Menuju konten utama

Jalan Panjang Mengadili Pelaku Pelecehan Seksual Berjubah Agama

Mengungkap kasus pelecehan seksual yang dilakukan tokoh agama terbiasa memakan waktu lama. Selain kasus ditutupi, ada halangan dari pendukungnya.

Jalan Panjang Mengadili Pelaku Pelecehan Seksual Berjubah Agama
Ratusan santri dan alumni dari salah satu pesantren di Ploso berunjuk rasa di Mapolres Jombang, Selasa (14/1/2020). ANTARA FOTO/Syaiful Arif/aww.

tirto.id - Kasus pencabulan santriwati oleh terduga pelaku Moch Subchi Al Tsani (MSAT) telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur sejak Januari 2022. Namun pria yang kerap dipanggil Bechi ini baru berhasil ditahan pada Juli 2022.

Ia sudah jadi tersangka sejak 2020. Namun polisi tidak pernah mampu menghadirkannya untuk diperiksa meski sebenarnya jika panggilan pertama dan kedua tidak dihiraukan penjemputan paksa bisa dilakukan. Terlebih keberadaannya juga diketahui. Dia sering menetap di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Jombang yang tidak lain milik ayahnya, Muhammad Muchtar Mu'thi.

Dua tahun lalu, 10 polisi datang ke tempat tersebut dan disambut massa yang jumlahnya jauh lebih banyak. Polisi yang kekurangan tenaga memutuskan melepas tersangka dengan alasan “menjaga kondusivitas.”

Keluarga beralasan kondisi kesehatan ayah MSAT sedang tidak baik. Karena sakit, MSAT harus mendedikasikan diri untuk merawat ayahnya di rumah–kendati banyak sekali orang di pesantren tersebut yang bisa melakukan hal itu.

Bukan hanya itu, tahun lalu MSAT juga melawan balik dengan mengajukan praperadilan. Tidak hanya sekali tapi dua kali. Keluarga menuding polisi tidak menjalankan prosedur yang tepat. Bagi mereka, tidak masuk akal MSAT bisa menjadi tersangka padahal tidak sekalipun diminta keterangan sebelumnya (prosedur itu memang kerap dilakukan polisi dalam beberapa kasus).

Dia menuntut uang Rp 100 juta sebagai ganti rugi fitnah dan pencemaran nama baik. Permintaan yang akhirnya ditolak pengadilan.

Ringkasnya, penangkapan MSAT alia Bechi memang tidak mudah.

Polisi bahkan sebenarnya belum mampu menjemput paksa MSAT pada Kamis 7 Juli lalu. Aparat dari Polda Jatim sudah sampai di pesantren sejak pukul 8 pagi, tapi lagi-lagi dihalangi massa. Mereka terlibat aksi saling dorong. Akhirnya, pukul 23.35, MSAT sendiri yang menyerahkan diri ke Polda Jatim.

Beberapa jam sebelumnya Kementerian Agama mencabut izin pesantren. Pemerintah pusat juga menekan pesantren agar patuh pada proses hukum.

Dalam sebuah program CNN Indonesia yang tayang pada 2020 lalu, diketahui bahwa setidaknya MSAT telah melakukan pelecehan seksual sejak 10 tahun lalu. Semakin parah karena korban di tahun 2012 itu adalah anak di bawah umur. Korban tak lain adalah santriwati di pesantren sang bapak.

MSAT pertama kali dilaporkan pada 2019 ke Polres Jombang. Salah satu yang berani untuk mengadukannya adalah Ulfah, bukan nama sebenarnya. Laporan itu diterima Polres Jombang pada 29 Oktober 2019 dengan laporan polisi No: LPB/392/X/Res 1,24/2019/JaTim/Res JBG.

Ulfah bersaksi mengalami pelecehan seksual pada 8 Mei 2017. Pada hari itu semestinya Ulfah diwawancara agar bisa diterima bekerja di Rumah Sehat Tentrem Medical Center (RSTMC). MSAT memanggilnya dan duduk di depan Ulfa. Alih-alih bertanya tentang latar belakang atau apa pun yang biasanya ditanyakan saat wawancara kerja, MSAT justru mendesak agar Ulfah menjadi istrinya.

Ia lantas diminta melepas pakaian dengan dalil mentransfer ilmu. Ulfah tentu saja menolak dan terjadilah pemerkosaan.

Pada Desember 2017, Ulfah melaporkan kasus ini kepada ayah MSAT yang kerap disapa Kyai Tar. Tapi bukannya mendapat perlindungan, Tar justru menuduh Ulfah memfitnah dan mencemarkan nama baik.

Menutup Diri demi Reputasi

Kasus MSAT menambah panjang daftar pelecehan seksual oleh mereka yang mendapat label pemuka agama (MSAT pernah mengaku bahwa ia adalah mursyid atau guru agama atau orang yang berbakti kepada Tuhan). Dari banyak kasus itu kita tahu bahwa menyeret mereka tidak pernah mudah.

Salah satu skandal pelecehan seksual terbesar tersebut sempat diungkap oleh media lokal The Boston Globe pada 2002 dengan judul Church Allowed Abuse by Priest for Years. Mereka menemukan bahwa mantan pastor John Joseph Geoghan melakukan pelecehan seksual sejak 1960-an sampai 1990-an dengan korban setidaknya lebih dari 130 anak laki-laki di bawah umur.

Gereja tidak mengungkap hal ini kepada publik. Kardinal Bernard Francis Law yang bertugas di Boston berusaha agar Geoghan tetap bisa bertugas.

Geoghan diduga pertama kali melakukan pelecehan saat bertugas di Gereja Blessed Sacrament pada 1962. Saat itu ada orang melihatnya membawa anak laki-laki ke kamar tidur. Geoghan menampik tudingan tersebut. Ia baru mengaku bahwa selama bertugas di sana telah melecehkan empat bocah lebih dari tiga dekade kemudian.

Law tahu tentang kasus ini setelah menjadi kardinal pada 1984. Namun bukannya mencabut status klerus Geoghan ia malah menyetujui yang bersangkutan dikirim ke Paroki Santa Julia pada tahun yang sama.

Geoghan yang punya masalah pedofilia justru diberikan tanggung jawab mengurus anak-anak muda gereja, termasuk juga putra altar. Berkali-kali Geoghan dinyatakan dokter “sehat untuk bertugas” dan berkali-kali juga melakukan pelecehan seksual lagi.

Geoghan baru benar-benar pensiun pada 1993. Namun, dengan statusnya sebagai pensiunan pastor, dia masih saja berusaha mendekati anak kecil. Lima tahun kemudian, 1998, barulah gereja benar-benar memecat Geoghan.

Setelah terungkap ke publik bahwa gereja bertahun-tahun “melindungi” Geoghan, Law akhirnya memutuskan mengundurkan diri sebagai kardinal.

Infografik Menyalahkan Korban Pelecehan

Infografik Menyalahkan Korban Pelecehan

Berbagai catatan menunjukkan bahwa pelecehan seksual oleh pastor-pastor gereja sudah ada sejak lama, masif, dan banyak yang belum terungkap. Salah satu hasil penyelidikan yang keluar tahun lalu menyebut ada setidaknya 2.900-3.200 pelaku dan 216 ribu korban yang merupakan anak-anak dalam sejarah gereja Prancis sejak 1950-an. Jumlah korban diperkirakan dapat meningkat hingga 330 ribu.

Profesor Alexis Jay asal Inggris, yang juga menyelidiki berbagai kasus pelecehan seksual terhadap anak oleh pemuka agama, menyebut dalam banyak kasus gereja telah melindungi para pelaku. Mereka sengaja menutupi kejahatan hanya demi satu tujuan yang dianggap lebih penting dari apa pun: reputasi gereja sebagai perpanjangan tangan Tuhan.

“Selama puluhan dekade, kegagalan gereja Katolik dalam menangani masalah pelecehan seksual membuat lebih banyak anak-anak mengalami derita yang sama. Jelas bahwa reputasi gereja dihargai lebih daripada kondisi para korban dengan adanya perlindungan terhadap pelaku dan abai terhadap tuduhan-tuduhan yang ada,” kata Jay dilansir The Guardian.

Hal itulah yang persis terjadi di Indonesia. Orang-orang membela dan melindungi MSAT atas dasar nama baik keluarga atau keutuhan pesantren–termasuk ayah MSAT yang menuding bahwa semua ini hanyalah fitnah.

Penulis asal Amerika Ijeoma Oluo memahami betul mengapa banyak yang percaya predator karena ia sendiri pernah ada di posisi yang sama saat anggota keluarganya dituduh sebagai pelaku pelecehan. Dalam kolom The Guardian, ia mengaku bahwa setelah belasan tahun akhirnya sadar bahwa selama ini telah melindungi seorang pemerkosa dan menyesalinya.

Bagi Oluo, “percaya korban” jadi lebih penting dari apa pun meski “kita harus tersakiti dan merasa malu atas apa yang mereka katakan.”

Pernyataannya yang personal seakan jadi anjuran bagi siapa pun yang sedang ada di posisinya dulu: “Rasa sakit dan patah hati keluarga pemerkosa tidak seharusnya menjadi alasan memalingkan diri dari korban–dan saya tahu betapa sulitnya mengakui kebenaran.”

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino