Menuju konten utama

Jalan Panjang Kawhi Leonard Menjadi yang Terbaik

Kawhi Leonard adalah pencetak angka terbanyak Toronto Rapors pada musim ini, pendulang rebound terbanyak, juga yang terbaik dalam bertahan.

Jalan Panjang Kawhi Leonard Menjadi yang Terbaik
Kawhi Leonard di Kejuaraan Bola Basket Perguruan Tinggi, Sabtu, 12 Maret 2011. AP / Julie Jacobson

tirto.id - Dia mempunyai kesempatan besar untuk melakukan tembakan buzzer-beater yang bisa menghasilkan gelar juara NBA. Para adibintang NBA dari masa ke masa, seperti Wilt Chamberlain, Kareem Abdul-Jabbar, Michael Jordan, hingga LeBron James tak seberuntung dia.

Namun, dia enggan melakukannya. Dia justru mengumpan. Si penerima umpan mengumpan lagi. Dan, karena terus diburu waktu yang tak pernah pandang bulu, si penerima umpan teraKhir gagal mencetak angka: Toronto Raptors, tim yang dia bela, akhirnya kalah 105-106 dari Golden State Warriors.

“Mengapa kamu tidak mengeksekusi tembakan pamungkas itu?”

Pertanyaan itu lantas berputar-putar di dalam kepala banyak orang, sebelum seorang jurnalis menanyakan langsung kepadanya sesudah pertandingan gim kelima NBA Final 2019 tersebut. Kalau saja tembakan itu dia lempar, dan masuk, maka Toronto Raptors akan jadi juara NBA untuk kali pertama sepanjang sejarahnya.

Sambil tertawa, dia menjawab, “Dua orang menjagaku... Aku tidak tahu apakah aku bisa menembak. Maksudku, jika Anda dijaga seperti itu, Anda harus menemukan cara lain yang lebih baik. Kami akhirnya bisa mendapatkan ruang tembak di sudut, tetapi itu tidak dilakukan dengan cepat.”

Nick Wright, pengamat NBA dari First Things First, lantas menyebut bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah keputusan “cerdas”. Dia memang pemain terbaik Toronto Raptors – bahkan salah satu yang terbaik di NBA. Seorang mesin pencetak angka, raja rebound, dan, kata Ben Cohen dan Andrew Beaton di Wall Street Journal, pemuncak hitung-hitungan statistik hampir di setiap kategori.

Namun, masalahnya bukan itu, melainkan: apakah dia menyesal tidak mengeksekusi tembakan penentuan itu? Ketika tertawa, apakah itu adalah penyamaran untuk menutupi kekecewaan?

Tak ada yang tahu.

"Dia," ujar Danny Green, rekan satu timnya, "adalah orang yang sulit untuk dipahami."

Dia, Kawhi Leonard, memang semisterius itu.

Pekerja Keras yang Tidak Suka Lampu Sorot

Nama Kawhi mulai dikenal luas saat masih bermain di Universitas San Diego State dari 2009 hingga tahun 2012. Dianggap sebagai calon adibintang NBA, ia mampu menunjukkan bahwa ia memang layak: pekerja keras, penuh talenta, dan selalu jadi ingin lebih baik ketimbang sebelumnya.

Alex Jamerson, manager San Diego, mengaku “tak pernah melihat orang yang bekerja lebih keras dari Kawhi di sepanjang hidupnya.” Sementara itu, Dave Velasquez, asisten pelatih San Diego, mempunyai cerita menarik tentang Kawhi yang akan selalu ia kenang.

Saat Kawhi menjalani tahun-tahun awal sebagai mahasiswa, ia harus mengikuti kelas matematika pada pukul 8 pagi dan kelas menulis pada pukul 10 pagi dari Senin hingga Kamis. Ini berat bagi para pemain San Diego, karena mereka harus menjalani latihan berat.

Maka Vasquez akan mendatangi kamar para pemain pada pukul ½ 8 pagi, untuk memastikan bahwa mereka tak terlambat masuk ke dalam kelas. Namun, ia tak pernah menemukan Kawhi ada di dalam kamarnya: Kawhi ternyata selalu berada di tempat latihan untuk berlatih rebound sendirian sebelum masuk ke dalam kelas.

Meski ambisi Kawhi masuk golongan pemain basket terhebat amat benderang, dan perlahan terwujud, tidak demikian dengan karakternya. Menurut Ben Cohen dan Andrew Beaton, Kawhi nyaris tidak pernah menunjukkan emosinya. Ia seperti robot, berdarah dingin.

“Barangkali, pada era di mana para pemain terbaik memiliki kepribadian besar, Kawhi adalah seorang introvert yang tidak punya kepribadian,” tulis mereka.

Cohen dan Beaton kemudian melengkapi pendapatnya itu dengan data. Dalam tiga musim terakhir, mereka menganalisis 254 tembakan yang dilakukan Kawhi pada 3 menit terakhir pertandingan. Tembakan itu bisa jadi tembakan kunci untuk memenangkan pertandingan. Namun dari 78 persen tembakannya itu, Kawhi ternyata tak mengeluarkan ekspresi apa pun setelah berhasil melakukannya. Tak ada lonjakan kegembiraan, tak ada histeria. Kawhi tetap dingin seperti es.

Toronto Berani Mengambil Risiko

Kawhi memulai petualangannya di NBA bersama San Antonio Spurs pada 2012 silam. Kala itu dia bukan siapa-siapa, masih berada di bawah bayangan Tim Duncan, Manu Ginobili, serta Tony Parker. Namun, pada musim 2012-2013, ia berhasil menjadi bagian penting Spurs dalam melaju ke pertandingan final NBA. Statusnya mulai berubah menjadi pemain bintang pada musim 2013-2014: ia berhasil membawa Spurs menjadi juara NBA dan menggenggam gelar MVP final.

Saat meraih gelar tersebut, Spurs bermain layaknya sebuah tim dari planet lain. Dengan mengandalkan point-five, sebuah permainan cair yang menyerupai tiki-taka Barcelona dalam pertandingan sepakbola, mereka berhasil menjadi tim tertajam di NBA. Duncan, Parker, dan Ginobili menjadi dasar, Boris Diaw berperan sebagai otaknya, dan Kawhi adalah kesempurnaan dalam pendekatan itu: selain sebagai mesin pencetak angka, ia adalah alasan utama mengapa pertahanan Spurs tetap kokoh meskipun mereka terus menyerang secara terbuka.

Pada musim 2014-2015, kemampuan Kawhi dalam bertahan terlihat semakin kentara. Setidaknya kemampuannya dalam bertahan tersebut pernah diapresiasi secara langka oleh Flip Saunders, mantan pelatih Minnesota Timberwolves, saat Spurs menang 123-97 atas Wolves. “Kawhi Leonard benar-benar membunuh pertandingan. Ia menganiaya kami,” kata Saunders.

Bagaimana bisa seorang pemain yang hanya mencetak 15 angka, 6 rebound, dan 1 assist mendapatkan pujian semacam itu?

Infografik Kawhi Leonard

Infografik Kawhi Leonard

Jawabannya: Kawhi membuat Andrew Wiggins, calon rookie of the year milik Wolves mati kutu. Dia lima kali mencuri bola darinya, dan selama 25 menit berada di atas lapangan, Kawhi juga membikin Wolves tampak seperti serigala ompong: mereka kesulitan mencetak angka, ketinggalan 24 angka dari Spurs. Komentar Saunders itu kemudian dilengkapi dengan NBA Defensive Player of The Year yang diraih Kawhi dalam dua tahun berturut-turut, tahun 2015 dan tahun 2016.

Sayangnya, saat dia mulai dielu-elukan sebagai salah satu pebasket terbaik yang pernah ada karena kemampuannya yang komplet itu, karier Kawhi kemudian amblas pada musim ketujuhnya berseragam San Antonio Spurs. Ia mengalami cedera pangkal paha dan hanya bermain sebanyak 9 kali.

Orang-orang pun mulai meragukan masa depannya, tetapi keyakinan Masai Ujiri, bos Toronto, terhadapnya tak sedikit pun luntur. Pada Juli 2018 lalu, ia rela menukar DeMar DeRozan dan Jakob Poetl, untuk mendapatkan Kawhi dan Danny Green.

“Saat Leonard mencoba untuk menemukan bentuk permainannya pada musim reguler, aku yakin Ujiri tidak pernah bisa tidur nyenyak... Risiko [mendatangkan Leonard] membawa banyak ketidakpastian,” tulis Don Yeager dari Forbes, mengenai keputusan Ujiri.

Pada akhirnya, dugaan Yaeger bahwa Ujiri tidak bisa tidur nyenyak karena Leonard barangkali benar, tetapi hal itu justru terjadi karena hal yang sangat menyenangkan: pada babak play-off hingga partai puncak NBA, Leonard tampil menggila. Karenanya, sementara ini Toronto bisa unggul 3-2 atas Golden State Warriors di Final NBA, dan tinggal selangkah lagi untuk meruntuhkan dominasi tim asal California tersebut di NBA dalam beberapa musim terakhir.

Dari sana bisa tidaknya Toronto menjadi juara NBA memang masih sama misteriusnya dengan kepribadian Kawhi. Namun ada satu hal yang pasti: Kawhi tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan mimpi tim basket asal Kanada tersebut.

Dan andai Kawhi berhasil membawa Toronto juara NBA, melihat ekspresinya ketika mengangkat tropi akan jadi hal yang menarik.

Baca juga artikel terkait BASKET atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Nuran Wibisono