Menuju konten utama

Jalan Nonlitigasi Pelecehan Agni & Mengapa Publik Mencerca UGM

Jalan nonlitigasi dalam penyelesaian kasus pelecehan terhadap Agni dinilai publik sebagai dukungan UGM terhadap pelaku.

Jalan Nonlitigasi Pelecehan Agni & Mengapa Publik Mencerca UGM
Mahasiswa menggelar aksi "Besarkan Bara Agni" di Rektorat UGM sambil membentangkan spanduk yang berisi tanda tangan peserta aksi pada Kamis (29/11/2018). tirto.id/Dipna Videlia

tirto.id - Penyelesaian non-litigasi yang diambil Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam kasus pelecehan seksual terhadap salah satu mahasiswi mereka Agni (bukan nama sebenarnya) menuai kritik publik. Di media sosial Twitter misalnya, sejumlah warga maya mempertanyakan keseriusan UGM menyelesaikan kasus pelecehan di lingkunan mereka. Ada pula yang meruapkan kekesalan dengan menyebarkan foto pelaku berinisial HS. Beberapa berkomentar agar perusahaan tidak menerima HS bekerja.

Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Naila Rizkqi Zakiyah menilai kritik terhadap HS dan UGM atas penyelesaian nonlitigasi merupakan ekspresi yang bisa dipahami. “Ketika publik marah kepada pelaku, itu wajar, karena [pelaku] belum mendapat hukuman yang setara,” ujar Naila kepada reporter Tirto pada Jumat (8/2/2019).

Naila menilai penyelesaian nonlitigasi dalam kasus pelecehan Agni menunjukkan ketidaktegasan UGM terhadap HS sebagai pelaku. Menurutnya UGM bisa memberikan hukuman kepada HS yang sudah mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada Agni. Tapi itu tidak mereka lakukan.

Penyelesaian nonlitigasi seolah buka tafsir publik bahwa UGM mendukung pelaku kekerasan seksual. UGM sebagai sebuah kampus terkemuka tidak memandang kekerasan seksual sebagai tindak kejahatan. “UGM patut dikritisi, ini keliru,” tegas Naila.

“Kalau publik mau marah, marah ke dua-duanya [HS dan UGM]. Itu kemarahan yang wajar,” tambahnya.

Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono menyebut Agni dan HS--pelaku pelecehan seksual sepakat kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan. Penandatanganan kesepakatan ini dilakukan pada Senin, 4 Februari 2019.

“HS menyatakan menyesal, mengaku bersalah dan memohon maaf atas perkara yang terjadi pada Juni 2017 kepada pihak saudari AN disaksikan pihak UGM. Saudara HS, AN, dan UGM menyatakan bahwa perkara ini sudah selesai,” kata Panut di UGM.

Panut juga menugaskan Fakultas Teknik dan Fisipol untuk mengawal studi HS dan AN, sehingga keduanya bisa lulus pada Mei 2019, dengan catatan sudah menjalani persyaratan yang diwajibkan yakni menjalani konseling dengan psikolog klinis.

Sistem Hukum Tak Mendukung

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia menilai penyelesaian nonlitigasi yang diambil pada kasus Agni menunjukan sistem hukum, termasuk penyidikan, belum mampu memberikan perlindungan kepada korban.

Hal ini sudah tampak sejak polisi memberi keterangan berbeda dari apa yang disampaikan Agni kepada Balairung Press soal suasana lokasi kejadian dan sikap mereka yang menyangsikan kejadian ini. Pernyataan polisi menimbulkan sejumlah stigma buruk pada korban terkait pernyataan-pernyataannya.

“Sebenarnya penyelesaian nonlitigasi di kasus Agni ini menunjukkan bahwa memang sistem perlindungan korban yang ada saat ini belum mampu memberikan perlindungan yang menyeluruh kepada korban di setiap tahapan pemeriksaan,” ujar Genoveva kepada reporter Tirto pada Jumat (8/2/2019).

Ketidakberpihakan hukum terhadap korban pelecehan menurut Naila juga ditunjukkan lewat sikap polisi yang meminta korban melakukan visum secara fisik. Padahal kejadian tersebut sudah berlangsung cukup lama. Melihat kondisi ini Genoveva mengatakan pihaknya bisa memahami jika kemudian Agni juga bersepakat dengan penyelesaian nonlitigasi sepanjang itu jalan terbaik saat ini.

“Mengingat kondisi sistem peradilan pidana kita yang belum mampu menjamin terpenuhinya hak-hak korban dengan baik, dan melihat kondisi dari perkara ini sendiri”.

Minimnya perlindungan hukum terhadap korban pelecehan bukan tanpa konsekuensi. Genova mengingatkan hal ini membuka peluang berulangnya permasalahan serupa di kemudian hari. “Hal-hal seperti ini akan bisa terus terjadi secara berulang dalam kasus kekerasan seksual,” pungkasnya.

Naila juga mempertanyakan keseriusan pihak kepolisian. Menurutnya posisi HS yang sudah mengakui kesalahan itu menunjukkan pelecahan memang terjadi. “Sebenarnya pengakuan pelaku apakah tercatat dalam kepolisian? Kalau pelaku sudah mengaku di kepolisian, harusnya dijadikan bukti dan diproses secara hukum,” tegasnya.

UGM Butuh Pembenahan Internal

UGM menurut Naila perlu membuat SOP atau aturan di mana di dalamnya terdapat sanksi yang jelas, terkait kekerasan seksual.

“Di instansi mana pun, itu seharusnya memiliki SOP tentang kekerasan seksual. Dia harus mengedapankan hak korban dan hak asasi manusia dalam membuat SOP tersebut,” kata Naila.

Namun Naila menjelaskan, jika suatu kasus sudah terkait dengan persoalan yang sudah diatur dalam hukum, maka perlu tetap dialihkan ke aparat hukum. “Jangan lupa, jika itu sudah termasuk korban pidana, ya harus diselesaikan secara hukum,” ujar Naila.

Selain itu, Naila juga menjelaskan pentingnya keberadaan perangkat pemulihan dalam institusi pemulihan. “Aku rasa di institusi pendidikan harus memiliki pemulihan untuk korban, harus punya perangkat untuk pemulihan untuk korban,” tambahnya.

Infografik CI Kasus AGNI berakhir damai

Infografik CI Kasus AGNI berakhir damai

Inisiatif Mahasiswa

Di UGM, inisiatif untuk ruang aman bagi korban kekerasan seksual justru muncul dari para mahasiswa. Mereka membentuk perkumpulan yang dinamakan Dinamika Strategi Anti Kekerasan Seksual atau Distraksi. “Jadi Distraksi itu awalnya dari bermacam-macam organisasi, ada teman-teman dari Safe Space, LBH Jogjakarta, dan sebagainya. Ada pula individu mahasiswi yang memang sadar terkait pemasalaha pelecehan di kampus,” kata Nadine Kusuma, salah satu anggota Distraksi, saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, pada Jumat (8/2/2019).

Nadine menyampaikan awalnya mereka sebatas melakukan diskusi dan peer group. Namun dari sana, mereka melihat ada yang absen dalam penanganan kekerasan seksual di kampus. Sekitar pertengahan 2017, mereka membangun Distraksi.

“Tapi dari korban memang gak ngelapor secara formal, banyak juga memang yang cuma mau cerita doang,” kata Nadine.

Nadine mengatakan Distraksi tidak hanya menyediakan informasi untuk melanjutkan permasalahan ke hukum. Namun Distraksi juga ingin membangun ruang aman dalam UGM, serta menerima jika ada korban yang sekadar mau berbagi permasalahannya.

“Kami ingin buat ruang aman, kami pengen kampus benar-benar bebas dari pelaku-pelakunya, kami mau buat,” kata Nadine.

Penyelesaian nonlitigasi dalam kasus Agni menjadi preseden buruk bagi para korban yang ingin melaporkan kasus keerasan seksual. "Malah jadi takut melapor, karena ngapain kok malah damai. Yang mau speak up, malah melempem lagi, belum lagi malah nanti disalah-salahin,” ujar Nadine yang juga tergabung dalam komunitas Kita Agni.

Baca juga artikel terkait KASUS AGNI atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Jay Akbar