid, 1991). Mantan Gubernur Militer Sumatera Barat dan Tengah ini bahkan memegang peran penting sebagai Duta Besar PRRI di Eropa.

Namun, pilihan bergabung dengan PRRI membuat Rasjid menjadi buronan pemerintah RI. Sebagai pelarian politik di Eropa, ia harus sering berpindah tempat untuk menghindari kejaran orang-orang suruhan rezim Sukarno.

Ketika PRRI akhirnya takluk pada Mei 1961, Rasjid yang saat itu berada di Swiss masih ragu untuk pulang ke tanah air meskipun dijanjikan akan diberi pengampunan. Pada 1964, ia akhirnya meninggalkan Eropa namun tidak kembali ke Indonesia. Demi keamanan, Rasjid memilih menetap di Singapura.

Tumbangnya Orde Lama sebagai dampak Gerakan 30 September 1965 membuka peluang bagi Rasjid pulang ke Indonesia pada 1968. Ia hidup aman selama era presiden baru Soeharto, bahkan dianugerahi penghargaan Bintang Perintis Kemerdekaan dan Bintang Mahaputra Adipradana dari pemerintah Orde Baru.

Jika Syafruddin Prawiranegara dan Sutan Mohammad Rasjid “melawan” pemerintah dengan bergabung ke PRRI, Ignatius Joseph Kasimo memilih jalan perlawanan yang lain. Kasimo yang merupakan Menteri Kemakmuran di Kabinet PDRI justru menentang Sukarno secara pribadi.

Kasimo tidak setuju dengan gagasan Nasakom yang dicetuskan Sukarno. Ia juga menolak kabinet yang terdiri dari 4 partai pemenang Pemilu 1955, yakni PNI, Masyumi, NU dan PKI. Bersama Partai Katolik Indonesia, Kasimo tidak sudi bekerjasama dengan PKI di kabinet tersebut (J.B. Sudarmanto, Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo, 2011:243).

Namun, tidak semua alumni PDRI memilih jalan perlawanan, banyak pula yang baik-baik saja dan tetap “setia” kepada pemerintah RI meskipun dengan cara yang berbeda-beda, sebutlah Soesanto Tirtoprodjo, A.A. Maramis, Lukman Hakim, Teuku Muhammad Hasan, dan lainnya.

Mereka yang sempat “memberontak” pun sebenarnya tidak benar-benar bermaksud mengkhianati negara dan bangsa Indonesia. Jalan perlawanan mereka pilih hanya karena ingin keadilan yang lebih baik, atau sekadar perbedaan pandangan politik semata.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti