Menuju konten utama
1 Juli 1876

Jalan Hidup Mikhail Bakunin, Sang Anarkis Musuh Ideologis Karl Marx

Mikhail Bakunin percaya bahwa kebebasan terbaik manusia adalah hidup dengan kesetaraan tanpa ada pemerintah atau otoritas apa pun.

Jalan Hidup Mikhail Bakunin, Sang Anarkis Musuh Ideologis Karl Marx
Header Mozaik Mikhail Bakunin. tirto.id/Tino

tirto.id - Satu hari pada pertengahan abad ke-19, tepatnya 3 Mei 1849, kerusuhan meledak di Dresden, ibu kota Kerajaan Saxony (sekarang masuk Jerman). Ini adalah bagian dari peristiwa besar bernama Revolusi 1848, sebuah gerakan demokratik dan liberal yang hendak menghancurkan sistem monarki di seluruh Eropa. Perlawanan cukup hebat sampai memaksa Frederick Augustus II, Raja Saxony saat itu, melarikan diri.

Mikhail Bakunin, filsuf asal Rusia yang lahir pada 30 Mei 1814, dipercaya sebagai biang kerok salah satu revolusi paling berdarah sepanjang sejarah Eropa tersebut. Bakunin pun segera menjadi buronan.

Sepak terjang Bakunin bukan hanya di Dresden. Dia turut andil dalam rentetan pergolakan yang terjadi di seantero Eropa, dari mulai Paris sampai Praha. Sejak awal revolusi Bakunin memang sudah jadi sosok yang meresahkan pemerintah sampai-sampai pihak Rusia memberi tahu pemerintah Prussia bahwa orang itu mendatangi negara mereka.

Bakunin, yang tahu persis ia dicari di mana-mana, bersiasat. Misalnya, ketika datang ke Praha untuk membantu melawan Kekaisaran Austria pada 1849, Bakunin menyamar. Dia mencukur janggutnya yang populer itu dan menggunakan nama lain, Anderson. Di sana ia memberi saran agar orang-orang membuat barikade dari lukisan. Aksi ini diharapkan dapat membuat ciut nyali tentara Prussia dan mereka tidak menerobos barikade. Bakunin memang hampir selalu ada dalam pusaran revolusi.

Selain lewat campur tangan langsung di titik api, Bakunin juga mendorong revolusi terjadi di mana-mana lewat tulisan. Gagasannya termuat antara lain dalam God and The State (ditulis pada 1871) dan The Paris Commune and the Idea of The State (tahun yang sama).

Bakunin adalah seorang pemikir anarkisme, sebuah ideologi yang kerap disalah pahami dan tertukar dengan vandalisme. Sama seperti pemikir anarkis lain, ia percaya bahwa potensi manusia akan mencapai titik tertinggi dan membawa manfaat bagi sesama jika tidak hidup dalam belenggu otoritas. Masalahnya adalah otoritas ada di mana-mana, dan negara adalah realisasinya yang paling tinggi. Cita-cita kaum anarkis adalah menghapuskan segala bentuk otoritas itu.

Dalam buku biografi tentang Mikhail Bakunin (1975), sejarawan asal Inggris Edward Hallett Carr mencatat pemikiran Bakunin sangat berpengaruh di masa Revolusi Spanyol 1936. Spanyol, catat Carr, “adalah tempat di mana pengaruh Bakunin bertahan paling lama daripada negara-negara Eropa lainnya.” Selain itu Spanyol menjadi tempat di mana anarkisme “mempertahankan posisinya sebagai kredo revolusioner yang paling efektif dan eksplosif.”

Tak pelak Bakunin menjadi figur yang pikirannya dianggap berbahaya.

Ia berhasil ditangkap di Praha bersama revolusioner lain. Mereka dijebloskan ke benteng penjara Konigstein. Penahanan dilakukan selama 13 bulan dan Bakunin diputuskan akan dipenggal. Namun, sebelum guillotine mencabut nyawanya, dia dikirim ke pihak Austria. Bakunin dirantai selama enam bulan ke tembok sebelum akhirnya dikirim ke Rusia.

Di negara asalnya itu pada 1851 Bakunin dipaksa menulis kepada Tsar Nicholas I bahwa ia mengakui segala kesalahan. Namun pengakuan itu tidak membuatnya dilepaskan. Meski kursi kaisar Rusia beralih ke Alexander II, Bakunin masih belum dapat menikmati kebebasan. Ia hidup dari penjara ke penjara. Dia sempat menetap di penjara militer Peter-Paul dan Schlüsselburg selama total enam tahun.

“Selama putramu masih hidup, dia tidak akan bisa bebas,” tulis Nicholas II, Kaisar Rusia setelah Alexander II dan Alexander III kepada ibu Bakunin.

Bakunin baru dapat menghirup udara bebas setelah diasingkan ke Siberia pada 1857. Mengetahui tidak banyak yang bisa diperbuat di tempat tersebut, pada 1861 ia memutuskan pergi ke berbagai negara untuk terus menyebarluaskan pemikirannya.

“Kebebasan saya adalah kebebasan semua orang. Saya tidak bisa bebas dalam pikiran sampai saya, secara fakta, benar-benar bebas,” catat Bakunin dalam salah satu tulisannya Solidarity in Liberty: The Workers' Path to Freedom (1867).

Perselisihan dengan Marx

Kehidupan muda Bakunin tidak jauh berbeda dengan mereka yang hidup di masa penuh peperangan. Pria yang lahir di Pryamukhino Kekaisaran Rusia ini sempat mengenyam pendidikan di akademi militer di Saint Petersburg (sekarang salah satu kota terpadat Rusia) dan kemudian ditempatkan di divisi persenjataan. Sebagian orang percaya bahwa masa depan Bakunin sudah aman. Ikut satu atau dua kali perang, dia bisa saja mendapat promosi cepat, kemudian pensiun muda. Menghabiskan sisa hidupnya mengurusi perkebunan keluarga dan membuang waktu dengan membaca buku di taman.

Namun Bakunin memilih jalan berbeda.

Pada 1835, Bakunin memutuskan melepaskan tanggung jawabnya dari kemiliteran. Aksi desersi hampir membuatnya diburu. Dia menghabiskan lima tahun berikutnya dengan berkeliling kampung halamannya, Pryamukhino, dan Moskow.

Tidak ada yang tahu pasti bagaimana Bakunin mengenal dan tergerak untuk menjadi seorang anarkis dan revolusioner. Sewaktu kecil, Bakunin tidak pernah hidup menderita. Dia tidak pernah kelaparan, pun khawatir kedinginan karena tidak punya kasur dan rumah yang nyaman untuk tidur. Tidak ada penjelasan yang memuaskan bagaimana seorang yang begitu enak hidupnya kemudian menjadi salah satu sosok revolusioner yang paling ditakuti penguasa.

Bakunin keluar dari Rusia dan pergi ke Jerman untuk memperluas pengetahuannya. Saat itu ada seorang filsuf yang sangat populer, Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Sebagaimana banyak orang lain, hegelianisme juga memikat hari Bakunin.

Di Jerman pula Bakunin menerbitkan kredo pertamanya pada 1842. Salah satu kutipan paling diingat dari terbitan di jurnal radikal itu adalah, “Hasrat untuk menghancurkan juga bentuk hasrat kreatif.” Menurut Mark Leier, penulis biografi Bakunin, kalimat ini sering jadi pembenaran bahwa gerakan anarkis melanggengkan kekerasan. Padahal, lebih dari itu, Leier menganggap Bakunin ingin dunia yang bebas dari tekanan pemerintah, bukan menghamba pada kekerasan semata.

Selain Jerman, Bakunin juga mendatangi Swiss, Belgia, dan Prancis, tepatnya di Paris. Kedatangan ke Paris pada 1844 menjadi penting karena dia bertemu pemikir anarkis lain macam Pierre-Joseph Proudhon dan, yang paling penting, seseorang yang kelak menjadi rival ideologisnya seumur hidup: Karl Marx.

Dua orang ini, menurut Leier, punya kemiripan. Mereka sama-sama suka berdebat; mereka keras kepala dan merasa jadi pihak yang benar; dan keduanya punya sifat kompetitif.

“Kami cukup bersahabat... tapi tidak pernah benar-benar dekat. Emosi kami tidak memperbolehkan itu. Dia memanggil saya orang idealis yang sentimentil, dan dia memang benar. Sedangkan saya menyebutnya mubazir, pengkhianat, dan licik, dan aku juga benar,” kata Bakunin seperti catat Leier dalam Bakunin: The Creative Passion (2011).

Keduanya sebetulnya punya cita-cita yang sama, yaitu mewujudkan masyarakat yang bebas dari penindasan, yaitu masyarakat tanpa kelas sosial. Hanya saja keduanya tak pernah sepakat dalam hal jalan atau cara mencapai tujuan tersebut.

Marx percaya kaum proletar atau kelas pekerja harus mengambil alih kekuasaan negara dari tangan pemilik modal atau kapitalis, suatu konsep yang disebut “kediktatoran proletariat”. Diktator proletar ini akan bertugas menghapus kelas sosial.

Sementara Bakunin tak sepakat dengan itu karena menurutnya kediktatoran proletariat hanya menciptakan otoritas baru yang pada dasarnya sama saja, yaitu sama-sama menindas dan membuat orang tidak bebas. Dan sosialisme tanpa kebebasan, katanya, “adalah perbudakan dan sebuah bentuk kebrutalan.”

Ini adalah inti ketidaksepakatan antara marxisme dan anarkisme, perdebatan yang sampai sekarang pun tidak pernah selesai.

Marx bersama sahabat karibnya Friedrich Engels mengatakan Bakunin adalah petualang yang gemar mencari intrik dan belum dewasa. Marx percaya bahwa Bakunin hanya orang yang penuh pengetahuan dan suka berteori semata.

Perselisihan keduanya terus berlanjut bahkan sampai muncul tudingan serius terhadap Bakunin. Pada 1848, Marx dalam koran terbitannya sendiri Neue Rheinische Zeitung menuduh sang bangsawan anarkis adalah mata-mata dari Rusia. Tudingan ini jauh dari fakta karena saat itu Bakunin sedang bekerja sama dengan revolusioner Prancis. Tentu Marx membantah telah menyudutkan Bakunin, tapi Bakunin tetap percaya sebaliknya.

Perdebatan bahkan sampai menyeret organisasi di mana keduanya bergabung, The International Workingmen’s Association (IWA) atau Internasional Pertama. Kelompok anarkis dikeluarkan dari IWA pada kongres 1872 setelah Bakunin menerbitkan Essay Against Marx yang secara lugas menganggap bahwa Marx adalah seorang otoriter. Tentu Bakunin termasuk orang yang dikeluarkan.

Dalam kongres ini Bakunin juga memperkenalkan konsep kolektif anarkis. Gagasan ini merupakan perkembangan dari pemikiran Proudhon dan fokus pada perjuangan serikat pekerja anarkis, alih-alih terlibat dalam politik seperti yang diyakini marxisme.

Di kemudian hari, muncul IWA tandingan yang dibentuk oleh pendukung Bakunin dan anarkisme. Namun perpecahan IWA menjadi pemicu kegagalan mereka. Pada akhirnya IWA gagal dan harus bubar pada 1876/1877.

Infografik Mozaik Mikhail Bakunin

Infografik Mozaik Mikhail Bakunin. tirto.id/Tino

Kendati relasi keduanya selalu tegang, Bakunin sebenarnya punya rasa hormat yang besar pada Marx. Saat pertama kali bertemu pada 1844, Bakunin sempat menyebut bahwa Marx “lebih berpengetahuan daripada aku.” Namun, bagaimanapun, sejarah mencatat kedua tokoh revolusioner besar ini tidak pernah bisa bersatu. Leier sempat berkelakar bahwa jika saja Marx dan Bakunin tidak berselisih, keduanya akan jadi duo maut sampai akhirnya Jimi Hendrix dan Leo Fender bertemu.

Alvin W. Gouldner, mantan profesor sosiologi di Universitas Washington, menyebut “perselisihan Marx dengan Weitling, Gottschalk, dan Willich adalah awal konflik yang memuncak menuju duel yang pahit dan berkepanjangan dengan Mikhail Bakunin.”

Petualangan Bakunin berakhir pada 1 Juli 1876, persis 146 tahun yang lalu. Ia mengembuskan nafas terakhir sebagai individu yang bebas dari penjara.

Sampai sekarang Mikhail Bakunin dikenal sebagai salah satu pemikir terbesar yang bersanding dengan Karl Marx dan buah pemikirannya menginspirasi berbagai gerakan perlawanan di seluruh dunia.

Baca juga artikel terkait ANARKISME atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino